“Anda tidak ikut pasukan Paman Kamga?” tanya Serrpa pada Haydara. Dia memilih kata pasukan, yang awalnya tidak disepakati Kamga.
“Sayang sekali, bukan? Masalahnya, Kamga mengkhawatirkan kesehatanku bila aku ke sana. Dia mencariku hanya untuk tahu bahwa bukan aku yang menyamar menjadi Alena,” jawab Haydara.
“Apa dulu Bibi Haydara dekat dengan Paman Kamga?” tanya Shuna.
Mereka bercakap-cakap di rumah mungil di tepi danau sambil menunggu Nyonya Purlita membawakan makan siang.
“Dekat? Sulit bagiku bermain-main kecuali dengan Alena. Aku ingat Kamga sering berlari-lari dan mengintip kami. Mungkin mengintip Alena.”
“Pamanku menyukai ibu Delmina?” tanya Shuna.
“Waktu itu kami masih kecil, tidak terpikir begitu. Tapi, mereka pernah main bersama. Jadi, kau bisa menyerap perasaan orang?" tanya Haydara pada Shuna.
"Bibi cemas aku mengutak-atik dan memberi tahu orang apa yang Bibi Haydara rasakan? Tidak. Aku juga tidak mau begitu," Shuna menunduk dan sedikit melirik Delmina.
"Lalu, apa yang ditemukan pemuda yang suka meneliti itu?” tanya Haydara lagi.
“Namanya Picuk. Tidak, dia tidak menemukan apa pun di pakaian dua puluh prajurit itu. Hanya sedikit debu hitam pekat. Kurasa Picuk juga tidak akan ikut karena dia harus bertanggung jawab di tempat ini,” jawab Nyonya Purlita.
“Bagaimana dengan Tuan Cakarwala ?” gantian Haydara bertanya pada Delmina.
“Sudah kusampaikan pada paman,” jawab Delmina yang baru selesai mengunyah.
“Susah sekali berbicara dengan Kamga akhir-akhir ini. Kurasa dia sampai pada kesimpulan, bahwa Tuan Cakarwala yang menyebabkan semua ini. Ratu Alena pasti dikendalikan olehnya,” ungkap Nyonya Purlita lagi.
Semua perempuan di dalam ruangan itu beralih menatap ke jendela yang terbuka, lurus menyeberang danau. Mengamati orang-orang yang mulai berkerumun.
“Sepertinya mereka akan berangkat sekarang.”
[ ]
Setelah melemparkan asa, pekik semangat, dan persiapan-persiapan, akhirnya barisan itu berangsur-angsur menghilang. Ada yang sedih, ada yang sangat bersemangat. Harapan-harapan dilangitkan agar perundingan berhasil dan Ratu Alena menyadari kekeliruannya.
Tuan Romun berjalan mendekati Serrpa, dan berkata, “Aneh sekali melepas Askun di situasi ini. Tapi, aku ingin bisa menghargai keputusannya.”
Baru kali itu Delmina melihat Tuan Romun berwajah muram. Benar, dia ayah yang baik.