Timimina menghentikan langkah ketika mereka mencapai daun pintu. “Ayah baru saja datang dan menanyakanmu. Oh, bajumu,” Timimina setengah memekik dan membawa tangannya menutupi mulut. Entah mengapa Delmina merasa Timimina berlebihan. Apa yang diharapkan Timimina dengan pakaiannya? Biasanya tak seorang pun akan memberitahu caranya berpakaian keluar dan masuk rumah. Delmina menatap dirinya sendiri hingga ke ujung kaki. Beginilah tampilannya sehari-hari. Satu-satunya yang tak ia harapkan adalah memiliki rambut sekusut ini. Dengan jengah ditarik rambut kusutnya. Timimina sendiri memiliki rambut yang bisa dikepang.
“Sudahlah, percuma saja.” Timimina mendorong pintu. Saat itu, Delmina membiarkan mulutnya terbuka lebar.
Dua orang perempuan yang tak dikenalnya berseliweran di dalam rumah. Percikan wangi bunga seperti menempel pada dinding-dinding batu rumah mereka. Lantai yang sehari-hari kasar menjadi selicin kulit apel. Pada ruang makan, di bagian belakang rumah yang berdempetan dengan dapur –dan kamar Delmina – terlihat lebih banyak lagi pergerakan.
“Kau terlambat,” Selamina berkata pada Timimina. Dia bergerak merapikan kursi. Sorot matanya melirik sengit pada Delmina, lalu tak acuh kembali. Salah seorang perempuan tadi datang meletakkan piring. Delmina mencoba menghitungnya. Tujuh piring bersusun di depan kursi. Satu piring diletakkan di sisi meja tersendiri. Di depan kursi ayah. Delmina mencoba mengatur orang-orang yang akan duduk di kursi dalam kepalanya. Ayahnya akan berada di kursi utama, di sisi kiri ada Taramina selaku anak tertua, lalu Selamina, selaku anak kedua, dan Baramina si anak ketiga. Di seberangnya ada ibu mereka di sisi kanan ayahnya, lalu Timimina si anak keempat dan ia si putri bungsu.
Makan bersama tidak menjadi ciri khas keluarga ini. Kecuali, jika ayah mereka pulang, seperti hari ini. Yang berbeda adalah keramaian dua perempuan ini dan mangkuk kristal. Delmina melihat mangkuk-mangkuk kristal milik keluarga Barto keluar dari persembunyian. Juga hidangan menggiurkan yang sebentar-sebentar datang entah dari mana. Delmina menghirup aroma daging ayam yang baru saja selesai dipanggang. Lauk yang Delmina tidak yakin apa sebutannya, yang ia yakin, itu pasti lezat. Lalu datang lagi saus kacang dan tomat, jagung-jagung segar dan sayuran lain, telur-telur yang dikocok dengan bawang dan seledri, puding cokelat manis berlapis susu, juga wadai pisang yang terlihat memanggil-manggil Delmina dari atas meja. Semuanya membuat Delmina senang sekaligus bertanya-tanya. Biasanya makan bersama tak pernah semewah ini.
Delmina memiliki dugaan baru. Para perempuan yang berseliweran tadi pasti yang memasak semua ini. Karena kakaknya, juga ibunya, apalagi dirinya sendiri, tidak pandai memasak. Meja makan panjang mereka kini sempurna dengan hadirnya minuman segar, sari jeruk.
Taramina menuruni tangga dengan tangan menggantung di perut. Dia selalu tampak anggun dan memesona. Lapisan dalam bajunya berwarna kuning telur dengan lapisan depan berjumbai tingkat berwarna kuning muda. Selendang putih melilit sempurna di dadanya. Tubuhnya ramping dan ia selalu berusaha menunjukkan itu. Kepalanya terangkat sedikit seperti biasa. Bibirnya yang rata terkatup sempurna. Sayangnya keanggunannya sering bercampur keangkuhan dan tatapan mengintimidasi.
Barmina turun mengikuti gerak kakaknya. Dia ikut merapikan baju yang tampak telah rapi. Barmina tidak tinggi seperti Taramina, ia pendek dan gempal. Meski usianya empat belas tahun, ia hanya setinggi Timimina yang berusia dua belas tahun. Jika dilihat dari tindak tanduknya, Barmina berusaha keras meniru Taramina. Apa pun yang Taramina lakukan akan senang hati diikuti Barmina, bahkan jika Taramina memintanya melakukan sesuatu.
Taramina memang pandai bicara. Sejauh tidak merugikan, Taramina sangat bangga memiliki penggemar seperti Barmina. Dia akan menganggap adiknya sebagai sosok berbakat, terpuji dan bisa dimanfaatkan.
“Timi, dari mana saja kau?” Barmina menatap Timimina yang sedang memeluk tangan. Timimina sering melakukannya jika ia merasa gugup, bingung atau kikuk.
“Aku yang menyuruh adik kita ini untuk menjemput si –siapa hari ini?” dengan tampang pura-pura menyelidiki, Taramina menurunkan bola matanya menyusuri seluruh tubuh Delmina. “Ah, Si Nona Bernoda Ungu,” Taramina mengacungkan jari ke saku Delmina tanpa berniat menyentuh sedikit pun.
Barmina menatap sosok yang dituding Taramina. Sambil memutar bola mata, ia memutuskan tak peduli. Dengan langkah terayun, ia mendekati Selamina.
Delmina melirik dirinya pada bagian yang dimaksud Taramina. Baru itu ia menyadari, masih ada sisa murbei di kantong. Delmina mengabaikan noda yang mencuat di baju, lalu mengambil sedikit sisa murbei dan menyerahkan pada Taramina.
“Hoh, yang benar saja? Lihat tangannya. Jorok sekali.”
Taramina mengeraskan suaranya sembari menunjuk-nunjuk tangan Delmina, berusaha sekali memamerkan pada semua orang di situ betapa menjijikkannya si bungsu.
Delmina mengamati tangannya tanpa merasa bersalah, mencari bagian kotor yang dirasanya tak ada. Itu hanya warna ungu-merah. Bukan kotor.
“Timi, segera urus adikmu ini atau ayah akan marah pada kita semua.”
Timimina segera menarik tangan Delmina, “Del, ayo kau harus mandi.”