DELTA TEAM

Keita Puspa
Chapter #3

Alien

Setelah beberapa saat tak sadarkan diri, mata Aruna terbuka. Mula-mula semua tak jelas, buram. Aruna merasakan sesuatu mengalir di pelipisnya. Penasaran, ia mengusap cairan itu untuk memastikan. Benar saja dugaannya, itu adalah darah. Aruna mengernyit menahan nyeri di kepalanya. Beberapa kali ia mencoba bangun tetapi tubuhnya selalu hilang keseimbangan. 

"Mungkin sebaiknya aku menunggu bantuan saja," guman Aruna. Ia akhirnya berbaring telentang menatap langit yang seolah terus mendekat dan hendak menelannya. Kepalanya masih terasa nyeri. Keras sekali dataran itu hingga membuatnya terbentur parah. Padahal seingatnya, ia terjatuh perlahan. 

"Aruna... Aruna... tolong jawab aku!"

Ah, iya! Aruna baru ingat kalau ia memakai radio telekomunikasi. Siapa itu yang memanggilnya? 

"Ya. Ini aku." Aruna duduk. Debu tebal seperti badai pasir terlihat di depannya. 

"Dimana posisimu?"

"Di—" Ucapan Aruna terpotong demi melihat badai itu mendekat, "badai pasir!" pekiknya. 

"Cepat pergi dari sana! Segeralah berlari secepat mungkin ke markas!"

Apa? Lari? Tentu saja ia tak bisa. 

"Aku—tak... bisa. Kepalaku terbentur dan masih nyeri hingga keseimbanganku terganggu."

"Bodoh! Merangkak saja, ngesot! Pokoknya apapun asal pergi dari sana! Mereka bisa membunuhmu!"

"He?" Aruna berpikir sejenak. Tidak salah lagi ini suara Axelle. Apakah lelaki itu menipunya lagi? Tetapi suaranya sangat serius. Mereka bisa membunuh? Mereka siapa? 

"Cepat pergi dari sana!"

Aruna berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan ia berjalan menuju markas. Suara gemuruh terdengar di kejauhan. Aruna melirik ke arah badai. Ada yang aneh dengan badai itu. Debunya tak seperti pasir yang terbawa amukan angin. Lebih seperti... ada makhluknya! 

Benar. Mata Aruna menangkap beberapa sosok cokelat gelap yang berlari mendekat. Kepala mereka penuh duri yang tampak tajam. Badannya kokoh seolah terbuat dari batu. 

"Golem! Ada golem! Ah—aku akan mati!" Aruna histeris. Tubuhnya diseret menjauh dari tempat itu. Namun sayang, kumpulan makhluk batu itu mendekat cepat. 

"Ya, Tuhan! Mereka mendekat! Makin dekat!" Panik, Aruna berdoa memohon keselamatan dan ampunan Yang Maha Kuasa. 

Derap langkah kaki kian gemuruh. Sekarang jika Aruna melihat ke belakang, makhluk buas itu bisa terlihat jelas bentuknya. Bagaimana duri-duri itu tumbuh di wajah dan pundak mereka hingga mata dan hidungnya tak terlihat. Atau mungkin memang mereka tidak memilikinya. Kaki-kaki mereka yang berjumlah enam tertutup debu. Beberapa berjalan hanya dengan empat kaki. 

Empat meter dari mereka, Aruna menyerah. Ia menunduk dengan posisi bertahan. Tak henti ia menyebut nama Tuhan. 

Blarrr! 

Sesuatu meledak. Aruna mendengar suara berdesing di udara. Ia tak berani menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Namun suatu cairan terciprat membasahi sebagian bajunya. 

"Hei, Aruna! Jangan diam saja. Cepat pergi!"

Ah, itu Coelho! 

Aruna berdiri. Ia melihat ada lima drone— termasuk yang dikendalikan Coelho— datang. Kembali ia merangsek menjauh. Suara letupan senjata terdengar bertubi-tubi. 

Kembali memaksakan tubuhnya bergerak, Aruna buru-buru mencoba berlari. Saat itulah seekor makhluk batu itu telah ada di depannya. Aruna tak berkutik. Jantungnya bekerja ekstra keras. Paru-parunya berhenti mengembang. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak. 

Makhluk itu berlari ke arahnya. Duri-duri di wajahnya terbuka membentuk suatu kepingan lingkaran. Dua buah bola hitam tiba-tiba saja muncul di sana. Makhluk itu berdiri dengan dua kaki, membuat perutnya terlihat. Seketika Aruna melebarkan matanya demi melihat sebuah mulut bergigi tajam berderet muncul dari permukaan perut makhluk itu. 

Napas Aruna berhenti, begitu juga aliran darahnya. Mulutnya terbuka. Seperti jantungnya akan segera melompat keluar lebih dulu sebelum makhluk itu mengonsumsinya. 

Blaaarrr!

Pyaaasss! 

Mulut Aruna mengatup. Sedetik kemudian terbuka kembali. "Hoek... hoekkk...." Ia memuntahkan cairan kuning yang tak sengaja tertelan. Wajahnya penuh dengan cairan yang sama. 

Seseorang membunuh makhluk itu. Aruna bersyukur sekaligus jengkel. Ia bersyukur nyawanya masih utuh. Namun ia juga jengkel karena harus menelan cairan kuning yang rasanya aneh. Mirip rasa semut hitam. Bau.

Detik berikutnya, ia melihat Axelle menodongkan senjata kepadanya. Sebelum matanya berkedip, cairan kuning kembali membanjirinya segera setelah Axelle menembak. Syukurlah kali ini bagian punggung. Ia tak harus mencicipinya lagi. 

"Pergi dari sana!" perintah Axelle. 

Aruna menaikkan bahu sembari merentangkan tangan. Axelle akhirnya menghampirinya dengan posisi siaga.

"Aku tak bisa berlari," ucap Aruna pada Axelle yang tengah asyik menembaki buruannya. 

Lihat selengkapnya