Bukan! Pria di belakangnya adalah Paman Kamga.
Kamga meminta Delmina mengikutinya, sementara ia sendiri membopong Shuna. Mereka pergi menuju kediaman Nyonya Purlita. Bagaimana Shuna bisa tahu pamannya akan datang?
[ ]
Badan Shuna masih panas, dan terus mengigau. Delmina tidur sesaat, kemudian terbangun dan pergi ke ruang kata, merenungi kata-kata yang ia baca. Kalimat yang ia buat sudah ada di ruang itu. Delmina menengok dan melihat Shuna mendekatinya. Rupanya Shuna juga terbangun. Dia terlihat aneh, rambut panjangnya tergerai bebas. Wajahnya memerah dan penuh duka. Sorot matanya tajam, sepintas terlihat memohon, sepintas terlihat marah.
Delmina ingin memapah dan mengembalikan Shuna ke kamarnya. Dia tidak seharusnya berkeliaran.
Shuna mendekati Delmina, pelan sekali, dan ketika Delmina ingin mengajaknya kembali ke kamar, Shuna menepisnya.
Shuna membuka telapak tangannya dan menempelkan di kedua pipi Delmina.
Awalnya Delmina hanya menatap wajah Shuna yang menyedihkan. Perlahan, sesuatu paling aneh terjadi pada dirinya.
Delmina merasa iri pada kedekatan Shuna dan ibunya. Iri itu berubah menjadi rindu, tertuju pada Bibi Mindu. Delmina senang di sana, pada kue labu, pada tanaman-tanaman yang ia tanam. Dia juga rindu pada Askun yang dulu, saat mereka berguling-guling di tanah. Dia tersentuh pada kebaikan Serrpa. Dia cemas ketahuan Tuan Barto. Dia menyukai pria itu. Dia khawatir dengan kesehatan Nyonya Rulemina, tapi Delmina juga merasa ditolak perempuan itu. Dia kesal pada Kurr, tersinggung, tapi ia juga ingin berterima kasih pada anak laki-laki itu. Aneh. Semua perasaannya mulai campur aduk. Dia merasa bahagia melihat Askun untuk pertama kalinya lagi, tapi juga risau dan kecewa saat Askun tidak menyapanya. Dia sedih melihat Kurr kehilangan kuda. Dia senang mendengar Bibi Russ membawa kabar baru. Dia ketakutan dicekik Yuri. Dia tidak suka pada lelaki itu. Dia kasihan melihat Tuan Tota terpincang-pincang. Dia senang rumah ayam itu tegak. Malu bila Tuan Romun memujinya. Senang saat Bibi Russ mengajaknya bercakap-cakap dan berjalan-jalan.Semua perasaannya terlintas cepat. Delmina bergetar di bawah tangan Shuna.
Delmina menangis, tersenyum, dan tidak menyukainya. Delmina kecewa kue-kuenya dicolong Barmina. Dia jengkel dipermalukan Taramina. Dia kesepian setelah dipisah kamar dari Timimina. Dia sayang Timimina. Dia benci dibohongi olehnya. Dia panik Tutornya mendapat ular derik. Dia terhibur dengan kedatangan Tuan Tota. Dia marah telah dibuang. Dia geli dengan tawa Selamina. Dia frustrasi dilempar ke sungai. Murka. Dendam pada empat saudari itu. Dia takut bertemu mereka lagi. Dia merasa lelah menyerap semua perasaan orang. Dia merasa kesepian. Dia bahagia pamannya datang. Dia senang putri raja itu datang. Delmina menatap Shuna dengan mata basah. Dia tidak tahu mengapa bisa memiliki paman. Tangan Shuna menekan wajahnya kuat. Delmina tidak tahan lagi. Dia tidak mau merasakan itu semua. Sakit. Dia mengiba-iba pada Shuna untuk menghentikannya. Mendorongnya, hingga mereka berdua terjatuh.
“Shuna! Jangan!”
Nyonya Purlita menghambur ke ruangan dan seseorang membawanya kembali ke kamar.
