Delmina dan Sang Pembaca

lidhamaul
Chapter #21

#21. Paman Kamga

Kurr menembus barisan pejalan agar bisa menyusul Delmina. “Ambil ini,” ucapnya seraya menyerahkan tombak kepada Delmina. Tombak itu terdiri dari batang kayu pilihan yang telah dipotong dan dirapikan, kemudian ditancapkan belati pada ujungnya yang diperkuat dengan tali dan benang. Tombak buatan Kurr. Delmina menerima dengan tidak nyaman. Pertama; itu tombak kesayangan Kurr, kedua ; Delmina segan menggunakan senjata. “Hanya untuk berjaga-jaga. Bukan hadiah dan bukan karena aku peduli,” ucapnya seraya berjalan menjauh lagi.

Shuna melirik Kurr sambil berbisik ke arah Delmina.“Apa ia selalu seketus itu?” Delmina menekuk bibirnya dan mengangguk.

“Ada orang-orang yang bersikap begitu, karena ingin melindungi perasaan yang sebenarnya,” tutur Shuna masih sambil berbisik.

Tidak banyak rumah di kaki gunung Wuasal, tempat mereka meletakkan kendaraan sebelumnya. Meski udara dingin menerpa langkah-langkah kaki mereka, tapi tidak cukup kuat untuk menahan perjalanan. Tidak ada hambatan yang berarti bahkan ketika mereka terus mendaki. Tuan Tota nampak nyaman dengan perjalanannya dan tidak sekali pun terlihat lelah meski sesekali ia berada paling belakang.

           Banyak tanaman merambat saat mereka makin mendekat ke sebuah area sepi yang sepertinya sudah tidak ada jalan lain, sampai Nyonya Purlita berkata, “Kita sudah sampai.” Di hadapan mereka terhampar tumbuhan liar. Akibatnya, Delmina harus memutus beberapa kali kelubut dan tanaman lain yang memerangkap kakinya dengan tombak Kurr. Ternyata memiliki tombak memang berguna, meski Delmina tidak bercita-cita terus menggunakannya.

Askun sudah berada di depan padahal nyaris sepanjang jalan Delmina kesulitan melihat keberadaannya. Shuna kembali berbisik pada Delmina, “Kalau anak laki-laki yang itu, sepertinya melompat dari satu pohon ke pohon.” Benar, bisa jadi begitu, tapi kenapa harus Shuna yang memerhatikannya? pikir Delmina. Askun pun mendekati mereka, “Kau ingat bentangan kain yang menutupi akuarium di rumahku? Sebentar lagi kita akan menyaksikan sesuatu,” ucap Askun tersenyum pada Delmina. Ketika Askun menjauh, Shuna berbisik lagi, “Dia lihat sesuatu dari atas sana, makanya ia tahu. Apa ia selalu senyum seperti itu? Dia manis juga ya.”

Delmina melirik kesal, bibirnya menirukan kalimat, “kalian ngomong apa?” Shuna bukannya menjawab, malah tersipu geli.

Nyonya Purlita meminta mereka menunggu dan tak perlu melakukan apa-apa. Kemudian sesuatu menggetarkan terjadi tepat di tanah yang mereka pijak. Ranting dan tanaman merambat terputus perlahan. Suara berat patahan kayu dan gesekan tanah membuat mereka menoleh ke satu arah. Gerbang yang tadinya tidak nampak bagai gerbang di dekat mereka, membelah diri menjadi dua, menyisakan daun-daun yang tercerai beterbangan di sekitar. Nyonya Purlita melewati gerbang daun itu mendahului yang lain disusul anak-anak dan lelaki dewasa. Kecuali Shuna dan ibunya, semua memasang tampang siaga. Beberapa langkah kemudian, ada manusia-manusia terlihat. Satu-dua, menyapa ramah Nyonya Purlita dan Shuna, tampak benar akrab dengan keduanya. Dua anak memojok di pinggir, memunguti dedaunan. Kurr mendadak ikut menepi bersama mereka dan bertanya, “Apa akan dimakan?” Ini saja, yang itu beracun.” Kemudian Kurr berjalan lagi, dibarengi suara, “Kubilang juga apa, ini beracun.”

Makin panjang mereka melangkah, makin terlihat orang-orang. Kebanyakan anak muda dan anak-anak. “Hai Shuna, lama tak berjumpa,” teriak seseorang dan dibalas Shuna dengan sapaan. Tuan Romun yang tak banyak bicara sepanjang jalan, berdecak kagum. “Luar biasa. Dia membangun ini semua? Ini seperti perkampungan.” Nyonya Purlita mengiyakan ucapan Tuan Romun. Mereka melewati danau yang cukup luas dengan sebuah rumah mungil dan sebuah perahu di pinggirnya.

