Blurb
Hansini
Bukan hujan yang selama ini berdelusi, tapi aku. Aku yang selalu menganggap bahwa delusi terus saja menghujani bagan terpenting dalam tumpukan puisi-puisi itu di bawah laci. Sampai gemeretak degup pada arloji yang tak pernah tua itu mati, aku hanya ingin berdiri diantara hujan dan puisi, atau membiarkan delusi menyempalkan warna warni ingatan, membuat tenggorokanku tersedak oleh rindu yang masih kurapal dalam diam.
Muskaan
Apa yang harus aku lakukan pada Hansini? Juga pada hujan dan puisi yang memenuhi latar percakapan telefon yang tiap-tiap aku menyodorkan diri selalu menjadi bom waktu yang akan memusnahkan aku pada perputaran galaksi yang tak lagi seromantis malam-malam dulu.
Laiba
Andai kau tahu Muskaan, bahwa aku telah lama menyimpanmu di suatu tempat yang jauh dari jangkauan orang-orang pun waktu yang sesekali mengintip masa depan. Pernahkah kau melihatku sekali saja? Atau katakanlah kau tak pernah menyadarinya. Aku mohon, berhentilah mencari tahu tentang gadis itu. Putuskanlah sambungan telefon itu dan biarkan aku yang menyelesaikan kasusmu. Setelah semuanya selesai, mari hiduplah berdua denganku, tanpa hujan dan puisi. Hanya ada kita, yang nyata dan telah usai memerangi malam yang mencumbu di akhiri peluh di ujung subuh.