Bibi Mindu sekali lagi mengangkat alis dan berdecak. Dia akan sangat menyesal jika saja tidak memasang palang pada jendelanya.
“Lama-lama ia akan merusak seluruh rumah ini,” Bibi Mindu menggumam sendiri. Demi memastikan tak ada yang hilang sesuai pikirannya, ia mengecek isi peti di kamar itu. “Masih utuh,” gumamnya lagi. Dia sudah mengamankan perhiasan yang ada di sana sebelumnya. Menurut Bibi Mindu, si pencuri hanya berhasil merusak palang jendela tapi tidak masuk ke kamar.
Bibi Mindu ingin sekali mengganti jendelanya, pintu kamar dan pagar halamannya, serta rumah ayam, kandang hewan ternak, tangki air, ––. Terlalu banyak kerusakan melintas di kepalanya dan ia tidak punya banyak penghasilan untuk memperbaiki semuanya sekaligus.
Dalam hati ia bertanya, dengan cara apa pencuri itu berhasil menaiki jendelanya yang tinggi dan sempat merusak palangnya. Akhirnya ia menemukan seutas tali masih tersangkut pada sisi jendela luar. Sangat nekat, pikirnya.
Dari luar, udara pagi menekan-nekan kulitnya, menghantarkan suara gemerisik sungai yang memecah lamunan Bibi Mindu. “Ada baiknya aku memeriksa tangkapanku, mudahan aku beruntung ada yang bisa kujual.”
Bibi Mindu keluar dari kamar, menuruni tangga dan keluar rumah menuju belakang rumahnya. Rumahnya berdiri sendiri tanpa ada tetangga, bersebelahan dengan kandang hewan, di belakangnya ada Sungai Lekuk yang membelok menuju pusat wilayah. Setiap petang, ia memasang perangkap di sana. Mencoba peruntungan yang nyaris hampa. Hampir setiap hari tangkapannya nihil. Jika pun ada, hanya satu atau dua yang tertangkap, yang akhirnya dimakan sendiri. Tapi, Bibi Mindu terus menyemangati dirinya dengan berkata : semoga hari ini beruntung.
Benar. Pagi itu ia dikejutkan ikan-ikan, udang dan kepiting yang berlompatan ke dalam perahu.
Bukan.
Bukan tentang ikan dan udang. Tapi, betapa banyaknya hewan air itu di dekat perahu tak terpakai miliknya yang terombang-ambing. Keadaan itu bagai ilusi bagi Bibi Mindu. Ikan, udang besar, kepiting, yang sudah lama tidak meramaikan paginya, terus saja bermunculan dari bawah air, melompat-lompat dari luar dan ke dalam perahu. Bibi Mindu semakin mendekat dan berharap matanya salah. Bukannya ia tidak tertarik melihat ikan dan udang yang sedemikian banyak. Hanya saja tersirat kekecewaan bahwa perangkapnya sama sekali tak berguna. Mereka tertarik pada perahu kecil itu. Jadi ada apa di sana? Bibir perahu itu memang sering mencium permukaan air, tapi melihat hewan-hewan berlompatan, berdesakan dan bergesekan memancing Bibi Mindu mendesah takjub.
“Tidak mungkin,” kening Bibi Mindu berkerut. Dia bergerak perlahan mendatangi perahu, menariknya sekuat tenaga agar lebih dekat. Dia tidak punya pikiran apa-apa kecuali menuntaskan penasaran.
Seketika itu juga, muncul kekalutan dalam diri Bibi Mindu. Pikirannya dirasuki prasangka baru. Seperti sebuah titik samar di kejauhan yang jika terus diperhatikan akan memperjelas titik itu. Seperti hewan-hewan air itu juga, semakin diperhatikan, semakin yakin mereka sedang melakukan sesuatu. Karena ketika mendekat keheranan Bibi Mindu justru lebih ganjil dari sebelumnya. “Tidak! Mayat! Mayat anak perempuan!”
Teriak Bibi Mindu meski ia tahu tak seorang pun akan mendengarnya.
Tiba-tiba saja mayat itu terbatuk. Sekali saja. Lalu diam lagi.
Bibi Mindu sudah kewalahan mendapati banyaknya keanehan pagi ini. Tapi, gerakan dari mayat anak perempuan membuat hatinya diremas senang. “Dia masih hidup, masih hidup!”
Saat itu kesadaran menyentaknya kuat. Secepatnya ia tarik anak perempuan itu keluar dari perahu. Ikan-ikan yang masih bergerak di dalam perahu, segera dilemparkan lagi ke sungai. Pagi ini, ikan-ikan itu tidak menarik hatinya meski setiap hari selalu dinanti.
[ ]
Delmina terbatuk berkali-kali. Dari mulutnya keluar air. Kepalanya berdenyut-denyut dan matanya terlalu berat untuk membuka. Udara terasa memenuhi dadanya secara mendadak. Perutnya dihantam rasa mual.
Seseorang telah menepuk-nepuk pipinya.
Delmina yakin ia baru saja bermimpi. Seorang perempuan memegang lengannya dan tersenyum padanya. Tidak mungkin ada yang tersenyum padanya.
“Oh, kau cantik sekali.”
Cantik? Tidak ada yang menyebutnya cantik.
“Bibi tidak akan menyakitimu. Tenang ya, kau masih hidup.”
Lagi, perempuan itu tersenyum. Rasa sakit yang melanda tubuh Delmina juga bergulung-gulung mengumpul di hatinya.
Aku tidak percaya!
“Jangan khawatir, Nak. Kau akan aman di sini. Kau aman,” dan tangan perempuan itu membelai lembut lengannya,” saat itu juga kegelapan menarik kesadaran Delmina kembali.
[ ]
Delmina membuka mata dan menutup lagi. Aroma pahit dan kering tersangkut di kerongkongan. Badannya menggigil kuat, gemetar oleh rasa dingin. Delmina memeluk diri, menghalau rasa dingin yang berada dalam tubuhnya namun tidak pada kulitnya. Dia demam.
Dua sosok di dekatnya tak dapat ia lihat utuh, namun dapat ia dengar sedang bercakap-cakap.