“SETELAH anakku, kau hendak meneror ibunya pula???!!!” Suara Mama sangat lantang.
Corida mendekatkan telinganya ke dekat ponsel yang menempel di telinga mamanya. Dan lapat-lapat ia mendengar suara tangisan: “Ibuuu.... ibu ...”
“Halo ...?! Ini siapa...?”
Corida merebut ponsel mamanya dan meneliti nomor yang tertera di layar. Hanya ada satu angka: 8.
Hubungan terputus. Telapak tangan Corida menggenggam ponsel yang dingin. Bukan! Bukan ponsel itu yang dingin. Tangannya yang dingin, sekujur tubuhnya yang dingin, menggigil hebat.
Mama mengambil ponsel dari tangan Corida, setengahnya merampas.
“Nanti kita ganti nomor,” Mama keluar dari mobil dan berdiri membeku, menunggu Corida keluar dari mobil juga. Seperti dua sosok mayat hidup, keduanya lantas berjalan memasuki pintu masuk House of Butterfly.
Namun baru saja pintu kaca itu terdorong, tiba-tiba lampu yang semula terang-benderang di dalam ruangan itu mendadak meredup. Meja kursi dan etalase bergerak merapat ke dinding, manekin-manekin menjadi hidup dan mengatur posisi merapat tembok. Bunyi berkeresek terdengar dari balik setiap ruangan yang pintunya terbuka. Bunyi dengungan, dan sesuatu yang mirip gumpalan asap itu keluar dari delapan pintu sekaligus. Sesuatu itu berkumpul di tengah ruangan yang telah kosong, seakan bergabung untuk menyatukan kekuatan.
Kali ini bukan hanya Corida. Mama melihatnya. Ribuan atau bahkan jutaan kupu-kupu beraneka warna itu telah bergerak.
“Sekarang Mama melihatnya sendiri?” bisik Corida setelah menggenggam erat pergelangan tangan mamanya.
Mama tak mampu bicara meski beberapa detik yang lalu hingga kini mulutnya masih terbuka.
Koloni akbar kupu-kupu itu membuat gerakan serentak, membentuk kumparan yang berpusat di tengah ruangan. Sebagian yang lain telah berpencar dan membentuk kumpulan sesuai warnanya. Kupu-kupu putih, hijau, kuning, biru, oranye, abu-abu, hitam, dan kelompok belang-belang.
Delapan kelompok dengan warnanya masing-masing itu kini bergerak melesat ke arah Corida dan mamanya.
“Selamat malaaaaam....! Apa kabar kalian?”
Satu-persatu kupu-kupu itu meletup bersamaan, berubah menjadi asap dan menghilang terhembus udara AC. Meja kursi dan etalase bergerak kembali ke posisi semula, begitu juga dengan manekin-manekin itu.
Seorang perempuan cantik muncul dari salah satu pintu di samping kiri ruangan, menebar senyum lebar sambil mengembangkan kedua lengannya. Kupu-kupu raksasa di ujung lengan gaun dan di bawah belahan dada itu bergerak anggun.
Asap tipis menyingkir ketika langkahnya terayun anggun. Udara seolah berhenti sejenak untuk memberi kesempatan bagi keanggunan sempurna.
Perempuan hampir berusia 40 tahun itu memeluk dan mencium pipi kiri dan kanan Mama.
“Ini ...? Oh my God! Corida? Kamu sudah sebesar ini ...?”
Ibu dan anak itu tersadar dari pesona kedua. Kali ini mereka menyadari sunguh, bidadari cantik ini bukan halusinasi.
“Apa kabar, Yo?” Mama sempat memijit keningnya sendiri.
Tante Yoan, pemilik butik dan galeri ini, kembali menebar senyum menawan yang menyejukkan hati siapa pun yang menerimanya. Mantan fotomodel dan Putri Ayu itu menjabat erat telapak tangan Corida. Kupu-kupu di ujung lengan itu seolah tengah menyembunyikan sebagian sayap indahnya.
“Kau ... sudah SMA sekarang?”
“Iya, Tante.” Corida mengumpulkan ingatannya namun gagal. Kapan terakhir kali ia bertemu dengan Tante Yoan?
“Lima tahun tidak bertemu, lalu tiba-tiba kau menyadarkan aku bahwa aku punya teman baik yang ... kukira kau tak suka kupu-kupu, Ruth.”