Delmina masih meringkuk di balik selimut tebal yang membuat ia malas-malasan untuk beranjak bangun. Enak sekali kamar ini, rupanya begini menjadi orang kaya, ucapnya dalam hati. Tapi, kemudian ia tersentak dan bersegera membuka matanya. Ada laba-laba naik ke tanganku.
“Hehehe, ternyata tidak bisa,” umbar sebuah suara manis di sisi ranjang. Ternyata Shuna dan bukannya laba-laba yang telah menyentuh tangan Delmina. “Maaf, aku pikir bisa melakukannya di saat orang bermimpi,” ucapnya lagi tersipu-sipu. Delmina ingat ucapan Nyonya Purlita, bahwa kadang-kadang putrinya itu juga bisa iseng. “Nah, karena kau sudah benar-benar bangun, aku tunggu kau di ruang kata-kata ya.” Kemudian Shuna benar-benar menghilang dari kamar itu. Delmina pun bernapas lega. Kesannya aneh sekali jika ada yang menyentuhmu secara mendadak, tapi secuil hatinya juga merasa terhibur.
Shuna berdiri menghadap sebuah dinding yang di depannya bertuliskan : bisa jadi yang aku benci, sebenarnya baik untukku. Delmina memutar tubuh dan menemukan kalimat-kalimat unik. Ruangan itu sendiri memiliki lima sisi. Semua dindingnya dipenuhi tulisan-tulisan, pada dinding satu terdapat kalimat-kalimat jenaka, dinding yang lain berupa harapan, dan dinding kalimat-kalimat semangat.
“Ibuku yang merancang ruangan ini untukku,” ungkap Shuna setelah ia diam cukup lama. “Suasana hatiku sering berubah-ubah, aku membacanya untuk menyemangati dan mengembalikan kondisi hatiku lagi. Seiring waktu, kalimat-kalimatnya juga diubah demi menyesuaikan usiaku.”
Delmina mengangguk paham seraya terus membaca.
“Kami memisahkan ruang baca dan ruang kata-kata, meski keduanya serupa. Karena meski menyukai membaca, sulit bagiku untuk berinteraksi dengan buku-buku apalagi yang bertutur detail. Misalnya buku sejarah yang menceritakan pengkhianatan anggota kerajaan di masa lalu dengan sangat terperinci. Buku seperti itu akan mempengaruhi kondisi hati dan sikapku hingga berhari-hari. Harusnya aku bisa mengontrolnya, tapi aku masih kesulitan.”
Delmina juga sering membaca buku yang membuat suasana hatinya berubah-ubah. Tapi, ia tetap membaca dan bertambah suka membaca. Buku-bukunya saja yang sulit bertambah.
“Aku juga bisa menghapus kalimat lain dan membuat yang baru.” Shuna memperlihatkan tumpukan alat tulis yang terletak di sudut ruang.
“Apa kau punya kata-kata yang menarik? Tulis saja dulu di kertas ini, nanti akan ada yang melukisnya di dinding ini,” ungkap Shuna antusias.
Delmina ingat ia suka memetik kata-kata dari buku-buku yang ia baca, tapi beberapa sudah tertera di dinding itu, yang bisa ia ingat selanjutnya adalah tanah pertanian dan cangkul. Jadilah ia membuat kalimat : sekeras-kerasnya tanah pertanian, apabila dicangkul terus-terusan maka, kemudian Delmina berhenti, Shuna masih antusias menunggunya sampai Delmina melanjutkan kembali.
Setelahnya, Shuna membacakan kalimat itu nyaring: “Sekeras-kerasnya tanah pertanian, apabila dicangkul terus-terusan, maka akan pegal-pegal juga.”
Shuna memelototi kertas itu, kemudian ia tertawa, “Aku suka, aku suka. Ah, itu Bu Huni.” Dia bergegas mendekati perempuan tua berwajah tegas yang melewati ruangan kata-kata.
Bu Huni melambaikan tangannya di depan Shuna. “Tidak, tidak, tidak Nona, jangan peluk aku. Suasana hatiku sedang tidak beres hari ini.”
Tapi Shuna tak peduli, ia menyergap Bu Huni. “Bu Huni. Jangan jahat begitu padaku.”
Bu Huni memutar bola matanya dan melepaskan paksa pelukan Shuna, lalu beranjak setelah sempat memberi hormat pada Delmina. Shuna mendekati Delmina kembali. “Dia bohong. Dia sedang senang, menurutku karena tamu itu, Bibi Mindu.”
Delmina terheran, ingin bertanya tapi Shuna mengajaknya pergi.