Setelah merapikan ranjang, Delmina duduk di hamparan permadani tipis dalam kamarnya. Dia masih flu. Kemarin, kakak-kakaknya meminta Delmina mengambil obat hitam pesanan ibunya yang sudah beberapa hari belum diambil sejak Delmina pergi ke pusat wilayah. Ayah akan pulang dalam waktu lama, kesempatan menyuruh Delmina apa saja tentu tidak akan disia-siakan kakak-kakaknya. Beruntung ia bertemu Serrpa di jalan dan berkenan mengantarnya pulang. Sepanjang jalan, Serrpa mengeluarkan sumpah serapah untuk para kakak Delmina.
Serrpa sangat mirip Tuan Romun yang tidak suka berpikir terlalu lama untuk mengeluarkan kata-kata. Dia juga sangat senang berdagang, tapi sepertinya Tuan Romun lebih senang mengajak Askun bepergian. Kakak Askun itu lebih cocok menjadi kakak Delmina daripada kakak-kakaknya sendiri.
Di kamar, Delmina sedang fokus menggambar, kegiatan yang ia lakukan jika Askun tidak mengajaknya bermain. Katanya sekolah sedang libur dan Askun diajak Tuan Romun bepergian ke luar wilayah. Tumpukan buku lain menyebar di sekelilingnya. Ada buku berjudul : Bagaimana Mengikatkan Mafela Sendiri dalam Tiga Langkah, Mengenal Wilayah Taruktu (melalui gambar). Buku-buku kisah legenda, mengenal hewan, dan buku-buku permainan. Semua buku-buku itu hadiah dari ayahnya, Askun dan warisan dari Serrpa. Delmina melirik tumpukan buku lain, ia baru ingat ada juga buku-buku dari Timimina yang belum dikembalikan. Kata Timimina, itu buku-buku ketiga kakaknya yang tidak lagi dipakai, tapi Delmina harus merahasiakannya dan nanti harus dikembalikan ke Timimina secara diam-diam. Tapi di mana Timimina? Dua hari ini ia tidak melihatnya.
Baru saja Delmina memikirkan itu, tiba-tiba pintunya diketuk. “Del, buka pintunya. Aku membawakanmu susu hangat.” Itu suara Timimina, ia masuk dan meraba dahi Delmina. “Tidak panas. Ini, minumlah. Aku pikir kamu sakit, jadi aku juga membawakanmu selimut.” Timimina menaruh segelas susu di atas meja kecil di kamar itu dan menyerahkan selimut. “Terima kasih,” ucap Delmina melalui gerakan tangan. Ketika hendak berbalik, mata Timimina menyorot ke satu arah. “Itu... sudah lama di sini, bisakah aku mengambilnya kembali?” Delmina mengangguk, ia saja ragu menyentuh buku itu. Lalu Timimina keluar kamar terburu-buru. Timimina memang seperti itu, kadang menyerupai kawan, kadang menghindar seakan ia lawan. Delmina pun melanjutkan kegiatannya. Tanpa Askun, hari-harinya akan berlanjut membosankan.
[]
Menjelang sore, Delmina yakin selimutnya sudah wangi. Sudah tiga hari ia menggunakannya, ia sudah mencucinya dan sudah waktunya dikembalikan meski Timimina belum memintanya. Flunya sudah beres total. Tiga hari ini selalu ada susu di kamar Delmina, tapi ia tidak melihat Timimina mengantarnya. Setelah minum susu badannya terasa rileks dan bisa beristirahat. Rasanya seperti istirahat panjang, tahu-tahu bangun dan kelaparan. Dia sempat melihat ibunya. Seperti biasa, ibunya hanya keluar kamar seperlunya lalu sepanjang hari berada di kamar lagi. Dia juga tidak melihat ketiga kakaknya yang lain yang biasanya makan di dapur.
Mumpung sepi, Delmina ingin mengembalikan selimut kepada Timimina. Dia sering melakukannya, mengembalikan barang Timimina diam-diam di depan pintu, atau main ke lantai atas lalu turun lagi, asalkan suasana sepi. Seandainya saja Timimina tidak sekamar dengan Barmina, ia pasti berani masuk ke kamar itu. Sebenarnya, kalau dirinya ketahuan, mereka bisa apa, paling menghardik. Toh, tiap hari kakak-kakaknya juga menghardiknya.
“... kalau dibuang artinya memang tidak diinginkan. Lalu ayah kita dengan bodohnya mengambilnya. Kau waktu itu masih kecil Bar, sulit bagimu mengerti situasi yang kami berdua hadapi.”
Delmina pikir tidak ada siapa-siapa tadi, tapi itu suara Taramina di kamar Timimina.
“Aku tidak mengerti? Anak pungut itu mengambil kesenanganku. Teman-temanku menghindar setiap ia muncul, karena tidak tahan mendengar suara anehnya. Aku sering terisak di sekolah karena mereka mengolok-olokku, katanya aku bersaudara dengan oposum. Aku juga harus kehilangan bantal stroberi kesayanganku, boneka cantik dan ksatrianya, karena ibu memaksa, agar ayah tidak perlu membeli lagi katanya.” Suara Barmina terdengar keras.
“Sama. Boneka beruangku juga diberikan padanya.”
“Dasar Sela bodoh. Kalau boneka itu memang sudah busuk.”
“Yang penting kan ia ada ngambil barang kita, jadi kita punya alasan untuk... Eh, kau kenapa berhenti dari tempat pekerjaanmu itu? Apa benar karena Delmina? Dia kan di sini. Gosipnya kau diputusi seseorang ya?”