Mereka bertiga kembali ke Gunung Wuasal. Harusnya paman Shuna dan ketiga sahabat awan itu sudah kembali. Bu Huni membekali mereka dengan pai labu, sementara Nyonya Purlita pusing saat menemukan perempuan itu lebih sering di dapur. Shuna tertawa saat Delmina menceritakan betapa berat harus memapah dirinya dan melewati hutan. Mereka sudah bisa membahasnya dengan cara menyenangkan.
Mereka berjalan menuju gerbang daun, sambil bersedekap. Biasanya hanya terdengar gemerisik daun, tapi kali itu yang terdengar semak yang gegabah, teriakan dan hantaman tombak.
“Nyonya Purlita, menyingkir!”
Mangkus dan Boktu saling bertarung dengan dua puluh prajurit bertopeng. Sementara Lumpi mendekati mereka sambil memegang lengannya yang berdarah.
“Jangan lewat situ Nyonya, ayo ikut aku.” Lumpi berlari dengan menyeret kakinya.
Mereka bertiga berbelok ke arah lain, menjauh dari gerbang utama. Setelah itu Lumpi membuka sebuah lubang yang sengaja ditutupi daun.
“Ikuti lubang ini Nyonya, dan bawalah buku ini. Aku akan bergabung bersama Mangkus dan Boktu,” ucapnya sambil menyerahkan sebuah tas. "Panggil juga beberapa orang untuk keluar," katanya lagi. Nyonya Purlita mengiyakan, dan mengajak kedua anak perempuan masuk.
Shuna hanya menatap ibunya. Seketika ia menutup lubang, dan berlari. Delmina segera mengejar Shuna, diiringi protes Nyonya Purlita dan kejaran Lumpi.
“Aku ingin melakukan sesuatu,” ucap Shuna.
“Mereka datang tiba-tiba. Kalian tidak bisa apa-apa, menjauhlah,” ucap Lumpi.
Shuna mengulurkan tangannya. “Aku ingin membuat mereka ketakutan.” Tangan Shuna seperti orang yang meminta. Pertarungan tiga melawan dua puluh. Tiga orang di tengah, saling dukung dengan dua puluh prajurit mengelilingi mereka. Beberapa kali pun beradu, tidak ada satu pun prajurit itu yang tersungkur.
“Tidak mungkin! Kosong! Tidak ada apa-apa!” pekik Shuna.
Delmina menatap Shuna cemas. “Mereka seperti bukan manusia! Tidak ada rasanya!” Shuna bersungut sekaligus heran.
Satu prajurit berhasil membuat Mangkus berlutut. Mangkus memutar tombaknya dan segera menusuk perut prajurit itu. Prajurit itu terduduk dan blash, lenyap meninggalkan pakaiannya.
Ketiga pemuda itu saling tatap dengan bingung.
Delmina menutup mulut saking kaget.
“Apa itu!” Shuna pun sama kaget.
Dua prajurit menengok ke arah Delmina dan Shuna, lalu berlari ke arah mereka. Dengan ketakutan Shuna mengulurkan tangannya ke arah Boktu. Sepertinya Shuna tidak peduli pemuda mana pun, acak saja. Boktu mengamuk, berlari mendekati dua prajurit itu dan menumpaskan keduanya. Delmina menutup muka, saat kedua prajurit itu lenyap tiba-tiba.
“Berhasil,” ucap Shuna, salut pada dirinya. Masih ada tujuh belas lagi. Lumpi tampak benar-benar lelah, dan jatuh tersungkur. Shuna mencoba sesuatu pada Lumpi, tapi tidak berhasil.
“Dia terlalu lelah,” kata Shuna.
Dari jauh terdengar suara kuda berlari kencang. Kemudian melayang sebuah tombak menembus punggung satu prajurit di dekat Lumpi dan melenyapkannya lagi. Seorang anak laki-laki turun dari pohon dan mendarat tepat di bahu prajurit yang akan menikam Boktu membuatnya terjatuh dan dengan cepat menancapkan tongkatnya. Anak laki-laki itu terguling sesaat karena kehilangan alas duduknya. Wajahnya bingung.
Seorang perempuan muda turun dari kuda dan memukul prajurit yang sedang menyerang Mangkus. Mangkus berbalik dan menusuk prajurit itu. “Terima kasih,” ucapnya pada perempuan muda yang masih bingung itu. Perempuan itu mendekati Delmina dan memberikan tombaknya.
Perempuan itu Serrpa ditemani Askun dan Tuan Romun beserta kuda-kuda mereka.
“Untuk berjaga-jaga dari lemper-lemper ini. Mengapa kau tidak masuk dan meminta bantuan yang lain?”
Shuna yang mendengarnya segera mengecek lubang masuk, meninggalkan Delmina yang tidak tahu harus apa.