Delmina dan Sang Pembaca

lidhamaul
Chapter #22

#22. Tiga Pesan Dasta

Shuna membangunkan Delmina pagi-pagi buta, mengajak ke sebuah tempat dan duduk di sana. Banyak suara manusia di sekitarnya, tentu karena gelap, sulit mengamati wajah-wajah. Pakaian mereka sudah tebal semenjak tidur. Shuna menyodorkan susu panas untuk Delmina, dan sebentar saja susu itu menjadi benar-benar dingin.

Seiring waktu, semburat cahaya perlahan turun, merayap di sisi angkasa. Suara-suara sekitar, meski samar, terdengar senang dan terpukau, begitu pun Delmina. Langit menebarkan pesonanya. Garis-garis emas memantul, terpancar di depan mereka. Sebentar saja, awan-awan yang bergulung nampak di depan mata. Delmina memekik senang, sampai lupa dengan suaranya. Ini pertama kalinya ia melihat awan di bawah kakinya. Terlihat empuk dan menggemaskan. Delmina mengedarkan pandangan, dan tampaklah wajah-wajah kedinginan yang ceria menghadap selimut awan.

Tak lama, matahari pun hadir, menepis dingin yang lebih sering berkuasa.

Shuna membawakan lagi minuman hangat. “Katanya, inilah asal-usul nama Sekolah Awan. Sebenarnya, sampai sekarang, Paman Kamga belum meresmikan nama tempat ini. Paman tidak suka tempat ini menjadi sangat terkenal.”

Berkat buku-buku yang Delmina baca, ia tahu ada orang-orang yang tidak suka terkenal selain karena prinsip juga karena tujuan hidup mereka bukan kemewahan.

Shuna mengajak lagi Delmina ke sebuah tempat, sisi lain dari Gunung Wuasal. Di sana mereka menyaksikan pemandangan yang tak kalah menakjubkan. Di bawah kaki Delmina terpampang panorama hutan yang hijau, lekukan aliran sungai, beserta bukit-bukit Wilayah Keteladanan. Lagi-lagi Delmina memekik senang tanpa memedulikan suaranya.

Shuna mulai memandang Delmina tak biasa.

“Apa yang sebenarnya terjadi Del? Ada apa antara kau dan air?” Shuna mendekatkan dirinya ke Delmina.

“Waktu kau memandang kolam kecil di taman, kau biasa saja. Tapi saat kita melewati danau kemarin, kau bergetar. Aku menyentuhmu tanpa kau sadar, ada rasa takut di dalam dirimu. Sekarang, di depan kita, ada aliran sungai, dan kau terlihat biasa saja. Mungkin karena jauh, mungkin pemandangan ini indah, jadi rasa takutmu tertutupi. Begitukah?”

Delmina terperangah mendengar Shuna.

“Kau tidak takut air. Tapi, kau takut berada dalam air. Kau tidak takut sungai. Tapi, kau takut air deras yang menenggelamkan. Kau juga tidak suka anak perempuan sepertiku. Benar?”

Delmina mengeras. Dia suka dengan anak-anak perempuan. Dia hanya .... Entah.

 “Aku merasakan itu waktu pertama kita bertemu. Kau menyukai anak perempuan, tapi juga berjaga-jaga dari anak-anak sepertiku. Tadinya aku pikir, karena ada yang melecehkan suaramu. Itu benar juga. Tapi, ketika melewati danau kemarin, kau menahan kemarahan luar biasa, takut, kecewa, gelisah. Ada anak-anak perempuan terkait di dalamnya. Apa yang terjadi Del?” Shuna melanjutkan ucapannya, “Tuan Tota dan Bibi Mindu hanya berkata kau berasal dan Wilayah Keberanian, yang mana tidak sesuai dengan permintaan ayahku. Tapi, mereka tidak bercerita padaku apa yang terjadi di sana. Apa itu buruk sekali?”

Delmina mendesah, merapikan duduknya, menghadap kembali ke arah lanskap hutan. Dia belum ingin cerita apa pun.

“Askun. Dia dari Wilayah Keberanian. Aku bisa tanya padanya atau ayahnya,” ucap Shuna samar. Tapi, Delmina masih bergeming.

“Aku harus minta maaf padamu. Dulu, aku sangat iri memikirkan kehidupan yang kau jalani. Kau diamankan dari sesuatu, mungkin sesuatu yang rumit. Tidak seperti aku yang harus merasakan kerumitan setiap saat, dan sangat tergantung pada ibuku.” Shuna menunduk dalam. Keduanya sama-sama terdiam menyaksikan alam di hadapan, sampai wajah Shuna kembali cerah dan menarik tangan Delmina.

“Aku kenalkan kau pada anak-anak di sini.”

Sepanjang jalan, mereka banyak melihat aktivitas anak-anak seusia mereka. Shuna menyentil tangan Delmina. “Hush, hush, tenanglah Del. Jangan gelisah begitu, aku jadi ikut gelisah. Mereka anak-anak baik.” Benar, banyak yang menyapa mereka. Tapi, Delmina belum biasa disapa terlalu sering. Delmina juga melihat anak-anak yang berjalan tertatih-tatih, dan baru menyadari bahwa mereka memakai kaki palsu. Ada yang tak dapat melihat, dan sedang membaca dengan jarinya. Ada yang duduk di rerumputan dan berdiskusi. Ada kelas-kelas tertutup, ada lapangan bermain yang semua pemainnya memakai kursi dengan roda dan ada anak-anak yang sepertinya, bercakap-cakap dengan jemari. Mereka semua bahagia.

“Hai, Kak Picuk.”

“Hai, Shuna. Bukankah kalian dicari Paman Kamga?”

“Oya? Kami belum tahu. Kami mau berkenalan dengan tempat ini. Bisakah Kak Picuk menjadi pemandu kami?”

“Baiklah, sekalian kita menuju tempat Paman Kamga. Kurasa ia akan menjelaskan ini juga pada tamunya,” ucap pemuda bertubuh tambun itu. Awalnya ia memperlihatkan tempatnya bekerja di sebuah makmal. Picuk dan Mangkus senang merakit dan meneliti. Picuk salah satu pemuda yang bertanggung jawab di tempat itu. Paman Kamga berhasil membuat tujuh tingkatan pembelajaran dengan beberapa kelas per tingkat. Di kelas, mereka lebih banyak belajar etika dan pemahaman, sementara di luar lebih banyak praktik. Ada sembilan asrama dibangun untuk para murid, dan nama-namanya diambil dari nama Wilayah di Taruktu : Kejayaan, Kebijaksanaan, Keberanian, Kemakmuran, Kejujuran, Kesetiaan, Keteladanan, Kemandirian, Kedamaian. Para pengajarnya diambil dari para Tutor yang berminat, yang akhirnya mereka pun menikah dengan sesama pengajar dan menetap di rumah-rumah yang disediakan. Masih ada para pelatih dan pekerja-pekerja lain.

Akhirnya mereka mendekati tempat Paman Kamga.

“Kita belum mandi,” ungkap Delmina resah. Karena biasanya ia selalu mandi pagi-pagi sekali.

“Sst, biar saja. Tidak ada juga yang bakal tanya,” cerocos Shuna.

Ampun, pikir Delmina, ternyata nona cantik di dekatnya bisa juga malas mandi. Tapi, seketika Delmina tersipu. Sekali-kali bolehlah.

Lihat selengkapnya