Tujuh tahun yang lalu – Di sebuah desa
"Saya berterima kasih sekali kepada Dek Citra. Karena Dek Citra, Bahri bisa dapat ranking."
"Terima kasih kembali bu. Bahri memang sudah pintar kok, saya hanya mengajarkan beberapa hal yang penting kepadanya."
"Mbak Citra ini kok merendah terus sih, padahal kan Bahri diajari semuanya."
Citra tersipu malu mendengar ucapan Bahri itu.
"Sudah-sudah, monggo diminum dulu dek."
"Baik bu. Terima kasih."
Citra pun meminum segelas teh hangat yang disiapkan oleh Ibu Bahri.
"Sebentar ya mbak, Bahri mau ambil rapotnya dulu." pungkas Bahri yang melenggang masuk ke kamarnya.
Hari ini, Citra diundang oleh Ibunya Bahri untuk datang ke rumahnya. Ibu Bahri terus berterima kasih kepadanya lantaran bisa membuat Bahri mendapatkan ranking satu untuk pertama kalinya.
"Kabar ibumu bagaimana dek?"
"Baik bu, kabar ibu sehat." jawab Citra pelan mengingat ia dan ibunya sudah lama tidak saling bicara karena masalah perjodohan.
Bahri keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah rapor.
"Ini mbak, lihat."
Citra mengambil rapor milik Bahri dan melihatnya.
"Sebelum les sama Dek Citra, nilai Bahri banyak merahnya, sampai saya bosan tegur dia terus. Tapi setelah ibunya Dek Citra meyakinkan saya kalau Dek Citra pintar dan bisa mengajar, saya tertarik dan hasilnya benar-benar terbukti."
Citra mendengar ucapan itu sambil mengangguk, dalam hatinya ia merasakan suatu kebanggaan sendiri.
"Hmm, Bahasa Inggrisnya masih kurang ya." ujar Citra.
"Benar kan nak, kata ibu juga apa."
"Wong susah kok bu, gurunya galak juga."
Citra tertawa mendengar alasan Bahri.
"Enggak apa-apa kok bu. Segini pun sebenarnya sudah lumayan, Citra bantu tingkatkan lagi nanti."
Bahri mengangguk setuju.
"Harus itu mbak, saya ingin nilai Bahri bisa sempurna semua!" pinta ibu Bahri.
Citra tersenyum, ia memahami betul ekspektasi ibunya Bahri karena tidak jauh berbeda dengan ekspektasi ibunya dulu.
***
Tiga tahun kemudian – Masih di sebuah desa
Hari sudah mulai senja. Di pinggir pantai, Citra menunggu kehadiran seseorang. Citra terlihat lebih gelisah dari biasanya, sambil sesekali mengigit kuku jari tangannya.
Tidak berselang lama, sebuah motor tua mendekatinya. Itu adalah Bahri.
"Dari tadi mbak?"
"Lumayan."
Bahri turun dari sepeda motor tuanya dan menghampiri Citra yang duduk di pinggir pantai.
"Maaf mbak, maaf. Tadi disuruh ke warung Haji Isman dulu."
"Nggak apa-apa Ri. Duduk sini." ajak Citra.
Bahri pun langsung duduk di dekat Citra.
"Ngomong-ngomong ada apa ya mbak? Kok kelihatannya penting?"
Dengan tarikkan napas panjang, Citra mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan,
"Kamu sudah mbak anggap sebagai adik sendiri. Dari zaman kamu les sama mbak pas SMP, sampai kamu sudah besar seperti ini, mbak masih selalu anggap kamu sebagai adik sendiri."
Bahri tersenyum kecil mendengar ucapan Citra.
"Terima kasih mbak, Bahri juga senang sama mbak. Mbak orang yang baik..... Mungkin kalau enggak ada mbak, Bahri enggak tahu nasib Bahri akan seperti apa."
Giliran Citra yang tersenyum mendengar ucapan Bahri.
"Karena itu, mbak percaya sekali sama kamu."
Citra memberikan sebuah tiket bus kepada Bahri.
"Apa ini mbak?"
"Tiket bus, itu kan ada bacaannya."
"Iya Bahri tahu, tapi buat apa?"
Citra kembali mengambil tiket bus dari tangan Bahri.