Hari ini merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu. Sesuai janjinya Paman Angga akan datang ke Palu hari ini.
Mereka juga sangat senang karena Doni telah memberitahu mereka jika Paman Angga setuju dengan penawaran yang mereka ajukan. Untuk merayakannya Nina bahkan memasak makanan dengan porsi yang cukup banyak. Seperti yang ia katakan, mereka akan berpesta hari ini.
“Aku dan Nina akan pergi menjemput Paman Angga sebentar lagi. Pesawatnya tiba jam 13.30. Kalian saja makan dulu. Aku hanya menungu Nina. ”
“Kami akan menunggunya saja di sini,” kata Edi.
“Kurasa tidak perlu. Ia sudah tidak terbiasa dengan makanan Indonesia. Kami akan mengajaknya makan di Palu. Perjalanan dari sini juga cukup lama mungkin kami akan tiba sekitar jam 4 atau 5 sore. Jadi kalian tidak usah menunggu kami.
“Baiklah,” kata Edi riang.
Akhirnya Nina muncul dari balik kamarnya. “Bagaimana sudah siap? Ayo berangkat. Jangan biarkan dia menunggu lama.”
“Ayo,” sahut Doni.
“Doni,” panggil Edi. Ia menyusul Doni yang sudah di ambang pintu.
Doni berpaling heran.
“Aku hanya mau bilang terima kasih.” Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih untuk semuanya.” Edi menggenggam tangan sahabat lamanya itu.
“Sama-sama Edi. Aku tak bisa melakukan ini tanpa bantuan kalian semua. Aku pergi dulu.”
Setelah berpamitan Doni dan Nina naik ke mobil Innova. Kemudian mereka mobil itu berjalan meninggalkan rumah.
Setelah berkendara selama 40 menit, Doni menghentikan kendaraannya di tepi jalan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“Aku tak sanggup melihatnya,” katanya lirih.
Nina memegang pundak Doni—mencoba menguatkannya.
“Kita tak bisa apa-apa. Ini bukan salah kita.” ujar Nina mencoba membela diri.
“Tidak Nina. Ini salah kita. Kita bisa mencegahnya tapi kita memilih jalan ini.”
Nina hanya terdiam.
“Aku tidak mengerti kenapa bisa berakhir seperti ini,” kata Doni. Wajahnya terlihat kesal dan marah. Ia kesal dengan keputusannya sendiri.
Doni membuka pintu mobil dan membanting pintunya dengan keras saking marahnya. Doni duduk di atas pipa sandaran jembatan untuk menenangkan dirinya. Ia hanya diam menatap aliran air di bawahnya.
Nina menatapnya dari balik kaca mobil dengan sedih. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya membiarkan saja Doni berada di luar sendirian. Doni memang butuh waktu menyendiri. Ia perlu waktu untuk menyadari kesalahannya.
Empat jam kemudian, mereka balik lagi ke rumah kebun. Doni dan Nina melangkah dengan berjingkat-jingkat ketika memasuki rumah seolah-olah tidak ingin menggangu penghuni rumah. Rumah itu sangat sunyi. Tak terdengar suara apapun dari dalam rumah. Doni dan Nina menahan nafasnya.
Ketika mereka sampai di ruang makan, pemandangan di dalamnya sungguh-sungguh mengerikan.
Tarmin, Anto, Andre, dan Bakri terbaring diam di lantai dengan muntahan di sampingnya. Sedangkan Saleh terbaring di dapur dengan kondisi yang sama. Mereka menemukan jenazah Edi di kamarnya. Tertelungkup tak bergerak. Tangan kanannya menggenggam sebuah kotak berwarna putih.
Doni mengambil kotak itu dari tangan Edi dengan perlahan. Itu adalah ponsel yang akan diberikan kepada anaknya ketika ia pulang nanti. Hati Doni teriris pilu. Ia duduk di lantai bersimpuh di samping jenazah sahabatnya.
“Maafkan aku. Aku tak bisa melawannya,” katanya sambil terisak lirih.
Nina membuka pintu kamar dan mendapati Doni duduk menatap dinding dengan pandangan kosong. Ia sudah berhenti menangis. Wajahnya kini berubah. Wajah itu penuh amarah dan dendam. Nina tidak pernah melihatnya seperti itu. Ia tidak berani bersuara. Ia memilih diam saja dan berniat menutup pintu. Ia tidak berani mengganggu Doni dalam keaadaan seperti itu.
