Delmina dan Sang Pembaca

lidhamaul
Chapter #13

#13. Rumah Ayam

Delmina menyodorkan buah muntingia kepada Kurr, tapi tangan Kurr mengibas tangannya dan membuat buah-buah itu berhamburan di tanah. Delmina berbalik menatap wajah Kurr, tapi wajah itu sudah tidak ada. Wajah itu berubah menjadi Taramina yang membuat Delmina termundur beberapa langkah, lalu wajah itu berubah lagi menjadi Selamina. Delmina terus mundur seiring wajah Selamina yang berubah menjadi Barmina. Wajah itu kemudian berubah menjadi Timimina yang makin mendesaknya mundur. Timimina membuka mulutnya dan meneriakkan suara yang persis suara Delmina yang sangat tidak enak di telinga.

Itu mimpi buruk.

Delmina merasakan haus berat, tenggorokannya kering, seakan ia telah berteriak sangat kencang. Dia telah tertidur pulas setelah sore hari membaca buku yang kosakatanya terlalu memusingkan. Beberapa kata sempat dicatatnya untuk nanti ditanyakan hingga akhirnya matanya benar-benar berat. Malam belum larut, Delmina berpikir untuk membawa minuman ke kamar, dan mungkin Bibi Mindu masih menyisakan makan malam. Tetapi, rumah itu sepi. Di mana Bibi Mindu dan Kurr? Tadi sore pun masih ada Bibi Russ membuat ramuan di rumah ini.

Ketukan keras di pintu sangat mengejutkan Delmina. Dia menoleh dan mengerutkan kening, untuk apa Bibi Mindu mengetuk rumahnya sendiri? Delmina berjingkat-jingkat menuju pintu. Dia juga tidak tahu mengapa ingin melakukan hal konyol itu. Lagi, pintu digedor dengan keras, nyaring dan berulang. Delmina mengubah langkahnya menjadi langkah biasa. Kalau itu Kurr, akan kupukul dengan sapu, celoteh Delmina dalam hati sambil menarik pegangan pintu.

“Halo, Mindu.” Delmina tersentak, dahinya nyaris terbentur pintu yang didorong tiba-tiba. “Oh, kau berubah menjadi kecil rupanya,” suara itu berasal dari sosok tinggi besar dengan derap langkah sepatu yang terdengar berat. Dia masuk seenaknya, dengan mengibaskan jubahnya yang berwarna hijau keemasan. Pinggiran jubahnya berbulu dengan sepuhan warna emas.

“Rumah ini tidak pernah berubah,” ucapnya mengandung sindiran. Wajahnya terlihat angkuh, mengilat bak kulit tomat. Matanya besar tapi mengandung kelicikan. Alisnya tebal, bertubrukan satu sama lain. Hidungnya bulat dan mulus. Kumisnya melingkari mulut, dengan tambahan janggut tipis di dagu . Dahinya lebar dengan rambut gelap panjang melewati bahu.

Laki-laki berbadan besar itu melenggang melewati Delmina yang terpaku. Sisa-sisa tanah di sepatunya menempel di lantai Bibi Mindu, membentuk cetakan-cetakan baru yang harus dibersihkan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, lalu ia mencondongkan telinga, “masih kayu terburuk,” ucapnya sinis.

 Lelaki itu melangkah lagi. Tangannya membelai permukaan pegangan tangga yang kayunya merupakan kayu bulat utuh. Dengan gerakan mendadak, ia mengguncang-guncang pegangan tangga dengan sangat kuat. Terdengar bunyi gemeretak, dan akhirnya pegangan tangga itu berubah miring. “Sudah kuduga.”

Tanpa merasa bersalah, sosok itu melanjutkan perbuatan anehnya. Sesekali ia menggoyang rambutnya – yang turun ke muka – agar berpindah ke belakang. Mau tak mau Delmina merasa senang dengan rambut tebalnya yang sering kusut, setidaknya ia tidak akan disibukkan memindahkan rambutnya ke depan – ke belakang seperti itu.

“Uh, bau apa ini?” Tiba-tiba si besar itu menutupi hidung bangirnya.

“Kue labu, talam labu, sayur labu, hanya itu saja yang bisa kau buat. Pertanian macam apa yang hanya menghasilkan labu.” Saat itu Delmina ingin mengangkat kursi dan melemparkannya ke sosok berwajah sombong itu. Namun, Delmina menahan langkahnya. Terakhir ia memukul seseorang, tak lain orang itu adalah ayah Kurr. Dia tidak ingin bertindak ceroboh kali ini.

“Dapur yang buruk, bau masam, perkakas lama, rumah bobrok, tanah kering dimana-mana, apa-apaan ini Mindu! Wilayah Kemakmuran tidak akan makmur jika satu orang seperti Mindu dibiarkan.” Lelaki arogan itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak jelas siapa sebenarnya yang ia ajak bicara. Dalam jeda yang cukup lama, seolah ia baru menyadari kehadiran Delmina yang berdiri terpaku sedari tadi, lelaki itu berjalan ke arah Delmina dengan raut curiga.

“Tunggu. Kau bukan Mindu.”

Tentu saja bukan! Delmina mengernyit bingung.

“Siapa kau? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya,” tunjuknya.

Lelaki itu makin dekat dengan Delmina, kian lama kian dekat. Delmina mencium wangi berlebihan yang keluar dari tubuh lelaki itu. Dia membungkukkan badan menghadap Delmina yang membisu. Delmina akan menggigit si sombong itu jika berani menyentuhnya. Dua pasang mata mereka saling beradu. Lama sekali. Lelaki itu memandang Delmina dari atas hingga bawah. Lalu dengan mengejutkan ia berkata, “Hah! Aku tahu siapa dirimu!” seringainya lebar.

Delmina berdiri menempel ke dinding dengan heran dan mulai gugup karena pernyataan sosok besar itu.

“Jangan berpura-pura denganku. Jangan pernah,” telunjuknya bermain-main di udara ketika menyebut jangan pernah. Delmina hanya berdiri diam dengan sebal mengharapkan seseorang datang memberi penjelasan tentang siapa sebenarnya sosok berwajah menyebalkan di depannya.

“Kau!” katanya lagi, dan dengan kecepatan yang tidak terbaca, lelaki itu menarik lengan Delmina dengan kasar. “Kau anak-anak Russ!”

Lelaki itu menyingkap lengan baju Delmina, memperlihatkan gelangnya yang menggantung di sana. “Lihat kan! Aku tidak bisa dibohongi. Si Mule itu mengatakan Mindu membayar penjaga bertubuh kecil di tanahnya. Bodoh sekali dia.”

Delmina tidak peduli siapa itu Mule. Dia menarik tangannya yang dicengkeram kuat. Mau tak mau tangan lelaki itu tertarik ke arah Delmina, dan dengan cepat Delmina menancapkan giginya di sana. Lelaki itu menjerit-jerit marah, tangannya menyentak-nyentak wajah Delmina.

“Jangan!”

Kurr! Itu suara Kurr. Dia menerobos masuk dan langsung menyerang –

Tunggu, siapa yang akan diserang Kurr? Delmina sontak melepaskan gigitannya. Siapa yang diminta Kurr untuk tidak mengganggu?

“Lepaskan Yuri!”

Lihat selengkapnya