Nama Perkampungan Awan Bertuah telah diresmikan. Delmina telah dikenalkan pada para Penghuni Awan, sebagai anak angkat Kamga, bukan sebagai putri raja, sampai Delmina bertemu ibunya kembali. Semua bersuka cita termasuk para tamu. Kurr mendatangi Delmina, memintanya menemui seseorang. Rupanya ada gadis kecil tuli yang sejak awal ingin menyapa Delmina tapi sungkan. Kurr meninggalkan mereka bercakap-cakap. Tampak sekali gadis kecil itu gembira, dan itu menimbulkan gelombang bahagia dalam diri Delmina.
Setelah itu Delmina duduk sendirian, nyaris semua orang yang melewatinya, menyapanya atau setidaknya tersenyum. Terlihat sederhana tapi Delmina berarti.
Askun mendekat, duduk di samping Delmina.
“Aku akan pulang. Kalau ibu mengizinkanku kembali, apa kau mau kubawakan sesuatu ?”
Itu manis sekali, tapi Delmina menyampaikan tidak perlu.
“Mana anak perempuan itu? Sepertinya kalian cukup akrab,” ucap Askun melebarkan pandangan.
Shuna? Untuk apa Askun mencari Shuna? Delmina ikut-ikutan mencari sosok yang dimaksud.
“Bagaimana rasanya bersentuhan dengannya?” tanya Askun tanpa menatap Delmina.
Askun ingin disentuh Shuna? Delmina tidak mengerti. “Tidak suka,” balas Delmina.
Askun menatap Delmina lagi. “Kurasa juga begitu. Tidak enak kalau perasaan kita diketahui orang lain.”
“Bagaimana dengan Kurr? Kalian akrab?” tanyanya lagi.
Delmina berpikir sesaat, apa gunanya Askun tahu. “Tidak,” jawabnya.
“Kurasa juga begitu,” ucapnya lagi, lalu tersenyum sendiri. “Senang melihatmu sehat. Aku masih tidak menyangka kita bisa berjalan sejauh ini.” Kemudian Askun seakan tidak bisa berkata-kata. “Sampa jumpa, Del,” katanya sambil beranjak pergi.
Delmina memandang remaja tanggung itu pergi. Dulu, ia bisa meneriaki Askun, menendangnya, melemparinya lumpur, dan tertawa bersama, tepatnya Askun tertawa, ia berhrok-hrok aneh. Sekarang, mereka bercakap-cakap seperlunya. Padahal mereka masih sosok yang sama, keadaanlah yang berbeda.
[ ]
“Del, ayuk ikut.” Shuna mengagetkan Delmina yang tengah berdiskusi bersama beberapa anak. Mereka membincangkan buku-buku menarik, juga bercerita tentang wilayah masing-masing serta alasan mengapa ada di tempat itu. Delmina masih merasa aneh, karena tidak ada yang merasa aneh dengan suaranya. Lucu sekali, mengapa ia harus mencari-cari orang yang merasa aneh dengan dirinya?
Mereka tiba di depan ruangan Paman Kamga dengan mengendap-endap. Masing-masing duduk di sisi pintu untuk mendengarkan obrolan orang-orang dalam. Ini tidak baik, pikir Delmina. Kalau pun ia pernah menguping obrolan orang, itu karena tidak sengaja. Tapi, Shuna justru mengajaknya menguping.
“Mungkin karena pada akhirnya kau mendirikan tempat ini. Jadi, pasukan yang dimaksud sebenarnya adalah anak-anak asuhmu. Itu hanya kiasan, Kamga,” suara Tuan Fabar berkata.
“Aku tidak yakin,” ucap Kamga.
“Apa yang ada di benakmu Kamga? Terjadi sesuatu di dalam di sana?” tanya Nyonya Purlita.
“Ramuan itu. Untuk apa? Sakit apa yang diderita Alena?” tanya Kamga.
“Jadi apa yang akan kau lakukan?” tanya Tuan Fabar.
“Aku meminta Mangkus dan Picuk segera membuat ramuan itu, dan secepatnya pergi bersama Delmina menemui ibunya.”
“Kau tidak segera membaluri kain dengan embun?” seloroh Tuan Fabar.
“Yang benar saja!” tangkis Kamga.
“Apa pernah kau benci kakakmu?” tanya Nyonya Purlita.
“Aku menyayanginya. Hanya banyak hal yang tidak kusepakati darinya.”
Bagi Delmina, penyebutan nama ibunya terasa janggal. Apa karena Paman Kamga pernah berada di kerajaan, jadi mereka saling mengenal baik dulunya?
“Aku boleh ikut ya, Paman.” Shuna mendorong pintu tanpa memedulikan posisi Delmina. Mau tak mau Delmina ikut masuk pelan-pelan.
“Tidak. Kau harus belajar etika lebih dulu. Mengapa mengajak Delmina menguping?” selidik Kamga kesal.
“Ibu memberiku izin, mengapa Paman tidak?”
“Tidak ada sesuatu yang penting untukmu di sana. Tidak perlu penasaran,” jelas Kamga baik-baik, sedangkan Nyonya Purlita hanya diam saja.
“Aku mohon dia ikut bersamaku.” Delmina selalu berpikir, mungkin ia akan kikuk bertemu dengan ibunya nanti, dan bagaimana pun sebuah istana adalah tempat yang tidak terpikir akan ia datangi, apalagi harus tinggal di sana. Dia tidak siap merasa sendiri. Shuna adalah teman yang pas untuk perjalanannya dan tempat yang baru itu.
Kamga dan Nyonya Purlita saling pandang.
“Kau mau mendampingi mereka?” tanya Nyonya Purlita memecah kebisuan mereka.
“Aku hanya mengantarnya,” jawab Kamga, “dan menengoknya,” lanjutnya.
“Baiklah, Shuna. Kau boleh ikut dan menemani Delmina di sana. Dan jangan mencari tahu apa yang ingin kau tahu,” ucap Kamga akhirnya, masih tidak rela.