“Silakan masuk,” Nyonya Wipa, ibu Askun menyambut tamunya dengan wajah ceria. Tuan Romun dan Tuan Barto saling menyambut sukacita. Dari semua anak Tuan Barto, hanya Delmina yang berseri-seri. Bajunya bersih dan rapi. Tidak semenarik yang lain memang. Tapi, cukuplah itu. Tuan Romun memiliki dua anak, gadis muda bernama Serrpa yang seusia Taramina, dan Askun yang seusia Timimina. Tuan Romun tinggi dan tegap, berhidung mancung, kumisnya tipis panjang mengikuti bibir. Janggutnya berbentuk segitiga lancip kaku. Serrpa mirip ayahnya, tinggi dengan hidung yang juga panjang. Sedang Askun mirip dengan ibunya yang berwajah mungil.
“Sudah lama sekali kita tidak mengadakan jumpa seperti ini,” Tuan Romun mengibaratkan mereka orang penting serta sibuk. Tuan Barto mengangguk-angguk. Wajahnya tak kalah ceria, meski kesan kaku selalu melekat. Berbeda dengan Tuan Romun yang lepas, jujur dan blak-blakan. “Ini pasti Taramina. Selalu sehat dan anggun.” Taramina tersenyum penuh kebanggaan, “begitu pun Anda Tuan Romun,” katanya dengan sorot mata bersinar. “Selamina! Aku tahu karena kau selalu lebih tinggi dari yang lain,” Tuan Romun lanjut mengidentifikasi tamunya, “Barmina! Wah, wah. Apa kau selalu menghabiskan makanan saudarimu Nak?” Barmina yang sudah memasang senyum ramah, berubah cemberut. Sedang yang lain, berusaha menahan tawa.
“Aku senang bisa melihatmu di sini Timimina, biasanya kau selalu menyendiri. Makin lama wajahmu mirip ibumu.”
“Terimakasih Tuan Romun,” Timimina menunduk sedikit. Di antara anak Tuan Barto, Timimina-lah yang paling mirip ibunya –kecuali keluhan sakit kepala. Timi, berdahi sempit dan mata yang sayu. Tuan Barto sendiri tinggi dan berwajah bundar. Lingkaran cerah di kepalanya menandakan banyak pikiran. Kedua pipinya berkantong, begitu pula matanya. Kalau diperhatikan Selamina mewarisi wajah Tuan Barto, disusul Barmina. Sedangkan Taramina merupakan perpaduan kedua orangtuanya. “Kalau kau manis. Aku sudah hapal dirimu,” Tuan Romun menunduk di depan Delmina.
Nyonya Wipa menyapa Nyonya Rulemina mengajak semua orang masuk lebih dalam. Rumah Tuan Romun besar dan luas. Ketika masuk lebih dalam, mereka terkejut karena hampir semua dinding dan barang-barang –entah apa– diselimuti kain putih.
“Apa yang kalian perbuat dengan rumah ini?” Tuan Barto mendahului bertanya.
“Ini pekerjaan mereka berdua,” Tuan Romun menunjuk istri dan anak perempuannya. “Mereka takut anak-anakmu akan muntah seperti waktu itu,” lanjut Tuan Romun yang anehnya terdengar bangga. Timimina bergidik, sepertinya ia-lah orang yang benar-benar ingin muntah. Mereka langsung tahu apa yang tersembunyi di balik kain-kain putih itu.
Dulu, Tuan Romun juga pernah mengundang keluarga Tuan Barto makan bersama. Tuan Romun memiliki kegemaran berburu ikan-ikan ajaib. Saat itu sebelum makan, Tuan Romun memamerkan ikan berhidung manusia yang bisa kembang-kembis dan ikan langka yang sudah mati tapi tetap bisa meludah. Walhasil, Timimina muntah di meja makan. Selamina muntah karena melihat muntahan Timimina, lalu Barmina muntah di luar rumah Tuan Romun karena terlalu banyak makan. Taramina, yang selalu berusaha tampil anggun, berhasil hanya mual saja. Tapi, Nyonya Rulemina menderita sakit kepala selama tiga hari akibat mengira dirinya tidak normal karena sama sekali tidak berkeinginan untuk muntah.
Tuan Barto mengangguk-angguk saja. Dia tidak begitu pandai menyikapi situasi yang ada. Melihat kerumunan ikan atau kain lebar tidak ada beda baginya. Sementara bagi Delmina itu berbeda, ia sudah bersiap melihat ikan-ikan beraneka rupa dan sedikit kecewa pada kain-kain yang bergelantungan.
“Jangan khawatir aku akan memperlihatkannya setelah kita makan,” kata Tuan Romun tanpa ada seorang pun meminta atau merasa senang.
Meja makan panjang disiapkan dengan sempurna. Keluarga Tuan Romun dan keluarga Tuan Barto duduk berhadapan.
Meja mulus menadah piring-piring cantik, dan mangkuk-mangkuk sup, sayur-sayur lezat, makanan berbumbu pedas, gurih serta manis, buah-buah terbelah, minuman segar, dan kue-kue beraneka jenis.
Namun, tak seekor ikan pun dihidangkan di atas meja.
“Apa menurutmu kita sudah sampai pada tahap kejayaan?” tanya Tuan Romun ketika sudah menyelesaikan obrolan basa-basi. Rupanya ia tak butuh jawaban, “peningkatan dimana-mana. Para pelaku kerja telah menjadi penggiat, para prajurit dengan pendapatan terbaiknya. Mereka tidak perlu berlatih terus menerus. Berleha-leha saja dan kau akan mendapat pujian. Dan kau tahu ada lelucon untuk para Tak-Tik-Tuk? bahwa mereka tidak perlu mengasah pedang mereka, melainkan kuku mereka.” Tuan Romun mengakhiri kalimatnya dengan tawa.