“Putri Anda. Yang kumaksud putri Ratu Alena dan Gathan yang diculik belasan tahun lalu.”
Ratu berbalik perlahan, seolah menyadari kehadiran Delmina dan Shuna. “Anak perempuan itu? anak Gathan?”
Kamga memajukan Delmina. “Namanya Delmina. Dia putri Anda. Aku datang mengembalikannya.”
“Kau yang menculiknya?” tanya Ratu Alena dengan wajah pias.
“Tidak! Bukan aku. Tidak, tidak begitu ceritanya.” Tiba-tiba Kamga merasa tidak mungkin merunut ceritanya. Tidak mungkin juga ia menyampaikan bahwa kakaknya yang ‘mempunyai ide’ menculik anak Alena. “Putri Anda tinggal di sebuah pertanian tanpa tahu bahwa ia adalah putri raja. Kiranya penculik itu menaruh itu putri Anda di sana.” Bagian itu memang seharusnya benar.
“Owh.” Hanya itu yang diucapkan Ratu.
“Lalu, siapa anak perempuan di sebelahnya?”
“Namanya Shuna. Dia akan menemani Delmina di sini. Tentu atas kebaikan Ratu Alena,” ujar Kamga.
“Di sini? Mereka akan tinggal di sini?” tanya Ratu Alena terkekeh.
“Kau pasti bercanda. Apa yang kau mau sebenarnya? Berapa banyak harta yang kau minta untuk ini?”
Kamga merasa tersinggung. Untunglah, ia tidak menyerah.
“Tidak sedikit pun. Aku hanya mengantarkan apa yang memang menjadi hak Anda, Ratuku.”
Ratu Alena berhenti tertawa. “Bagaimana caramu membuktikan bahwa anak itu benar anakku dan Gathan?”
“Ratu, ciri putri Anda adalah ia bersuara— ” Kamga melirik Delmina, tidak jadi menyebut kata aneh, “suaranya rusak sejak bayi.”
“Tentu ada banyak anak yang mengalami kerusakan suara,” kali itu Tuan Cakarwala yang berkata.
“Tuan Cakarwala, kurasa kau bisa membuktikannya,” usul Ratu.
Tuan Cakarwala berusaha mengingat sesuatu lalu pergi meninggalkan mereka. Selama itu mereka hanya terdiam. Delmina memusatkan perhatian ke perempuan yang belum rela dipanggil ibu itu. Dia merasa tidak nyaman.
Tuan Cakarwala datang lagi membawa sesuatu di tangannya, kemudian menarik kasar tangan Delmina tiba-tiba, yang hampir dicegah Kamga. Secepatnya ia menusukkan jarum ke jemari Delmina tanpa izin, hingga mengeluarkan darah, dan menaruhnya dalam cawan kecil. Darah itu diberikan pada Ratu Alena yang berkata, “Kuharap Anda tidak bohong, Tuan Kamga. Karena selalu ada hukuman bagi para pendusta.” Ratu Alena menghilang di balik tirai. Mereka bertiga masih bingung dengan apa yang terjadi.
Ratu Alena kembali lagi sembari menyunggingkan senyum paling ramah.
“Tuan Cakarwala, siapkan perjamuan paling menyenangkan. Karena putri dari Alena dan Gathan telah hadir di tengah-tengah kita,” ucap Ratu bahagia.
Tuan Cakarwala terheran sesaat, tak lama ia mengarahkan para tamu ke suatu tempat dan ia pun menghilang.
[ ]
“Aku merasa aneh.”
“Tentu saja. Kita semua merasa ini aneh. Tapi, mari kita coba nikmati,” ujar Kamga pada Delmina dan Shuna. Shuna lebih banyak celingak-celinguk melihat ruangan demi ruangan, rangka dan pola tempat yang mereka pijak. Semuanya indah dan terlihat baik-baik saja, tanpa kerusakan. Hanya saja...
“Cukup suram,” ucap Shuna dan ia menggenggam tangan pamannya untuk mendapatkan kenyamanan.
Makanan mereka sudah dihidangkan di meja panjang berhias, tanpa tahu siapa yang menghidangkannya. Kursi-kursi tinggi berwarna keemasan berada di sisinya. Satu kursi yang berbeda berada paling ujung sisi meja, dan jauh di sisi lain ada tiga kursi lagi, untuk Kamga, Delmina dan Shuna. Hidangan makanan hanya ada di sisi mereka saja.
“Silakan, jangan sungkan. Aku senang kalian bisa menghabiskannya.”
Ratu Alena tersenyum dari jauh.
Tuan Cakarwala berdiri memandang mereka semua. Delmina tidak bisa benar-benar menghabiskannya. Selain kenyang, ia hanya berminat pada buah-buahan saja. Shuna duduk dengan santun dan hanya mencicipi minuman. Kamga malah tidak menyentuh apa pun.
“Siapa namanya tadi?” tanya Ratu Alena.
“Delmina.”
“Seingatku, dia tidak memiliki nama. Bukan begitu Tuan Cakarwala?”
Tuan Cakarwala mengangguk dan itu membuat Kamga bingung, siapa Tuan Cakarwala sebenarnya.
“Bolehkah aku bertanya?” tanya Kamga yang dibalas anggukan perlahan Ratu Alena.
“Apa Ratu Alena benar-benar tidak bisa mengingat masa kecil? Aku adalah Kamga, kita pernah bermain bersama.”
“Sudah kubilang, aku tidak berminat mengingat apa pun Tuan Kamga. Apalagi masa kecil.” Wajah Ratu mengeras. “Sejak kematian Gathan, aku tidak berminat pada apa pun.”
“Satu lagi. Mengapa tempat ini begitu sepi?”
Lagi, perempuan itu menghujamkan pandangan pada Tuan Cakarwala.