DELUSI

sastradanpena
Chapter #1

Mimpi

Kilat di luar menyambar bersahutan dengan guruh kala langit malam itu meraung dalam tangisan. Hembusan angin menyapu jendela dan membuat tirai menari-nari tak beraturan. Malam itu begitu gelap dan suram. Langit mendung tak memberi kesempatan pada bulan untuk bertengger dan menyinari malam. Suasana mencekam menambah kesan menakutkan dan membuat seorang gadis semakin meringkuk di atas kasurnya. Gadis itu meraung, nampak gelisah meski matanya terpejam. Sesekali ia meracaukan kata yang tak jelas dengan napas menderu. Kedua tangannya menempel pada telinga, berusaha menulikan diri dari suara-suara yang menakutkan di mimpinya. Dalam mimpi itu ia berlari sekuat tenaga untuk menjauh dari suara yang apabila semakin ia menjauh, malah semakin terdengar.

Ia tak tahu pasti ada dimana kala itu, bahkan matanya tak mampu melihat dengan jelas karena tempatnya begitu gelap. Suara-suara mengerikan itu seakan menusuk telinganya. Jerit memilukan, caci maki, raungan, dan pecahan barang membuatnya makin resah dan gemetar dan peluh telah membasahi dirinya. Ia memohon pada siapapun untuk menjauhkannya dari suara-suara itu, suara yang tak ingin ia dengar sama sekali. Air matanya keluar, menyelusup dari kelopak yang enggan terbuka. Napasnya masih naik turun tak beraturan menyertai kepanikan yang ia rasakan bercampur rasa takut. Suara-suara itu mengingatkannya pada kejadian masa lalu yang mati-matian ia lupakan.  

Ia terus meraba-raba, menyapu ruangan berharap ada titik cahaya yang dapat ia temukan. Ia ingin keluar dari tempat mengerikan ini. Hingga sebuah cahaya yang entah datang dari mana menyinari ruangan itu. Perlahan ia tersenyum lega, akhirnya ia dapat dengan mudah menemukan jalan keluar. Akan tetapi, rasa lega itu tak bertahan lama kala ia baru menyadari bahwa pisau berlumuran darah sedari tadi digenggamnya. Ia berteriak karena terkejut, melemparkan pisau itu dengan perasaan takut. Tak sampai disitu, ia makin dikejutkan dengan seluruh ruangan yang dipenuhi dengan darah. Entah apa yang sudah terjadi, ia tak tahu pasti. Ia hanya bisa menjerit dengan perasaan takut. Kakinya begitu lemas begitu melihat ada bercak darah di tubuhnya. Sekali lagi ia berteriak sampai ia sadar dari tidurnya yang begitu melelahkan. Mimpi buruk yang selalu terjadi berulang dan membuat tidurnya tak pernah tenang.

Ia merunduk, mencoba menstabilkan napasnya yang masih menderu tak beraturan. Jantungnya terasa hampir copot dari tempatnya karena rasa takut dan keterkejutannya. Kemudian ia menoleh pada cermin lemari tepat di samping tempat tidur. Menatap tubuhnya sendiri dengan perasaan iba. Jika dirinya menilai seperti itu, bagaimana dengan orang lain? Apakah mereka akan menganggap bahwa dirinya adalah mayat hidup? Penampilan gadis itu jauh dari kata baik-baik saja. Tubuhnya kurus, kantung mata menghitam dan sembab, serta banyak luka di tubuhnya. Persis seperti korban penyiksaan yang terkurung selama bertahun-tahun di penjara, tetapi ia adalah anak 17 tahun yang hidup dalam sangkar neraka yang biasa disebut rumah.

Shena Meira, itulah namanya. Gadis yang seharusnya menjalani hidup bahagia seperti remaja pada umumnya. Gadis yang seharusnya menikmati masa-masa sekolahnya dengan bersuka cita. Namun kehidupan gadis itu tidak seperti seharusnya. Ia mengalami PTSD (gangguan pasca trauma) karena kehidupan keluarganya yang begitu menyakitkan. Untuk menenangkan diri, tangan kecilnya mengambil beberapa pil dalam botol yang sudah diresepkan Dokter. Meski obat bukanlah penenang sebenarnya yang akan dengan mudah membuatnya lupa dengan masalah, setidaknya ia bisa bernapas lega beberapa jam tanpa memikirkan beban berat yang ia tanggung hingga membuatnya depresi.

