Kubangan itu hanya menggenangi lututnya. Nyaris tak berbau. Tapi luar biasa berlumpur. Suara-suara yang beradu dari arah yang jauh mereda dengan sendirinya. Hanya titik-titik api yang ia lihat berpendar secara acak. Tak ada yang mendekat. Lorong itu benar-benar rahasia. Setidaknya ia bisa merasa lega, terutama ketika lelaki yang telah mati itu sempat menyentuh bahunya. Sayangnya, ketika bayi di tangannya mulai menggeliat tak nyaman, Hamburmin berubah gugup lagi. Bau tubuh dan keringatnya telah mengancam ketenangan si bayi.
Ada yang aneh, pikirnya. Hanya pikiran kecilnya yang lewat yang ia coba abaikan. Seharusnya setiap bayi pasti akan menangis ketika dibawa berlari. Kemudian ia memikirkan hal lain. Hamburmin teringat kumpulan bunga dan nuansa biru di kamar si bayi. Bisa jadi si bayi terlalu lelah untuk menangis akibat kedatangan banyak tamu.
Suara kecipak-kecipuk air dan kakinya yang terluka tak ia hiraukan. Dia mulai bersenandung lirih untuk menenangkan si bayi. Kemudian ia tertawa pada diri sendiri, karena masih bisa bernyanyi. Padahal ia sudah lupa caranya. Makhluk mungil di tangannya membuka mata dan menatap dirinya. Selama beberapa detik, mereka menjadi dua orang yang saling mengenal. Hamburmin berusaha tersenyum ketika mimik bayi mulai berubah. Air muka di wajahnya berubah menjadi tangis. Tahap berkenalan telah gagal. Lucu, padahal Hamburmin tadi mengira bahwa si bayi adalah makhluk yang aneh karena tidak menangis. Sekarang ia harus bergoyang-goyang untuk meredakan tangis bayi itu. Seharusnya ia mensyukuri saja diamnya si bayi. Seharusnya…
Tidak, ia memang benar, bayi ini memang aneh. Tak sanggup lagi ia mencegah pikiran yang masuk secara mendadak di kepalanya. Sebentar lagi kakinya akan menginjak tanah kering. Dia berharap bisa berlari kencang saat itu. Jika tangis si bayi tak kunjung reda, ia takut seseorang pasti akan mendengarnya. Walau sebenarnya ia tidak tahu dirinya berada di mana dan gubuk tua masih belum terlihat.
Hamburmin masih berusaha mencerna tangis si bayi. Dia berpikir tangis bayi tidak semestinya seperti ini. Tangis itu aneh. Indah tapi aneh. Seperti memiliki lompatan pada tiap bunyinya. Jedanya terlalu panjang untuk sebuah tangis bayi. Seolah semua konsonan-lah yang keluar. Seolah semua suara yang aneh itu keluar dari tenggorokannya tanpa diolah. Lagi-lagi Hamburmin menyingkirkan teori-teori di kepalanya. Telah lama ia tidak bersentuhan dengan bayi. Apa sih yang ia ketahui tentang bayi?
Hamburmin berlari lagi memasuki hutan meski kakinya terasa lelah. Mengapa ia tak berpikir bahwa bayi dalam dekapannya lapar? Tapi kepekaannya berada di dalam hutan gelap dalam waktu lama telah berkurang. Jika saja ada buah-buahan di hutan ini yang dapat ia raih tanpa perlu memanjat, pikirannya berkelebat seiring dengan tangis bayi. Akan kemana ia pergi, akan kemana ia mencari, bahkan gubuk tua yang dijanjikan pun tak tampak.
