Delmina dan Sang Pembaca

lidhamaul
Chapter #6

#6. Hanya dalam Kepala

Sudah menjadi kebiasaan di Wilayah Keberanian untuk menikmati kudapan dadar susu manis sebagai hidangan penutup atau saat-saat bersantai. Dengan niat tulus yang membuat beberapa wajah menelan senyum, kusut dan cemberut, Tuan Romun berniat menunjukkan hasil koleksinya selama bertahun-tahun. Serrpa melewati para tamu dengan sedikit rasa kecewa. “Aku harap dapat memamerkan ini sebelum makan,” lirihnya menuju kain terbentang paling ujung. Delmina dan Askun yang berada di dekatnya bersiap menikmati pemandangan seru, yang hanya menurut mereka saja. Pasti koleksi Tuan Romun terus saja bertambah, buktinya bentangan kainnya sangat besar, luas dan merayap hingga ke dinding. “Sayang, yang akan muntah lebih dulu justru adiknya,” lanjut Serrpa dalam lirih yang sama. Kedua tangannya terangkat memegang kain. “Bersiaplah!” Serrpa berseru di depan kedua keluarga itu, dan mereka yang antusias mulai berhitung, mereka yang tidak semangat memasang tampang jijik, pura-pura merapikan baju atau menjatuhkan benda di dekat kaki.

“Aku persembahkan koleksi ikan-ikan ajaib Romun!” Tuan Romun berdiri dengan satu tangan menyentuh dada dan tangan lain terangkat. Kain-kain tadi telah melayang dan menimbun di lantai membentuk gumpalan besar yang tidak akan masalah bila terinjak. Dinding-dinding rumah Tuan Romun yang seharusnya berupa susunan batu-batu berubah menjadi kilau kaca berwarna biru, hijau dan tembus pandang. Suara 'waw' menggema di ruangan itu yang sebenarnya hanya berasal dari Tuan Barto seorang. Ikan berwarna lila sepanjang tangan manusia berbelok mendekati kaca lalu berhenti, memasang pesona seolah tahu para tamu akan terjerat kecantikannya. Delmina menganga lebar, wajahnya berkali-kali tertimpa cahaya akibat pantulan kaca.

Kemudian, masih dalam keadaan tercengang, ikan lila itu menutup dan membuka mulutnya, cukup lama seperti sedang ingin menyampaikan sesuatu, dan keluarlah lingkaran-lingkaran gelembung udara.

“Perkenalkan, si lila pengecup,” Tuan Romun mendaratkan tangannya ke kaca. Ikan lila lain datang silih berganti, membuat gelembung yang saat pecah menebarkan sepintas warna lila.

Di dalam akuarium terdapat tumbuhan air, dan bebatuan yang menyembunyikan ikan-ikan lain yang pemalu. Ikan juling-juling memutar kedua matanya hingga bersentuhan. Ikan tapak kaki membuat jejak-jejak di pasir berwarna biru cerah.

Dari bawah pasir, tampak ekor-ekor bermunculan, mengulir, membentuk spiral layaknya per. Ekor itu menekan ke bawah, dan 'hup' ikan yang di dalam pasir berpindah tempat. Ekor itu berubah lagi menjadi lurus dan bersembunyi lagi di dalam pasir.

Tuan Romun memaksa tamunya berdiri untuk melihat pertunjukan selanjutnya. Nyonya Wipa menggandeng Nyonya Rulemina yang mulai mengeluh sakit kepala, seolah ikan tadi mengecup kepalanya. Timimina mengeluarkan kepala dari bahu kakaknya. Sadar, bahwa tidak ada ikan yang menakutkan. Taramina mau tak mau bangkit dari kursinya, bersiap menghadapi isyarat tantangan Serrpa. Selamina yang berbadan jangkung justru bergidik ketika tangan Serrpa lagi-lagi menarik kain yang agak tinggi yang bukan menutupi dinding, melainkan sebuah benda di sampingnya. Serrpa memandang Selamina geli, ayahnya mengungkapkan rahasia soal ular derik dan gadis itu justru ngeri dengan ikan-ikan yang terperangkap.

*

Ketika kain ditarik lagi, bunyi wush terdengar jelas. Sekilas semua mengira Serrpa terlalu kencang menarik kain. Namun, akhirnya mereka melihat ikan buntal bertotol-totol ungu cerah terpelanting ke udara. Perutnya membuncit besar, terus membesar tanpa diduga, dan ikan itu mengeluarkan bunyi wush lagi, dan seketika perutnya mengempis, lalu masuk lagi ke air hingga tertidur. “Biasanya setelah tiga atau empat kali ia akan kelelahan dan tidur cukup lama,” papar Tuan Romun yang beranjak dari satu kaca ke kaca lain.

Kecuali Nyoya Rulemina yang terduduk di kursi didampingi Nyonya Wipa, semua berbelok ke ruangan lain mengikuti Tuan Romun. Selain ruangan khusus, dinding kaca, kotak, stoples, botol yang berisi air, Tuan Romun juga memiliki koleksi ikan ajaib yang telah membatu, yang salah satunya tak ingin dilihat Barmina.

Ikan yang bercorak kecubung tampak lucu sekali melayang di air, bulu matanya panjang membuat Delmina berpikir ikan itu senang bermain mata. Delmina mendekatkan wajahnya ke kaca, menjadikan lubang hidung dan giginya terlihat besar jika dilihat dari posisi ikan-ikan itu.

