DELTA TEAM

Keita Puspa
Chapter #4

Pembantu Umum

"Kakak... Ibu...."

Aruna memperhatikan sosok di seberang jurang.

Seorang wanita denggan rambut yang disanggul sederhana memakai rok batik dan kebaya kutu baru tersenyum pada seorang pemuda berumur dua puluhan tahun. Pemuda itu memakai sebuah ikat kepala dari kain batik dengan beskap dan celana panjang hitam yang dihiasi kain batik. Mereka bergandengan tangan menuju tepi jurang seolah itu adalah pintu menuju surga.

Mereka melangkah bergandengan tangan, menatap satu sama lain tanpa melihat kemana langkah kaki mereka.

Kedua sosok itu mirip dengan orang tua dan kakak Aruna. Aruna terus memanggil mereka. Namun keduanya tak memedulikan Aruna dan terus berjalan hingga akhirnya terjatuh dari tebing.

Aruna menjerit, merasakan tubuhnya melayang. Kemudian secara tiba-tiba ia mendarat di medan tempur. Suara ledakan terdengar di mana-mana. Asap membumbung tinggi ke langit dan membatasi jarak pandang. Gadis itu terbatuk. Seseorang menabraknya hingga ia terpental sejauh dua meter. 

"Ah!" Terkejut Aruna. Asap menghilang dan terpampanglah pemandangan mengerikan. Mayat-mayat bergelimpangan, bertumpuk-tumpuk. Wajah mereka tak tentu rupa seperti plastik yang dibakar, meleleh. Aruna menjerit sekuat tenaga. Namun, suaranya tak keluar sedikitpun. 

Kemudian mayat-mayat itu amblas bersamaan dengan tubuh Aruna yang kini jatuh ke dasar bumi. Tubuh itu melayang dan mendarat sempurna di atas tumpukan sampah organik. Aroma dari sampah busuk membuat gadis berkulit kuning langsat itu mengeluarkan cairan lambungnya. 

Aruna menutup hidung tetapi bau itu masih menusuk-nusuk penciumannya dan membuat kepalanya berputar-putar. Ia terjatuh, duduk di antara berton-ton sampah yang kemudian sampah itu menggumpal, merekatkan diri menjadi kelompok-kelompok gulungan abu yang perlahan menguap ke angkasa. 

Awan-awan sampah berkondensasi di udara. Kemudian turunlah hujan. Hujan sampah yang tak bisa diuraikan bakteri selama puluhan tahun. Plastik, styrofoam serta beberapa bekas popok sekali pakai. Mereka terus berjatuhan menimpa Aruna. Mengubur gadis itu hidup-hidup. 

Aruna megap-megap. Paru-parunya tak terisi cukup oksigen. Tubuhnya terus tenggelam dan seolah terseret arus. Kemudian ia membentur sesuatu. 

"Ya, ampun! Apa itu tadi?" Aruna terduduk di lantai. Selang infusnya copot. Kain tebal bermotif salur menyelimuti kakinya. Ia meringis pelan menyadari ada luka goresan dari jarum infus di tangan kanannya. 

"Kau kenapa?" Seorang petugas medis berpakaian putih membantu Aruna bangun. Ia mengambil selang infus. "Akan kuambilkan jarum baru," katanya sambil merapikan bantal. 

"Tidak, Sus. Saya sudah baikan. Hari ini saya boleh keluar, kan?" tanya Aruna penuh harap. 

"Tergantung bagaimana hasil pemeriksaan pagi ini. Kalau bagus, kau boleh keluar," jawab Suster itu sambil tersenyum. "Istirahatlah. Jadwal pemeriksaan masih dua jam lagi."

Aruna mengangguk dan tersenyum simpul. Dalam hati ia ingin segera keluar dari ruangan membosankan ini. Namun mengingat mimpinya barusan membuatnya ingin meregangkan badan sejenak, menikmati kasur yang tidak empuk tetapi tak keras juga. 

"Bumi...," gumam Aruna sebelum pikirannya berkelana mencari sesuatu yang belum ia temukan. 


***

Lihat selengkapnya