Banyak mata mengarah ke mereka dan sebagian berbisik, siapa mereka? Anak baru? Shuna bersama siapa? Lihat, lihat, anak cowok yang itu imut banget.

Rumah-rumah panggung dari kayu, kawasan bermain, orang-orang yang berlatih menombak, memanah, berkuda, memanjat, ada di sana. Sebuah bangunan lain berbentuk setengah lingkaran terlihat bercahaya di sore itu. Nyonya Purlita mengajak mereka berbelok dan mereka melewati kebun-kebun serta kolam-kolam.

Mereka tiba di sebuah bangunan yang lagi-lagi tertutup tanaman merambat dengan banyak anak tangga menuju ke dalam tanah, Shuna langsung melonjak kesenangan. Seorang perempuan muda berkulit gelap dengan kepala yang tertutupi kain yang diikat di atas leher, keluar dari bangunan itu dengan setengah berlari mendatangi mereka.

“Apa kabar Nyonya Purlita? Senang sekali menjumpai Anda lagi.”

Nyonya Purlita mendekapnya sesaat dan menyapa, “Hai Gerigi, kau tampak sehat.”

Perempuan muda yang mungkin seusia Serrpa --kakak Askun-- itu menatap Shuna dengan senang, “Eit, eit. Kita kompak saja ya,” ucapnya dan ia menempelkan telapak tangannya ke telapak tangan Shuna dengan sangat cepat, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Kakak baru dimarahi pamanku, dimarahi pamanku.” Shuna menggoyangkan kedua tangannya, dan perempuan muda yang bernama Gerigi membalasnya, “kau tidak bisa menyimpan rahasia, tidak bisa menyimpan rahasia.” Gerigi berkata bahwa Paman Kamga, ada di dalam sana, mereka pun menyusuri koridor di bawah tangga.

Tanpa perlu berjalan jauh, sebuah ruangan yang sangat nyaman sudah ada di depan mata. Askun dan Kurr memilih berada di luar saja.

Seorang pria tampak menyusun kertas-kertas di mejanya, dan sejenak pandangannya teralih, mengarah ke mereka, “Shuna!” Shuna segera berlari ke pria yang nampak gagah memakai rompi abu-abu, dan memeluknya. “Aku baru saja mengingatmu,” ucapnya dengan wajah berseri-seri. Pria itu tampan, berkulit kecokelatan, dengan otot lengan yang menonjol.

“Kakak, tak perlu repot-repot kemari. Aku sudah berniat turun dua hari lagi.” Perlahan, rautnya yang berseri-seri itu berubah menjadi waspada.

“Kakak membawa tamu,” ucapnya dengan sorot mata tajam menyelidik.

“Paman Kamga, mereka...,” Shuna mencoba mengenalkan tamunya, tapi pria itu menepis Shuna. Mereka berdiri saling tatap, sampai Tuan Romun maju lebih dalam ke ruangan, “Aku tidak suka situasi di mana aku tidak tahu apa pun, dan tidak tahu harus berbuat apa.” Segera, Tuan Romun mengulurkan tangannya, “Perkenalkan namaku Romun, dari Wilayah Keberanian. Aku menyukai tempat yang Anda bangun ini. Kamga? Atau siapa pun bisa kupanggil?”

Pria yang bernama Kamga tersadar dan menyalami balik Tuan Romun. “Kamga. Aku lebih suka dipanggil Paman Kamga. Tapi, kurasa karena Anda lebih tua, jadi panggil Kamga saja. Romun, Romun, rasanya aku pernah mendengar nama itu.” Tuan Romun mengangguk senang dan lagi-lagi memuji tempat itu, sayangnya tatapan Kamga tidak membidik Tuan Romun. Tatapannya lurus menantang Tuan Tota yang berdiri tenang.

“Dari bekas luka di wajah Anda, aku bisa menebak dengan siapa aku berhadapan. Jadi benar, kakakku tidak mengejar tahanan, tapi membantu tahanan melarikan diri,” sekilas wajahnya mengeram.

“Kamga, Dasta tidak melakukan itu karena...” belum tuntas Nyonya Purlita menjelaskan, Kamga menyahut lagi, “aku tahu ia bukan pembunuh. Tapi, kakakku terbunuh malam itu. Untuk apa ia kemari.” Kamga sama sekali tidak bertanya.

Tuan Tota yang masih santai, hanya melemaskan tangan. “Kakak Anda adalah orang paling berjasa dalam hidupku. Bukan karena ia membantuku melarikan diri, tapi membuat hidupku benar-benar berarti.”

Lihat selengkapnya