“Aku akan membunuh bajingan itu,” kata Doni pelan. “Aku akan membunuh Paman Angga.”
Nina diam saja. Ia hanya membiarkan saja pria itu berbicara dengan amarahnya.
Doni lalu bangkit berdiri. Tangannya masih memegang kotak ponsel itu. Ia lalu menatap jenazah sahabatnya. “Aku akan memberikan bagianmu pada anakmu. Aku janji. Maafkan aku Edi.” Suaranya terbata-bata. Doni lalu berjalan melewati Nina yang masih diam di balik pintu. Ia pergi ke kamarnya, membuka lemari tua yang ada di dalam kamar lalu mengeluarkan pistol yang disembunyikan di dalamnya. Ia menyelipkan pistol itu di balik pinggangnya. Bersiap untuk menghadapi yang terburuk.
Doni berjalan ke ruang tengah. Ia mendapati Nina yang masih berdiri diam. “Ia akan datang sebentar lagi. Aku hanya perlu menunggunya di sini,” katanya pada Nina. “Ia bisa membuat kita membunuh teman-teman kita sendiri. Tapi kali ini tidak. Aku tidak akan membiarkan dirinya menguasai aku lagi. Aku akan membuat perhitungan dengan dirinya.”
Kira-kira dua jam kemudian derum mobil terdengar di kejauhan. Suara itu semakin dekat dan menuju ke rumah kebun.
Itu pasti Paman Angga.
Mobil itu akhirnya berhenti di halaman rumah. Seorang laki-laki berusia lima puluhan turun dari sebuah SUV. Penampilannya terlihat gagah mengenakan jeans hitam dan kemeja bermotif kotak-kotak. Penampilannnya nyaris seperti koboi. Tak salah lagi. Ia adalah Paman Angga yang legendaris.
Apa itu yang berderak di balik batang-batang jagung? Paman Angga menoleh ke belakang dengan cepat. Tak ada apapun.
Ia tidak mengucapkan salam. Ia hanya melangkah masuk dan mendapati Doni di ruang tengah—berdiri mematung tanpa ekspresi seperti arca. Suasana ruangan kini seperti berubah mistis. Iblis sendiri telah muncul dari persembunyiannya.
Walau sudah berusia awal lima puluhan, pria ini masih terlihat gagah dan menarik. Brewok tipis yang mulai berwarna putih itu semakin menambah daya tariknya. Ia memiliki kharisma yang hanya dimiliki pria usia paruh baya. Singkatnya ia memiliki pesona seorang hakim—tegas, cerdas, dan berkuasa. Ia memang menganggap dirinya seperti hakim—bisa memutuskan kapan nasib seseorang harus diakhiri.
“Kau sudah bereskan mereka?” Suaranya datar tanpa belas kasihan.
Doni hanya mengangguk. Ia berusaha menjaga emosinya yang sebentar lagi meledak.
“Di mana Nina?”
“Mungkin di luar.”
Paman Angga berjalan memasuki ruang makan. Sudah hampir satu tahun ia tidak ke tempat ini. Ia berjalan memasuki ruangan makan dan melihat mayat-mayat yang terbujur kaku.
“Bagus nak. Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik,” katanya dengan bangga. Ia memang selalu membanggakan Doni. Selalu melakukan perintah dengan benar.
Paman Angga melangkahi mayat mereka satu persatu dan mencoba menggoyangkan tubuhnya dengan ujung sepatunya—sekedar untuk memastikan bahwa mereka benar-benar sudah mati.
“Kita tidak seharusnya membunuh mereka,” protes Doni. Ia tidak rela rekan-rekanya harus berakhir dengan cara seperti itu.
Paman Angga memandang Doni dengan heran. Tidak biasanya Doni berkata seperti ini. Doni yang dikenalnya selalu sejalan dengannya. “Mereka yang membuat diri mereka seperti ini. Aku tidak menginginkan berakhir seperti ini.”
“Mereka hanya meminta sedikit darimu. Tidak ada yang salah dengan itu,” protes Doni. Ia masih belum beranjak dari tempatnya.