Udara pagi yang masuk melalui celah palang jendela membuat Delmina terbangun. Dia berharap jendela itu benar-benar bisa tertutup nantinya, tapi ini bukan kamarnya. Dia masih sering bermimpi kamarnya yang lama, sayangnya ketika bangun selalu berakhir dengan kesedihan. Delmina belum mau memikirkan berapa jauh wilayah ini dan wilayah asalnya, serta bagaimana ia terbawa arus. Dia menuruni tangga perlahan dan mendapati tak seorang pun ada di sana, termasuk ayah Kurr alias si pencuri alias si pemabuk alias si ia saja.
Pintu depan terbuka dan ia ingin tahu ada apa di luar sana. Rumah Bibi Mindu cukup besar, mungkin tidak sepanjang rumahnya, tapi rumah ini lebih tinggi. Pemandangan depan rumah Bibi Mindu sungguh menakjubkan. Tanah yang luas dengan aneka tanaman, sementara jauh di seberangnya hanya langit, sepertinya ia berada di bukit. Tidak ada satu pun rumah lain terlihat. Sekelilingnya ada pagar rusak. Awalnya Delmina tidak mengira itu pagar.
Delmina berjalan pelan dan memutar badannya menghadap rumah Bibi Mindu yang akhirnya ia tahu itu adalah rumah kayu tua yang masih indah. Di sisi kiri Delmina yang cukup jauh terdapat rumah ayam, tapi saat itu Delmina hanya tahu itu bukan rumah manusia, saking sepi karena ayamnya sudah tidak ada lagi, ada tangki air yang hampir terjun ke tanah, ada aliran air yang membatasi rumah ayam dan tanah lapang.
Berdekatan dengan rumah Bibi Mindu ada kandang, dan di belakangnya-lah terdapat sungai. Ada tebing dan hutan yang menutup pemandangan. Delmina juga melihat aliran sungai itu menembus hutan dan melaju ke tepi jalan, setelah itu hilang. Delmina yakin aliran sungai itu menuju ke keramaian.
Dari arah kandang, ada suara-suara diiringi empat orang keluar serta serta seekor kuda.
“Terima kasih sudah menjualnya,” seorang lelaki paruh baya yang tidak pernah dilihat Delmina, keluar dan menatapnya heran. Bibi lain kawan Bibi Mindu buru-buru menghampiri dan menyentuh tangannya. “Anak asuhku, sudah bangun rupanya,” ucap bibi itu.
Lelaki itu menatap lengan Delmina, tersenyum datar lalu membuang muka. Mendadak Delmina terheran-heran melihat ada gelang merah jambu di tangannya. Pasti kawan Bibi Mindu yang melakukannya barusan. Kurr, si anak lelaki bermata tajam sedang menuntun seekor kuda yang tidak terlalu besar. Kurr sempat menatap Delmina sesaat dan bersikap tidak peduli setelahnya. Bibi Mindu mendekatinya dan berkata, “Itu kuda Kurr. Kuda terakhir yang harus kami jual.” Wajah Bibi Mindu nampak sedih tapi jauh di sana wajah Kurr sebenarnya nampak lebih sedih. Delmina berpikir kuda itu mungkin sedang sakit sehingga harus dijual. “Tidak ada yang mengurusnya lagi, dan ia sering sakit,” ucap Bibi Mindu. Lelaki paruh baya itu kemudian membawa pergi kuda Kurr setelah berpamitan meninggalkan Kurr yang membalikkan badan dan beranjak menjauh.
Bibi Mindu dan kawannya segera mengajak Delmina masuk. “Kau pasti belum mandi ya kan?” tanyanya sambil meraih pundak Delmina. “Ini Russ, panggil saja Bibi Russ, ia seorang penyembuh. Dia banyak membantuku di sini,” ucapnya lagi, sementara Bibi Russ masuk lurus menuju dapur.
Ternyata Bibi Mindu sudah berniat memandikannya, membuat Delmina malu dan kikuk. Sebelumnya Bibi Mindu pun sudah pernah memandikannya, tapi Delmina tidak mengingatnya. “Rambutmu indah sekali.” Seketika Delmina merasa perempuan itu mengada-ada, baru kali ini ada yang memuji rambutnya.
“Apa tidak ada yang pernah menyisiri rambutmu?” tanya Bibi Mindu setelah Delmina mandi. Delmina menggeleng, sebenarnya Nyonya Rulemina pernah menyisirinya sewaktu ia balita.
“ Apa kau punya orangtua?”
Delmina menganguk lalu menggeleng lagi.
“Apa maksudnya itu? Lihat, sekarang sudah rapi.”
Delmina mengamati dirinya di cermin. Pakaiannya bersih, dan wajahnya berkilau dari kemarin. Rambutnya mungkin tidak akan pernah menjadi lurus, tapi tertata lebih baik dari sebelumnya.