“Sini, lihat yang ini,” Askun berjongkok beberapa langkah di sisi Delmina, menunggu beberapa saat sampai yang ia maksud muncul. Delmina berada di samping Askun, merasa antusias dan berpikir apakah ini keahlian Askun atau ia juga akan bisa nantinya. “Itu dia,” kata Askun dengan telunjuknya. Delmina hanya melihat seekor ikan hitam biasa, mirip ikan-ikan di atas piring yang jika Selamina menggorengnya pasti gosong. Ikan itu melayang-layang di atas pasir, bertatapan dengan Askun.

"Perhatikan,” Askun mendekatkan bibir, mengeluarkan kata ‘sapu’ tanpa suara. Ikan hitam itu berlaku sama, menggerakkan bibirnya, sehingga seperti menyebutkan kata ‘sapu’. “Ikan peniru,” jelas Askun. Mata Delmina membulat terkagum-kagum, tanpa diminta ia mencoba peruntungan yang sama, bibirnya bergerak membuat kata ‘pintu’. Ikan itu pun ternyata berhasil menirukan ‘pintu. Delmina senang sekali. Dia bangga bisa melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak rumit sama sekali.

Askun mendekatkan bibirnya lagi. Kali itu ia bersuara keras, “Askun tampan.” Delmina langsung nyengir luar biasa. Bukan karena kata-kata Askun, tapi karena ia tidak mungkin bisa menyainginya kalau begini. “Tempelkan telingamu,” perintah Askun. Delmina mengikuti Askun saling menempelkan telinga ke kaca. Dan benar, ada suara mirip 'Askun cakep' bercampur blup-blup memantul ke telinga mereka. Wajah Delmina berpadu antara terkejut dan takjub, ceria dan tak percaya. “Giliranmu,” sorong Askun tak peduli. Delmina cemberut seketika, Askun tahu benar Delmina tidak bisa mengucapkan satu kata pun. “Ayo, cobalah. Suara asal-asalan saja tidak apa,” saran Askun lagi.

Mau tak mau Delmina tergoda juga. Secara bodoh, ia menempelkan bibir ke kaca, memikirkan berkata apa. Setelah sadar, ia memang tidak bisa berkata sekehendaknya, Delmina berbunyi asal-asalan saja. Yang penting bersuara, pikirnya.

“Ndddkkooimzzp ythsssiiiemoldoioi – ”

Seketika itu juga Askun terpingkal-pingkal, terduduk di lantai dengan tangan memegang perut. “Suaramu seperti orang yang kebanyakan makan jempol kaki.”

Tuh, kan! Delmina memekik dalam hati. Mata Askun yang mengecil berkilat-kilat geli. Tak urung Delmina ikut geli juga.

Bersama-sama mereka menempelkan telinga ke kaca. Askun bersiap-siap untuk tertawa kedua kalinya. Dan ketika Askun tertawa, Delmina kebingungan. Tidak, ia tidak mendengar tiruan suaranya. Untuk kedua kali, ia menempelkan telinganya lagi. Benar, tidak ada suara apa-apa. Benaknya berputar-putar dan tiba-tiba saja ia berpikir tentang persembunyian. Apa sekarang saat yang tepat untuk bermain sembunyi-sembunyian ?

“Lihat, mereka saling menolak!” Askun sudah berhenti tertawa dan menunjuk sisi kaca yang lain, tiga ekor ikan yang berjambul warna-warni saling mengelilingi. “Ini ikan bunglon berjambul,” jelasnya saat mereka sudah berpindah posisi, “mereka hanya bisa mengubah jambul mereka dengan ikan sejenis. Jika dua ekor ikan bunglon berjambul saling bersentuhan, maka warna jambulnya akan tertukar.” Delmina yang berhenti memikirkan apa yang tadi ada dalam kepalanya, menanti-nanti saat jambul mereka tertukar. Tiga ekor ikan itu berjambul hijau-turangga, jingga-kelabu, dan merah terang-kelam baja. Si jambul hijau-turangga mendekati si jambul merah terang-kelam baja, si jambul merah mengejar si jambul jingga-kelabu, sedang yang jambul jingga-kelabu menginginkan jambul hijau-turangga. Tiga ekor ikan itu terus saja begitu tanpa ada satu pun yang berhasil bersentuhan.

“Bagaimana Anda bisa mendapatkan ini semua. Saya rasa tentu ada larangan menyimpan hewan-hewan langka ini bukan?” Suara Taramina terbawa angin dari ruangan berbeda. Sosoknya muncul dengan membawa ikan yang telah terbujur kaku dalam mangkuk kaca. Dengan asal, ia menaruh mangkuk kaca itu di pinggiran akuarium kecil yang terbuka. Dia menepuk lembut tangannya, seolah penyakit baru saja berkumpul di situ. Bunyi 'plung' kecil muncul saat ikan langka yang beku itu merosot ke dalam air. Serrpa menahan geraman dan segera mencari sesuatu. Ikan-ikan lain dalam akuarium mulai berkerumun untuk mencari tahu benda apa yang terjatuh.

“Tidak ada satu pun. Aku pergi ke berbagai tempat, mengenal banyak orang, mencari informasi, sedikit usaha sana-sini. Itu saja,” papar Tuan Romun.

Lihat selengkapnya