[ ]
Sudah beberapa hari Shuna berada di Perkampungan Awan Bertuah bersama pamannya. Sedang di Delmina bersama Nyonya Purlita. Hari itu mereka pun akhirnya pergi ke Gunung Wuasal. Nyonya Purlita meminta maaf atas apa yang terjadi. Delmina hanya mengangguk sekali. Malam itu energinya terkuras. Begitukah rasanya menjadi Shuna?
Setibanya, Delmina mendapati Shuna duduk lunglai di tepi tanah lapang. Rambutnya nyaris menutupi wajahnya, sama sekali tak menyadari kehadiran Delmina. Paman Kamga, Tuan Fabar, Picuk, Kurr, Mangkus, dua perempuan bersama Gerigi, juga terlihat di sana. Mangkus dan Gerigi?
Hanya Kurr yang menyadari kehadiran Delmina.
Nyonya Purlita meminta Delmina tidak mendekati mereka.
Mangkus berjalan dengan gaya selengean khasnya, ke depan Shuna.
“Ya, ya. Aku tidak punya masa lalu yang menyakitkan kecuali tidak berayah ibu,” ucapnya sambil tertawa.
“Apa kau siap Shuna?” tanya pamannya.
Shuna mengangguk lemah, menarik napas lebih kuat, dan mengulurkan kedua tangannya.
Delmina pikir seseorang akan menangkap tangan Shuna. Atau tangannya akan diberi hukuman. Rupanya tidak.
Shuna menatap Mangkus dengan sendu, dan Mangkus hanya berdiri diam.
Adegan itu cukup lama, hingga membuat Mangkus tertawa.
“Aku tidak punya ibu, bagaimana aku bisa merasakan sangat sayang pada ibuku.”
“Ini lebih lucu, aku punya istri,” ucapnya tertawa keras.
“Aku bahagia sekali, istriku hamil.” Mangkus masih terbahak-bahak. Sesaat kemudian ia membisu. Menoleh ke kiri serta ke kanan. Mangkus termundur beberapa langkah, ia berhenti bicara dan menatap ganjil ke arah Tuan Fabar.
Tuan Fabar seperti orang kepedasan. Tangannya mengepal, dan bahunya naik turun. Dia berlutut dengan satu kaki bertumpu di tanah.
Seketika Shuna berdiri dengan kedua tangan terulur ke arah kanan dan kiri. Tatapannya lebih tajam tapi tidak mengarah pada siapa pun.
Tuan Fabar seperti kesakitan, kepalanya menggeleng berusaha mengenyahkan. Tombaknya tertancap di tanah, ditekan dengan kuat. Begitu kuat.
“Fabar, katakan yang terjadi?” Kamga mendekat.
Di seberangnya, Kurr berlari meninggalkan tanah lapang. Sepertinya tidak ada yang menyadari apa yang terjadi pada Kurr sebelumnya.
Tuan Fabar berdiri dan bersiap menyerang.
“Cukup Shuna!” teriak pamannya, berlari mendekat Shuna.
“Paman, mengapa menyakiti itu menyenangkan? Mengapa rasanya begitu nikmat?” tanyanya.
“Tidak. Kau tidak begitu. Kami percaya padamu.” Kamga pun memeluk Shuna.
Tuan Fabar menuntaskan marahnya ke tanah.
“Istriku sedang hamil, aku menyayanginya, tapi ia sudah tiada. Lalu semua berubah. Aku merasa bersalah atas kehamilannya. Seandainya saja ia tidak hamil, tidak perlu jatuh dari tangga. Seandainya saja aku bisa menyelamatkannya. Aku juga tidak menyukai pemabuk. Terutama yang telah menyakiti istri dan anaknya,” ujar Tuan Fabar ketika ia telah lega.
“Delmina?” Shuna akhirnya menyadari keberadaan Delmina. Namun, Kamga membawanya pergi.
“Delmina, maafkan aku. Maafkan aku!” teriak Shuna dari kejauhan.
Nyonya Purlita datang menggamit lengan Delmina.
“Dia harus menjauhimu. Jangan biarkan Shuna mendekatimu dulu,” pinta perempuan cantik itu sedih.