“Apa yang kalian lakukan di sini?!”
Mangkus mendesak Shuna dan Delmina untuk mundur. Karena merasa hapal dengan tempat itu, Delmina dan Shuna berhasil menyelinap.
“Kami harus menyampaikan sesuatu pada Paman Kamga.” Shuna memohon agar Mangkus mengizinkan mereka meneruskan tujuan.
“Tidak!” Mangkus menyilangkan tombaknya di depan kedua gadis muda itu.
“Paman Kamga, Tuan Fabar dan yang lain masih di dalam. Mereka sedang berunding. Tunggu di sini atau kembali saja!”
“Tapi, Delmina ingin menyampaikan bahwa bukan Tuan Cakarwala yang mengendalikan semua prajurit itu.” Shuna langsung menyampaikan maksudnya.
Mangkus melirik mereka bergantian. “Apa maksudnya itu?”
“Perempuan itu yang mengendalikannya. Dia bukan Ratu Alena,” jawab Shuna blak-blakan, salmbil melihat sekilas Delmina yang merasa takut menyampaikan apa yang menjadi kesimpulannya.
“Sst. Apa yang kalian maksud? Kalau bukan Ratu Alena, tidak mungkin kembarannya ya kan?” Mangkus menunduk di depan keduanya, berharap tidak ada yang mendengar mereka.
“Bukan! Perempuan itu,” Shuna melirik lagi Delmina, “tidak tahu siapa.”
“Dia bukan ibuku. Aku yakin.” Cuma itu yang bisa Delmina katakan untuk membantu Shuna meneruskan kalimatnya.
Mangkus berdiri tegak lagi, menghalangi Delmina dan Shuna dengan tombaknya.
“Bagaimana pun, kita akan tetap menunggu Paman Kamga keluar dari sana,” ucapnya tegas.
Shuna memberi isyarat Delmina untuk melakukan sesuatu.
“Meski begitu, aku senang sekali luar biasa melihat kalian di sini. Sepercik harapanku tergantung pada kalian. Bersemangatlah!” Tombak Mangkus terangkat, dengan riang ia mengizinkan keduanya meneruskan langkah.
Delmina dan Shuna segera berlari mencari jalan menuju istana.
“Aku sungguh bahagia bertemu kalian!” teriak Mangkus dari jauh.
Delmina menyikut Shuna sambil berjalan cepat.
“Ah, dia hanya kembali ke kebiasaannya,” ucap Shuna senang.
Beberapa prajurit berjejer di depan istana, menghadang pasukan Paman Kamga yang berbaris rapi. Prajurit itu belum seberapa banyak dibanding yang mereka lihat di ruang bawah tanah. Mereka menyelinap dari satu pohon ke batu besar ke topiari ke gundukan mana pun yang bisa menyembunyikan mereka agar terus mendekat dan tak terlihat. Pasukan mana pun yang melihat, tak akan menyenangkan bagi mereka. Semakin depan, mereka akan terpapar, karena tak ada lagi sesuatu yang bisa menyembunyikan. Shuna meremas tangannya yang berkeringat. Delmina takut Shuna menjadi cemas karena dirinya. Dia juga sama bergetar.
Di seberang mereka ada pasukan Paman Kamga menghadap ke istana. Di kanan atas mereka prajurit menyebar nyaris mengelilingi istana.
Delmina melihat Tuan Fabar keluar disertai Tuan Cakarwala, dengan segera ia mengetuk lengan Shuna yang sedang menengok ke arah lain.
Terakhir Kamga keluar berbarengan Ratu Alena bersama prajurit-prajuritnya.
“Aku akan melakukannya agar kau lega dan pasukanmu yang menakjubkan ini bisa kau tarik segera.”
Kamga memberi hormat pada Ratu Alena dan mengeluarkan sebuah bungkusan yang berisi botol kecil. Ratu Alena menerimanya dengan santun. “Aku akan meminumnya di depan kalian,” ucapnya sembari mengangkat botol dan membuka tutupnya. Pelan-pelan Ratu Alena meminumnya hingga tak bersisa dan menyerahkan botol itu ke Tuan Cakarwala.
Sepertinya semua orang menunggu reaksi ramuan yang ditelan Ratu Alena.
“Bagaimana? Kau bisa menarik pasukanmu sekarang dan berhenti memfitnah Tuan Cakarwala.” Ratu Alena mengarahkan tangannya ke arah pasukan Paman Kamga, sebagai isyarat.
Kamga tampak meragu, tapi seketika mengucapkan terima kasih dan melangkah amat pelan menuju anak tangga.
Suara derap dua ekor kuda memantul di kedua telinga. Satu perempuan sudah menuntun kudanya, sementara satu lagi terus menunggang mendekati Ratu Alena. Kamga menghentikan langkah, seketika memandang istimewa seorang perempuan bergaun yang memegang busur di tangan kiri. Perempuan itu sempat melirik ke arah Delmina dan Shuna yang bersembunyi di balik tanaman, saat turun dari kuda.
“Hai Alena, udara cukup panas ya hari ini.”
Kamga meringis. Sebagai anggota kerajaan, perempuan di depannya tampak tidak memedulikan tata krama. Haydara menaiki anak tangga dengan sumringah.
“Indah sekali rumah masa kecil kita ya. Atau aku yang sudah lupa?” ucapnya sambil celingak-celinguk, termasuk ke arah Delmina dan Shuna.
Ratu Alena memandang heran Haydara, namun masih menjaga sikap.
“Kenapa memandangku begitu? Kau tidak ingin ...” Belum tuntas Haydara berucap, Ratu Alena langsung menanyainya tegas, “Berhenti di situ! Siapa kau?”
Gantian, senyum Haydara berubah menjadi kebingungan.