Dua jam kemudian
"Beres."
Setelah luapan emosional tadi, Sarah mengajak Citra untuk menemaninya mengambil kopi diĀ vending machine. Setelah selesai, mereka kembali berjalan menuju kursi mereka duduk sambil salingĀ memegang kopinya masing-masing.
"Tapi menurut pandanganku ya, kalau pun kamu nantinya menikah, kamu tidak bisa merasakan hakikat pernikahan itu sendiri."
"Maksudnya?"
"Ya kata kamu tadi, kalaupun kamu menikah, itu kan sudah di atur karena saling dijodohkan bukan?
"Iya Sar."
"Semisal nih, Tuhan itu ngatur kamu untuk menikah sama orang A, tapi kamu malah dijodohkan dengan B. Apa enggak mendahului kuasa Tuhan?"
Citra termenung sambil mengaduk kopinya.
"Buat apa juga kamu mencintai seseorang yang enggak kamu cintai seumur hidupmu nanti?" timpal Sarah.
Citra masih termenung.
"Kamu pasti lama kelamaan enggak nyaman dengan segala kepalsuan itu dan mungkin bisa saja kamu seperti aku...... Bercerai."
Tibalah mereka di kursi masing-masing dan mereka pun duduk dan menaruh gelas kopi masing-masing di atas meja.
"Aku pun berpikir demikian Sar. Perasaan itu tidak boleh dipaksa.... Waktu itu aku sama sekali belum terpikirkan oleh yang namanya pernikahan. Yang ada aku ingin terus mengejar impianku untuk bersekolah tinggi."
Sarah selesai meminum kopinya dan kembali menaruh di atas meja lalu membalas ucapan Citra.
"Tapi susah juga sih. Aku saja dulu merasa kalau Mas Rama adalah pria impianku. Enggak tahunya pernikahan kami tetap kandas juga."
"Cinta memang penuh misteri Sar." balas Citra yang giliran meminum kopinya.
Sarah melihat Citra yang meminum kopi, setelah Citra selesai meminumnya, Sarah membalas.
"Tapi kalau aku ada di posisimu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama juga."
"Maksudnya?"
"Ayolah Cit, ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi."