“Bolehkah aku menceritakan masa kecilmu Kamga?” tanya Nyonya Purlita yang tidak benar-benar meminta izin.
Sorot mata Kamga hanya terfokus pada buku.
“Sewaktu kecil ia pernah kedapatan membaca Buku Kehidupan Taruktu oleh kakek mereka yang sudah kehilangan kemampuan khususnya. Saat ditanya, Kamga berceloteh hanya meniru kakaknya. Tapi, Dasta yang sudah memiliki keistimewaan, tahu bahwa Kamga berbohong. Kakek mereka heran, bagaimana bisa ada dua Pembaca dalam satu waktu? Tapi, Kamga saat itu masih kecil, jadi ia dibiarkan saja. Kamga tahu ada sesuatu dalam dirinya dan ia terus menolaknya. Kamga pergi, tidak menceritakan pada siapa pun, menolak segenap hatinya.”
Wajah Kamga berubah mengeras.
“Kamga, kau baik-baik saja?” tanya Haydara lagi.
“Kawanku, jangan diam begini.” Tuan Fabar berharap Kamga mengungkapkan sesuatu.
“Seandainya Kamga tidak terus menolak, kurasa Shuna tidak akan mendapat kemampuan itu. Dia bisa hidup normal seperti anak-anak lain. Kemampuan Sang Pembaca akhirnya terpecah, pada Shuna dan pada pamannya. Bukan begitu Kamga?”
“Aku ... bahkan ... tidak ... berteori ... seperti ... itu,” ucap Kamga terbata-bata.
“Ya, kau dan Shuna itu satu. Kau datang tepat sewaktu aku melahirkan Shuna. Aku pikir kau datang karena kabar kematian Dasta. Tapi, kau sangat bahagia hari itu. Dari mana kau tahu aku hamil? Setiap kali Shuna mengalami kejadian buruk, kau juga merasakannya. Kau bahkan tahu di mana Shuna dan Delmina melarikan diri, ya kan? Kau tidak mau berurusan dengan kerajaan? Tapi, kau menyimpan peta itu sekian lama, aku yakin di dalam peti itu masih banyak hal lain. Kau membangun tempat ini, karena kepedulianmu pada Taruktu.”
“Paman, apa itu benar?” Shuna mendekati pamannya dengan wajah sedih.
Buku Kehidupan Taruktu itu berkilau lagi.
Semua orang terkesiap, termasuk Shuna dan pamannya. Shuna makin mendekatkan diri ke pamannya dan lembaran buku itu membalik lagi.
Mata Shuna berkaca-kaca. “Aku bisa melihatnya. Aku bisa melihatnya.”
Shuna menatap ibunya. “Aku tidak bisa membacanya. Tapi aku bisa melihat huruf-huruf yang muncul dan menghilang.”
Seketika Kamga menjauhi Shuna dan buku itu.
“Aku butuh ruanganku,” ucap Kamga seakan merasa gerah.
Secepatnya Serrpa menarik ayahnya dan Askun pergi. Tuan Fabar dan Picuk memilih keluar. Delmina juga ingin keluar, namun Haydara mencegahnya.
Shuna kembali menatap kosong pada buku itu.
“Padahal aku sudah melupakannya.” Kamga mengelus-elus lehernya.
“Apa yang terjadi jika Buku Kehidupan Taruktu tidak lagi dibaca dan dituruti?” tanya Haydara.
“Kerusakan, bencana, kehancuran negeri ini,” jawab Kamga.
“Seberapa besar? Maaf, meski anggota kerajaan, aku tidak memahami ini.” tanya Haydara.
“Seringkali kerusakan kecil, bisa menghasilkan bencana besar.”
Nyonya Purlita mengajak orang-orang yang tersisa untuk ikut keluar. Iparnya itu butuh waktu dengan dirinya sendiri.
[ ]
“Kenapa banyak orang yang mendengar hal sepenting itu ?” Serrpa melontarkan pertanyaan ke entah siapa, yang dijawab oleh Nyonya Purlita. “Bagi Kamga, semua di sini adalah keluarganya. Dia punya kepercayaan yang besar pada mereka. Jadi, kau juga bisa bertarung? Nanti ada pertunjukan bakat, mau ikut menampilkan?” tanya Nyonya Purlita ramah.
“Tidak. Aku hanya ikut mengantar adikku. Katanya ini tempat terbaik yang ia impikan.”
“Aku akan menengok Lumpi dan yang lain,” kata ibu Shuna itu.