Mafela pada lehernya berwarna biru, melayang di belakangnya karena terburu-buru. Langkahnya besar dan dipercepat. Di tangannya cahaya terperangkap dalam tabung kaca kaya minyak. Lelaki itu tidak lagi bisa disebut muda. Jenggot hitamnya merata pada dagu dan kedua pipinya. Rambut ikalnya melayang ikut berterbangan di sepanjang langkahnya. Beberapa kali ia menengok ke belakang, menatap lewat sorot mata bening pada seseorang yang mengiringi langkahnya. Diam-diam mereka bergerak di lorong gelap.
“Lewat sini,” bisik lelaki itu.
Hamburmin, lelaki di belakangnya, menuruti tanpa bertanya. Jika tidak terperangkap dalam gelap, kedua lelaki itu punya banyak selisih. Usia Hamburmin lebih tua. Mafelanya sendiri berwarna merah tua berlubang, lebih kusam dan dililitkan serampangan, sebagian untuk menutupi kepala. Ubannya telah mencuat berhelai-helai. Bekas luka akibat goresan benda tajam yang berat menonjol sepanjang bawah telinga menuju pipinya, sebuah ciri khas yang tak mampu ditutupi gelap. Dari geraknya, Hamburmin tampak menaruh hormat pada lelaki di depannya.
Secara sadar lelaki yang lebih tua itu mengingat perjumpaan mereka yang unik. Dia adalah seorang narapidana dalam penjara Pagon di Taruktu. Hukumannya adalah seumur hidup ditambah kerja paksa. Dia didakwa membunuh pria yang menyebabkan luka di sepanjang bawah telinga dan pipinya. Tidak, tidak, sebenarnya tidak ada yang bisa membuktikan bahwa ia membunuh lelaki itu. Dia lebih suka mengikuti pendapat kawan-kawannya sesama narapidana, bahwa ia berada di tempat dan waktu yang salah. Dia sama sekali tidak membunuh lelaki itu, mana bisa ia membunuh dalam keadaan mabuk dan terkulai lemas akibat goresan senjata seorang lelaki yang jauh lebih besar darinya. Tapi, justru di situlah keadaan terburuknya, tahu-tahu saja lelaki besar itu tumbang dan ia berdiri di depan mayatnya dengan bilah senjata di tangan bersamaan dengan puluhan pasang mata menatapnya. Dua puluh tiga tusukan. Tidak, ia tidak mungkin melakukan itu. Dia bahkan tak punya nyali untuk membunuh ayam-ayam ternak yang pernah ia miliki.
Sekarang ia di sini, setelah tujuh tahun menjalani hukuman. Badannya telah layu dan mukanya pucat. Lelaki di depannya adalah hasil perjumpaan beberapa bulan sebelumnya. Ketika ia sedang menjalani pekerjaan di salah satu ruang Kerajaan Taruktu. Lelaki ini memandanginya dari kejauhan dan tiba-tiba saja mendatanginya. Hampir saja ia mengira akan mendapat tamparan baru. Ternyata tidak, lelaki di depannya mengambil tangannya, mengajak bersalaman. Saat itu, ada sesuatu yang tersedot ketika mereka saling bersentuhan. Sesuatu yang tidak bisa ia dijelaskan. Dia tidak yakin apakah energinya terserap, karena setelah itu ia tidak kelelahan, melainkan tumbuh kelegaan yang teramat sangat. Sesuatu yang membuat menangis. Tapi, ia terlalu bodoh untuk bisa mengerti sesuatu itu dan sekarang ia di sini, karena lelaki itu telah menjanjikan kebebasan padanya. Apa pun yang diinginkan lelaki di depannya ini, akan ia sanggupi. Demi sebuah kebebasan yang sangat diidamkan, dan sebuah kepercayaan yang tidak pernah ia dapatkan.
“Ini kamarnya Hamburmin.”
Lelaki itu sengaja menyebut namanya untuk membuyarkan lamunannya. Seketika mereka berdua mendorong pintu yang sekelilingnya dipenuhi ukiran bunga dan permukaannya berwarna biru halus.
Seharusnya kamar itu berwarna cerah. Akibat sedikit cahaya yang masuk, nuansa cerah menjadi lenyap. Bunga-bunga beraneka rupa warna masih terlihat di sisi kamar yang lebih luas. Wanginya bercampur dengan wangi kamar itu sendiri. Di tengahnya, ranjang kecil dengan pilar besi dan kelambu biru menjadi sebuah benda yang paling besar mengisi kamar itu.
“Dia lah yang harus kau bawa Hamburmin. Dialah yang mungil itu.” Lelaki yang bersama Hamburmin menyingkap kelambu di hadapannya. Tersenyum pada makhluk mungil yang ia angkat dalam dekapan.
Hamburmin tidak tahan untuk tidak menyentuhnya.
“Cantik sekali,” kata Hamburmin.
Telunjuknya yang kusam spontan mengelus kaki makhluk mungil itu.
“Juga lembut,” lanjutnya. Seketika menyadari kulitnya tidak sebanding dengan apa yang ia sentuh.
“Dengar Hamburmin, aku sudah menjelaskan padamu kebebasan yang akan kau dapatkan. Akan kutunjukkan jalan keluar untukmu. Mereka akan mengejarmu. Saat itu kau harus yakin padaku. Yakin pada apa yang telah kusampaikan padamu sebelumnya. Kau harus ingat semuanya, untukmu dan juga untuknya.” Lelaki itu mengarahkan matanya pada si bayi.