Delmina dan Sang Pembaca

lidhamaul
Chapter #32

#32. Ratu Taruktu

“Kamga, kita bisa kalah jumlah.” Haydara mengambil panah dari tubuh prajurit yang menghilang. Mereka terus berjalan sambil bertarung. Pasukan mereka sudah banyak yang terluka. Kamga melihat pemuda-pemuda yang mulai kelelahan. Lumpi dengan lengan terbalut menolong kawan lain yang terluka. Ada Gerigi yang memapah seorang gadis yang pincang. Boktu masih terus bertarung. Kamga juga melihat Tuan Fabar yang kelelahan, berlutut, dan berdiri lagi, berjuang menangkis serangan. Dua prajurit berhasil ia lenyapkan. Kemudian ia berlutut lagi dengan kedua tangan memanjang, menggenggam tombak yang lurus menghadap langit yang gelap. Bahunya naik turun akibat letih. Sekelebat cahaya tak disangka-sangka datang menerobos pergelangan Tuan Fabar!

"Tuaaannn!" pekik murka seorang anak muda.

Tangan Tuan Fabar menggelinding di dekat kaki Kurr. Dengan beringas, Kurr menghabisi prajurit-prajurit yang ada di dekatnya. Tuan Fabar terjatuh.

“Kawanku Fabar!” teriak Kamga. Sayang, sulit baginya mendekat, karena harus mempertahankan diri dan orang di sekitar. Delmina dan Shuna merasa ngeri. Keadaan terus tidak menguntungkan bagi mereka. Darah di mana-mana, tercecer di tanah, merembes di pakaian. Sudah pasti itu adalah darah-darah mereka sendiri. Para prajurit tidak mengeluarkan darah.

Shuna mencoba kekuatannya. Menguatkan perasaan pasukan. Kadang ia menarik rasa marah, kadang perasaan bahagia untuk terus bertarung. Shuna sedang tidak bisa berpikir mana yang terbaik untuk orang itu di saat ia juga harus berkompromi dengan perasaannya sendiri.

Delmina pun mencoba peruntungannya untuk bisa memerintah prajurit agar diam, yang sedihnya tidak bisa ia lakukan. Dia merasa sungguh tidak berguna.

“Kamga, pasukanmu mulai melemah. Lihatlah.”

Kamga menyadari apa yang diucapkan Haydara, pasukan Ratu Alena – palsu memang berjumlah lebih banyak. Tapi, ia tidak ingin menyerah. Tuan Fabar sudah tidak terlihat, Kurr menggantikan posisinya. Delmina berharap Kurr baik-baik saja. Ingin sekali ia melakukan sesuatu. Seandainya ia bisa menyingkirkan Kurr dari sana, agar Kurr aman, agar Bibi Mindu pun tenang. Tidak peduli ia pernah kesal dengan anak itu.

Mereka akan berhenti, jika Ratunya menyerah atau mati,” Delmina berbahasa isyarat di depan Haydara. Bibinya menatap bingung. “Dari mana asumsi itu?” sekaligus tersenyum samar. Delmina menggeleng. Dia ingat Kurr, yang berbicara tentang lebah di tanah pertanian. Dia pernah membaca buku-buku Kurr, tentang jenis lebah, rayap, dan semut yang memiliki ratu. Itu yang sedang masuk di benak Delmina.

Suara-suara teriakan dan kesakitan mengudara di sekitar mereka.

Kamga harus berbuat sesuatu. “Aku akan mengarahkan pasukan ke sana. Sudah pasti dia bukan Alena. Ibu apa yang matanya bersinar setelah menjilat darah anaknya! Lagipula aku tidak senang melihat dua orang itu yang hanya berdiri tenang menyaksikan kematian. Benar-benar sinting!”

Kamga mengeluarkan kedua belatinya, menghancurkan dua prajurit sekaligus di kanan dan kirinya. Haydara melontarkan panahnya dan berhasil menembus dua prajurit sekaligus.

Boktu! Boktu!

Pemuda itu terduduk, terus menerus termundur karena serangan musuh yang mengincar perutnya. Seseorang datang seakan terbang, duduk di pundak prajurit, menutup mata musuhnya, dan seketika memelintir kepala si musuh sekuat tenaga. Sebuah tombak meluncur cepat ke perut prajurit, dan Askun pun terpelanting. Boktu segera mengambil senjatanya dan berlari mengejar musuh lain.

“Hai, Kak. Kukira kau tidak datang.” Askun mengikat rambutnya yang berantakan.

“Aku tidak suka ya, kalau kau bersenang-senang, sementara aku disuruh pulang.” Serrpa segera mengambil tombaknya di atas pakaian prajurit. “Hei, dia punya tombak yang cantik. Aku mau yang ini. Kau masih suka main aman, kan?” tanyanya sambil menyodorkan tombak. Askun menggeleng, merelakan kakaknya memiliki dua tombak. Kembali, mereka menengok dan memencar.

Jeritan menyayat hati dan perlawanan membuat keduanya tidak bisa bercakap-cakap lebih lama.

Pasukan mereka sudah berada di tahap terpuruk.

Nyonya Purlita terus saja mengumpulkan orang-orang yang sakit.

Langit bertambah gelap. Kabut hitam mengungkung mereka.

Di saat banyak pasukan Paman Kamga yang berjatuhan, suara derap kuda yang keras berduyun-duyun mendekat.

Lihat selengkapnya