Tiga kali halusinasi di siang hari bolong. Itu semua bukan hantu, batin Corida meyakinkan. Hantu hanya muncul di malam hari, di tempat gelap, di ruang sepi. Di tempat yang dijauhi oleh orang-orang.
Tapi yang dialami Corida memang hanya dia sendiri yang mengetahuinya. Penampakan di depan dan di dalam kamar mandi, lalu di depan Toko Sepatu ABC. Tiga kali penampakan, tiga kali halusinasi dan memang hanya dia seorang yang melihatnya. Sekedar ilusi? Atau ... adakah hantu di siang hari bolong?
“Kau belum boleh masuk sekolah, Cori.” Mama menepikan mobil persis di depan gapura sekolah. “Mama yang akan masuk menyampaikan surat ijin dokter. Ulangan biologi bisa kau ikuti lain kali, karena pasti ada jadwal ulangan susulan atau remidi.”
“Mama, Corida baik-baik saja!” Corida membuka pintu dan keluar dari mobil, berdiri dengan tegak dan senyum sangat lebar tersungguing di bibirnya, seolah ingin meyakinkan mamanya bahwa tak ada sesuatu yang pantas dikhawatirkan darinya.
Mama menghela nafas panjang, menggeleng berkali-kali. “Baiklah, anak bandel.”
Dengan langkah riang Corida menghampiri mamanya, mendaratkan dua kali ciuman di pipi kiri.
“Kalau kau pusing atau mulai aneh-aneh lagi, telepon mama. Mama akan jemput kamu.”
“Siap!”
Corida memasuki halaman sekolah diiringi tatapan cemas mamanya.
Corida segera menghampiri ruang guru piket dan mengangsurkan surat dokter.
“Kau memaksakan diri untuk...”
“Ulangan biologi di jam ke empat,” kata Corida memotong pertanyaan Bu Neneng.
“Kau tidak apa-apa?”
“Tiiii.... tidak .... bu ...” Tiba-tiba wajah Corida memucat. Matanya terbelalak dan bibirnya terkatup seperti menahan sakit. Tubuhnya tergetar, tangannya berusaha keras menahan guncangan dan getaran hebat. Corida berdiri dan berjalan mundur sambil tetap menahan tas sekolah dengan kedua tangannnya. Menahan agar tas itu tidak jatuh atau bahkan terbang.
Disaksikan oleh Ibu Neneng, guru kesenian yang berasal dari Bandung itu, Corida menemukan sandaran. Ia berdiri dengan punggung rapat ke tembok. Getaran di dalam tas itu makin kuat, ada seseatu yang mendesak dari dalam, ingin melepaskan diri.
Corida gemetaran, berusaha menguatkan jarinya untuk membuka retsleting tas sekolahnya. Dan ketika tas itu telah terbuka ...
BBBBBBRRRRRRRR ...... !!!
Ribuan kupu-kupu aneka warna keluar dari dalam tas sekolah Corida. Kupu-kupu yang telah terbebas dari dalam kurungan. Kupu-kupu yang lepas dari penjara kepengapan dan kesempitan. Mereka terbang melayang, berputar di dalam ruang guru piket itu, menabrak rambut Ibu Neneng yang tersanggul mungil. Menabrak kain gorden dan sebagian besar dengan cepat telah keluar melalui jendela yang terbuka, terbang entah kemana. Kupu-kupu terakhir berwarna hitam, sebesar tempat bedak masing-masing sayapnya. Mungkin ia pimpinan koloni. Ia yang terakhir kali terbang melewati jendela , menyusul yang lain... entah kemana.
Getaran itu masih terasa dari dalam tas sekolah Corida.
“Dering yang keren,” kata Ibu Neneng.
“Apa, Bu?”
“Kau berasal dari Jawa Barat juga?”
“Saya? Oh, tidak, Bu... saya Jawa tulen”
“Tapi ... nada deringmu ...”
Corida tercekat. Sekarang telinganya telah berfungsi normal dan ia mendengar teleponnya berbunyi. Sebuah nada dering yang semalam ia dengar dan terdengar lagi beberapa waktu yang lalu di mobil.
“Halo ... ini siapa, ya?”
Suara angin pegunungan. Kau bisa memahami seperti apa suara angin pegunungan? Cori menangkap suara seperti itu, setidaknya di dalam kepalanya.
“Cori ... Cori ... ? Kenapa kau bunuh aku ...? Kenapa kau biarkan aku ...” Suara anak perempuan. Suaranya parau...
“Halo ...? Ini siapa!!! Sialan!!!”
Corida menyesal telah membentak. Ia kini menerima tatapan aneh dari guru keseniannya.
“Kau suka Sunda ...? Maksud ibu, lagu-lagu sunda... tembang sunda ...”
“Mmmmm tidak juga, Bu ... ini ...”
“Itu adalah tembang sunda klasik tentang cinta ... lagu yang mengharu biru... anak-anak jaman sekarang barangkali sudah tidak mengenal tembang itu ...” Ibu Neneng menghampiri Corida, menyentuh keningnya. “Kau masih demam... seharusnya kau di rumah saja.”
“Lagu itu ... tiba-tiba saja muncul di hape saya.”
“Seseorang, temanmu memasukkannya tanpa sepengetahuanmu?”
“Ah, hape ini tak pernah lepas dari genggaman saya.”
“Aneh ...”
“Lebih anehnya lagi, nada dering ini hanya muncul ketika orang ini... menelpon saya.”
Corida menatap perempuan berwajah sabar di depannya.
“Ibu, saya bisa gila! Lagu ini dan penelpon itu bisa membuat saya masuk rumah sakit jiwa!!!”
Corida mengangsurkan hapenya dan memperlihatkan nomor pemanggil yang masih tertera di layar ponselnya. “Mana ada penelpon punya nomor satu digit!”
“Astaga ... aneh benar, ya?” kata Ibu Neneng setelah mengamati nomor di layar ponsel Corida. “Delapan ...” Ibu Neneng bicara pelan, seperti mengeja. “Delapan ... hmmm... delapan. Lagu Kukupu ...”
Ibu Neneng memberi isyarat agar Corida kembali duduk di kursi. Guru kesenian itu lalu meletakkan selembar kertas kosong ke hadapan Corida.
“Perhatikan ini ...” bisik Ibu Neneng.
Jari lentik itu menggambar angka 8, lalu menambahkan beberapa garis lengkung dan lurus di angka delapan itu ... Corida terhenyak. Ia seperti disadarkan kembali bahwa dulu, semasa kecil, ia selalu menggambar kupu-kupu dengan diawali menggambar angka 8 yang ditidurkan.
“Kupu-kupu ... di sunda disebut kukupu.”
Lalu tiba-tiba Ibu Neneng mulai bersenandung, tembang sunda yang tiba-tiba saja seperti telah sangat dihafal oleh Corida. Tembang yang sama yang ia dengarkan di ponselnya.
Iramanya sendu, sedih, menyayat hati, apalagi sepertinya Ibu Neneng melagukannya dengan sepenuh perasaan.
HIBER DEUI KUKUPU, HIBER TEUNANGAN