Tuan Romun terkekeh, dipandanginya seorang laki-laki tua yang pincang, seorang perempuan yang tidak pernah berjalan jauh, tiga anak yang beranjak remaja dan dirinya sendiri, “Mungkin aku tidak berguna bagi Taruktu, tapi aku bisa digunakan agar perjalanan ini lancar.”
Nyonya Purlita menimpali, “Sekecil apa pun tindakan baik yang kita lakukan, bukankah itu berguna bagi negeri ini?” Tuan Tota terdiam, bukan maksudnya menjadi tidak bijak dengan pertanyaannya sendiri.
Nyonya Purlita menambahkan kalimatnya, “Aku paham maksud Anda. Tapi, aku tidak bisa menerjemahkan semua pesan yang dipetik dari Buku Kehidupan.”
Nyonya Purlita berpindah posisi lebih dekat dengan anak-anak, “Aku harus mengenalkan kalian padanya.” Nyonya Purlita meminta seseorang untuk memanggil seseorang. Semua orang terdiam dengan pikirannya masing-masing. Delmina berusaha meresapi apa yang didengarnya, Nyonya Purlita ini sepertinya perempuan yang baik dan jujur. Delmina membayangkan seperti apa istana itu sebenarnya, apa seindah rumah Nyonya Purlita ini. Delmina ingin memahami bagaimana jalan pikiran dan tindak-tanduk seorang putri sejati sebenarnya, agar ia bisa bersikap sebaik mungkin di depan orang-orang, tapi ia tidak mengerti caranya karena tidak ada satu pun orang yang mengajarinya. Delmina juga memikirkan kalimat Nyonya Purlita tentang kerajaan yang sepi dan apa gunanya dia bagi Taruktu? Bagi pertanian Bibi Mindu saja, ia sering merasa tidak berguna.
Saat pikiran sedang berkena menatap detail demi detail dan sudut-sudut rumah, Delmina merasa kepalanya terputar ke satu arah. Semua orang pun rupanya berlaku sama. Seolah cahaya bersumber dari arah itu, diiringi gerakan lembut dari sepasang kaki dan busana merah muda yang mengayun ringan. Seorang gadis muda berdiri menatap para tamu dengan wajah berbinar-binar paling teduh nan memesona yang pernah Delmina lihat. Anak perempuan itu sepertinya sepantaran dirinya namun nampak sedikit lebih matang. Senyumannya bisa membuat nyaman siapa pun yang memandang karena tak dilepaskannya walau sejenak. Dia terus melangkah maju, memperlihatkan rambut panjang hitam lembut yang berpita pada bagian atas dan sisanya tergerai lurus di balik punggungnya. Kulitnya putih bersih dan pipinya bersinar, matanya riang dan tidak mengancam. Cantik sekali, pikir Delmina. Tiba-tiba ia merasa tidak percaya diri. Pakaiannya sederhana, walau masih baru tapi tak bisa menandingi keelokan pakaian merah muda di depannya. Sebagian kulit Delmina sudah berubah kecokelatan, rambutnya diikat dua, rapi tapi tidak seindah rambut hitam lembut itu. Dirinya memang lebih cocok menjadi anak petani dan anak perempuan itu sangat tepat menjadi putri raja.
“Ibu, apa mereka tamu istimewa kita?” Suara anak perempuan itu begitu menyejukkan, sesejuk dan semenyenangkan parasnya. Dia bagai hujan di kala udara beringsang, bak semilir angin di tengah gerah, dan kabar gembira di saat nestapa.
“Ya, sayang. Perkenalkan, ini putriku, Shuna.”
Shuna menatap semua orang, tapi tatapan terlamanya jatuh pada Delmina. Reaksinya tidak berbeda jauh dari ibunya, seakan bertemu kawan lama yang tak lagi ia jumpai. Bagi Delmina, Shuna begitu memesona, tapi ekspresi kagum itu justru ada di wajah Shuna. Dia mendekati Delmina seakan mendekati sebongkah harta karun. Shuna mengulurkan tangannya di depan Delmina, menunggu dengan antusias sembari menyebutkan namanya kembali. Delmina merasa canggung. Tapi, Shuna sepertinya tidak bisa ditolak, karena ia memberi isyarat agar Delmina melakukannya.
Tangan Shuna begitu lembut dan ia makin memperdalam senyumannya.
“Namanya Delmina, sayang,” ucap Nyonya Purlita yang dibalas pertanyaan oleh Shuna, “dia tidak bisa bicara?” Shuna balik menatap Delmina keheranan. Tatapan itu tatapan yang biasa Delmina terima ketika bertemu dengan orang-orang yang menganggapnya bisu. Delmina ingin segera menarik tangannya, ia tidak suka ditatap aneh, tapi Shuna masih saja menjabatnya. Anak-anak orang kaya seperti kawan kakak-kakaknya sering dengan mudah mengejeknya. Aduh, kakak-kakaknya, kenapa Shuna ini malah mengingatkan pada keempat putri Tuan Barto yang membuatnya mendadak harus menahan sesak di dada.
Akhirnya Delmina berhasil melepaskan tangannya, dan wajah Shuna berangsur-angsur terlihat kecewa. “Tidak, aku tidak akan melakukannya. Aku benar-benar senang bertemu denganmu,” ungkap Shuna.
Apa yang ia katakan? pikir Delmina, tapi pelan-pelan Delmina memberikan senyum tipis pada anak perempuan itu. Shuna beranjak menuju menuju Bibi Mindu.
“Namaku Mindu, kau bisa memanggilku Bibi Mindu. Namamu indah, secantik dirimu.” Shuna kembali tersenyum dan menyalami Bibi Mindu.
“Anda luar biasa. Sangat bersemangat. Terima kasih.” Dan Bibi Mindu tertawa karena merasa tidak memberi apa pun.
Shuna melewati Delmina lagi, menuju Kurr seraya masih menoleh Delmina dan mengelus tangannya. Di depan Kurr, Shuna hanya menunduk, dengan dahi berkerut. Kurr pun hanya menatapnya saja, tidak memberikan senyuman. Sementara Askun tersenyum dan mengenalkan diri. Askun memang ramah, ia mudah disukai siapa saja. Shuna kembali tersenyum dan tiba-tiba ia melirik Delmina, dan Delmina segera membuang muka. Shuna melirik Askun lagi dan Delmina, Askun dan Delmina, lalu berkata samar, “apa ini?” dan tertawa sendiri.
Shuna berpindah ke Tuan Romun.
“Anda pasti Tuan Romun?” tanyanya berbinar-binar.
“Cerdas. Aku yakin bahwa namaku sudah sampai ke wilayah ini.” Tuan Romun mengangkat wajahnya.
“Aku membaca nama itu di tas Anda,” Shuna menunjuk tas di samping Tuan Romun.
Ketika Tuan Romun terlihat kecewa, Shuna berkata lagi, “Aku menyukainya. Itu ide brilian. Ke mana pun Anda pergi, orang-orang akan mudah mengingat Anda. Mungkin Anda bisa menambahkan nama Anda dengan sesuatu lagi, misal : Romun – Sang Perintis Saudagar.”
Tuan Romun terkekeh sekaligus terkagum. “Perintis saudagar? Aku tidak pernah memikirkan itu. Tapi, mengapa ini terdengar menarik? Selama ini aku tidak pernah terpikir untuk membagikan ilmu berdagangku.”