"Elo yakin ini tempatnya?"
"Yakinlah Cit, ayo masuk."
Bersama Nina, Citra masuk ke sebuah gedung ruko bertingkat yang terletak di sudut kota Jakarta.
***
Dua tahun yang lalu – Sebuah kamar kos di Jakarta
Citra terbaring lesu, ia baru saja mendapat kabar pemutusan hubungan kerja dari kafe tempatnya biasa bekerja sebagai pramusaji. Alasannya, keterlambatan Citra yang sudah berulang kali membuat pihak kafe tidak bisa mentolerir kesalahannya lagi.
Citra melihat ke langit-langit kamarnya yang terdapat noda bekas jatuhnya air hujan. Kamar kosnya tidak besar, ada sebuah meja belajar yang diisi oleh buku-buku yang posisinya berantakan, lalu di lantai ada beberapa piring dan gelas yang sudah mengundang semut untuk berkumpul, hingga tumpukkan baju kotor yang belum sempat ia cuci.
Citra bingung sendiri. Rasanya sulit sekali untuk hidup di ibukota.
Masih teringat dibenaknya ketika pertama kali menginjakkan kaki di ibukota. Tidak ada orang yang ia kenal, tidak ada tempat tinggal, dan tidak ada uang. Bahkan beberapa kali Citra sempat tinggal dan ikut pemulung untuk tidur di pinggir jalan. Hingga tiga hari kemudian tibalah dia di universitas yang menawarkannya beasiswa.
Akan tetapi sayang, impiannya harus pupus. Dirinya telat menyerahkan aplikasi beasiswanya. Citra terus memohon kepada pihak universitas bahkan ia sempat menceritakan perihal kesulitannya hidup di Jakarta, akan tetapi pihak universitas tetap menolaknya.
Citra tidak ingin menjadi orang yang gagal di ibukota, Citra ingin tetap hidup. Ia merelakan impiannya terbang dan memulai babak baru. Citra kesana-kemari menawarkan kemampuannya dalam bekerja, hingga suatu outlet laundry mau menerimanya bekerja. Citra yang tidak mempunyai tanggungan apapun berhasil menyisihkan uangnya untuk berkuliah. Ia masihlah anak yang pintar, ia ingin ilmunya terpakai. Walaupun bukan di universitas ternama, setidaknya ia masih bisa belajar.
Di sela-sela jam kosong kelas karyawannya, Citra mencoba menghitung keuangannya. Angka kebutuhan hidup di ibukota yang kian hari kian tinggi membuat Citra tidak boleh bersantai seperti ini. Citra pun berusaha mencari kerja lagi. Nasib baik, pemilik outlet laundry memperbolehkannya mencari pekerjaan sampingan, asal Citra bekerja selama lima jam.
Citra pun lantas mengatur waktu bekerjanya sedemikian rupa. Pekerjaannya sebagai karyawan laundry ia mulai dari pukul tujuh pagi sampai dua belas siang, lalu dilanjutkan bekerja di kafe sebagai pramusaji dari jam satu siang sampai tujuh malam dan melanjutkan kuliahnya sepulangnya dari kafe.
Namun kondisi jalan di ibukota yang tidak bisa diprediksi membuatnya sering telat masuk shift siang. Hingga akhirnya manajemen kafe pun harus memutus hubungan kerjanya.
Sambil menyetrika beberapa baju, Citra merasa gaji dari laundry ini tidaklah cukup, bahkan masih lebih kecil daripada apa yang ia sempat dapatkan di kafe. Memang, dia mendapatkan atasan yang baik, sangat baik malah. Tapi atasannya tidak bisa membantunya lebih jauh.
Hingga perkenalannya dengan Nina, teman satu kelas karyawannya yang juga seorang selebgram membuat kehidupannya berubah.
***
"Halo Nina baby!"
"Halo Emak Rinda yang rempong!"
Nina saling berpelukkan dengan seorang ibu paruh baya yang menggunakan baju motif macan dan memakai perhiasan gelang dan cincin yang terlihat mengkilap. Sementara Citra sibuk melihat keadaan sekitar ruangan yang dipenuhi oleh poster wanita dan pria dengan pose bak seorang model.