Pagi ini cahaya matahari menelisik melalui celah ranting-ranting yang tubuh sumbur ditaman, juga ada beberapa bunga yang mulai mekar disekitarnya. Beberapa orang lalu lalang dengan kesibukan masing-masing.
Aku masih duduk menatap entah kemana dengan tatapan kosong, aku membiarkannya karena itu adalah hal yang paling menyenangkan — menurutku. Biasanya aku suka mengamati sekeliling, tapi kali ini aku memilih untuk diam dan tak melakukan apapun.
Saat aku terdiam seperti ini, pikiranku menembus jauh entah kemana, membawa serta mimpi-mimpi yang pernah aku idamkan. Bagiku mimpi adalah sebuah pengharapan yang bisa dijadikan semangat dalam menjalani takdir yang telah Tuhan tentukan. Bagitu juga mimpi harus bisa untuk diwujudkan apapun caranya. Ya, bagaimana pun caranya mimpi itu harus menjadi nyata. Hal itu pula yang membuat aku keras kepala akan sebuah mimpiku.
Sebenarnyan mimpiku tidak terlalu sulit kok, hanya saja mereka menganggapku tak waras karena mimpiku. Kukira semua orang juga memimpikan hal yang sama dengan apa yang aku impikan. Padahal tidak sulit dan sangat mudah pun tidak mahal. Ya, aku ingin memiliki rumah tangga yang harmonis dan seperti apa yang ada pada pikiranku. Tapi sayang, sebagian orang seperti itu tadi menganggapku tidak waras.
Aku Shaqilla, seorang wanita berumur 28 tahun 3 bulan, memiliki rambut yang lurus hitam legam, hidung mancung, dagu terbelah, juga memiliki lesung pipit dikedua pipiku. Siapa orang yang tidak tertarik denganku, termasuk suamiku. Aku tersenyum sendiri ketika mengingat bagaimana awal mula kami berkenalan, hanya dari sebuah ketidaksengajaan setahun lalu.
Lagi-lagi ini tentang mimpiku, bersama laki-laki itu semua mimpiku hampir menjadi kenyataan, tapi sayang ibarat pohon kami terkena badai yang teramat menyesakkan dada. Seiring berjlannya waktu aku mulai kembali lagi merajut segala mimpi yang sempat hilang terkena badai besar.
“La, kamu makan dulu ya, meski hanya sesuap.” Ucap wanita paruh baya berumur 55 tahun dengan garis wajah yang tegas.
Aku tidak memberikan respon apapun juga tidak bergeming sedikitpun, netraku masih menatap jauh entah kemana. Sebenarnya aku ingin
“Ya sudah kalau kamu tidak mau makan. Mungkin ada hal yang ingin kamu ceritakan lagi kepada Ibu, Ibu akan mendengarkannya dengan baik.” Wanita itu membenarkan posisinya seraya meletakkan mangkuk kecil di meja dekat kursi. Aku hanya melihat sekilas kearahnya dengan mata sedikit berbinar.
Sayup-sayup aku mendengar ia berbincang sebentar dengan salah satu orang yang lewat saat itu.
Entah sudah berapa banyak cerita yang aku sampaikan ke dia, selama itu Ibu tidak pernah berkomentar aneh-aneh. Ibu hanya diam, mendengarkan, lalu sesekali mengucapkan kata ‘iya’, ’ah ya’, ‘mungkin’, dan sebagainya.
Aku akan memulai ceritaku dari bagian mana dulu ya? Ah iya, aku akan menceritakan bagaimana aku bisa memiliki mimpi gila yang orang lain anggap mimpi aneh.
Pada malam itu aku masih suka duduk di pinggir jendela sembari menikmati sepoi angin, mengamati satu persatu bintang yang cahayanya kadang merdup dan kadang juga berkilau terang. Saat itu jauh dari logikaku aku memikirkan entah apa yang akan terjadi kedepannya. Tangan hangat laki-laki itu mengelus punggungku dengan pelan, senyumnya melebar diwajahnya yang tercipta apik. Lalu sorot mata tajamnya menikamku dalam-dalam. Pemandangan ini membuatku selalu jatuh cinta lagi dan lagi kepadanya.
“Apa yang kamu lihat La?” Tanyanya lembut
“Itu hanya bintang yang menggantung di langit, Mas.”
“Kamu suka?” Kali ini pandangannya berpindah ke arah langit. Cahaya bulan membias diantara kami.