Goresan-goresan luka pada telapak kakinya sedikit demi sedikit mengalirkan darah. Dia terlalu gelisah memikirkan bayi. Setengah dari pikirannya, ingin berhenti untuk beristirahat, setengah lagi merupakan pikiran gila. Dia ingin meninggalkan si bayi. Seseorang bisa saja mendengar tangisnya dan semua pelariannya akan sia-sia. Bayi yang menangis akan menghambat rencananya. Pikiran itu berputar-putar di benaknya. Napasnya tersengal-sengal. Terlalu banyak keringat mengucur, sementara otak dan kerongkongannya kering. Tangannya terasa kebas akibat menggendong terlalu lama. Dia butuh kekuatan. Air, air, ia butuh air.
Hanya air yang tertampung dari daun-daun yang dapat ia raih. Untuk sementara ia harus menaruh si bayi di tanah agar bisa menarik akar-akar yang lebih banyak menyimpan air.
“Hei, siapa di situ?”
Hamburmin melepas akar di tangannya dan menunduk seketika. Untunglah dahaganya telah lenyap, begitu pun si bayi. Dia melirik ke arah bayi yang terpisah beberapa langkah darinya. Bayi itu telah diam. ia mengarahkan tatapan kembali pada suara yang mengagetkannya barusan. Detak jantungnya berpacu seiring ketakutan yang muncul. Sosok itu berjarak dua puluh langkah darinya. Di bahunya tersampir tombak berkilau. Seorang pemburu, pikirnya.
“Kau mendengar sesuatu?” seseorang muncul dari belakang si pemburu. Rupanya bukan seorang, melainkan dua pemburu. “Entahlah, rasanya aku mendengar tangis bayi.”
Hamburmin makin membungkukkan tubuh, berharap semak belukar di hadapannya dapat menyembunyikan ia dan si bayi dengan baik. Dia melirik lagi pada si bayi. Terlalu jauh untuk diraih. Gerakannya bisa menimbulkan suara yang dapat ditangkap dua sosok di depan yang indera pendengarannya terlatih baik.
“Kau yakin itu tangis bayi?” tanya lelaki kedua.
“Kau tidak mendengarnya?” lelaki di depannya balas bertanya.
“Aku kira suara hewan,” lelaki yang baru muncul itu menyeringai.
“Kau terlalu banyak mengharapkan kedatangan buruan malam ini. Lupakan kijang, mereka sedang berlibur malam ini.”
“Jadi kau berharap apa? Berburu bayi? Ow..ooo… sepertinya ada yang terpengaruh berita kerajaan yang baru lewat,” seringainya berubah menjadi tawa mengejek.
“Kalau benar suara yang kudengar adalah tangis bayi dan itu adalah bayi yang mereka cari, apa kau bisa pikirkan berapa banyak keuntungan yang kita dapat malam ini?”
Lelaki kedua mengusap dagunya, “kurasa kau benar.”
“Sebenarnya aku juga mendengarnya tadi. Tapi, aku tidak yakin itu suara bayi menangis,” sambungnya lagi. “Aku sering mendengar bayi menangis. Sedangkan suara itu seperti …” lelaki kedua tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Kawannya menyuruhnya diam. Ada sesuatu bergerak menuju mereka. Sesuatu yang menggesek semak-semak secara kasar. Berlari dan menghambur ke arah mereka. Bergerombol dan beringas.
Hamburmin memperhatikan perubahan pembicaraan dan gerak mata kedua pemburu. Dari arah kanan Hamburmin, sekawanan serigala muncul menerobos. Kencang dan berisik. Menabrak apa saja di depan mereka. Hamburmin menahan napas.
Kawanan serigala berhenti tepat mengelilingi kedua pemburu. Masing-masing dari mereka membuat lolongan panjang mengerikan. Hamburmin melihat jelas kedua pemburu itu terperanjat. Rasa percaya diri sebagai pemburu berganti menjadi ketakutan. Sama ketakutan dengan dirinya. Setidaknya para pemburu itu lebih sigap dengan mengeluarkan tombak-tombak terasah dan belati siap pakai. Sementara Hamburmin hanya mampu meraih akar-akar yang tadi ia lempar. Sama sekali tak berguna.