Lalu gadis itu turun dari ranjang dengan mata yang menyapu ruangan tidurnya. Ruangan itu terlihat seperti kapal pecah. Barang-barang berserakan tak tentu tempat. Bahkan ada sebilah pisau kecil dan pecahan beling di pinggir meja belajarnya. Namun ia mengabaikan itu seakan sudah menjadi hal biasa baginya. Ia memilih melanjutkan langkah untuk pergi ke luar kamar. Satu detik kemudian, tepat saat tangannya menyentuh kenop pintu, lampu tiba-tiba saja padam. Ia mendengus sebal, kenapa harus sekarang lampu-lampu mesti padam? Belum lagi derasnya hujan dengan suara petir menyambar membuat suasana kian mencekam.

Derit pintu menjadi pemecah keheningan malam itu. Dengan meraba-raba, Shena melangkah menuju dapur. Ia ingin sekali meminum air dingin untuk menyegarkan tenggorokkannya yang kering. Namun ia merasa aneh dengan suasana yang begitu sunyi seperti ini. Biasanya ada suara berisik dari kamar Niko yang berceloteh dengan teman di game-nya atau ayahnya yang selalu menonton televisi sampai larut malam. Melupakan niatnya, Shena mendekati lemari besar, mengambil persediaan lilin dan pemantik untuk menerangi ruangan ini. Setelah dapat, gadis itu mulai mengecek tiap ruangan untuk memastikan bahwa ia tak sendirian di rumah.

“Niko?” dipanggilnya adiknya itu, namun Shena tak menemukan Niko di kamarnya.

Kemudian ia beralih ke kamar Fera, sang kakak. Namun hasilnya sama, tak ada tanda-tanda Fera di dalam kamar. Bahkan kasurnya terlihat sangat rapih seperti belum terjamah.

“Pa? Ma? Ini orang pada ke mana, ya? Tumben.” Gumamnya. Sedetik kemudian ia mengedikan bahu tak peduli. Suatu yang baik apabila orang-orang tak ada di dalam rumah. Artinya Shena bisa bernapas lega beberapa saat tanpa harus merasakan ketegangan karena tekanan mereka terhadapnya.

Saat kakinya hendak melangkah kembali menuju dapur, ia tak sengaja menginjak sesuatu yang membuatnya langsung terkesiap. Ia kemudian mengarahkan lilin itu yang sedetik kemudian membuat dirinya hampir jatuh karena terkejut. Gadis itu melihat tubuh-tubuh anggota keluarganya yang terkulai lemah bersimbah darah. Refleks ia memekik dan terjatuh ke lantai. Matanya spontan mengeluarkan air dan jantungnya yang berdegup kencang. Belum lagi keadaan sekitar yang nampak kacau. Dadanya kembali naik turun, Shena begitu syok. Ia tak tahu apa yang terjadi sampai seluruh keluarganya menjadi seperti ini. Saat dirinya menunduk, ia menyadari bahwa tangan dan bajunya berlumuran darah, persis seperti apa yang ia lihat di mimpinya dan lilin yang ia pegang di tangan kirinya berubah menjadi sebilah pisau tajam dilumuri darah segar. Shena makin terkejut dan menjerit, ia melemparkan pisau itu sejauh mungkin.

“Gak! Ini bukan karena gue! Gue gak mungkin ngelakuin ini!” Shena nampak gusar, panik, dan ketakutan. Air matanya terus lolos seperti air terjun. “Gue pasti mimpi! Gue pasti mimpi!!” Shena mencoba menyadarkan dirinya dengan menampar dirinya sendiri sekencang mungkin. Ia tak mungkin melakukan hal sekejam ini! Tapi darah segar di tangannya membuat Shena semakin panik.

“Shena...”

Shena melotot, mencoba menajamkan matanya untuk melihat dalam kegelapan. Mencari tahu siapa yang memanggilnya barusan. Ia takut bila itu orang jahat yang membuat keluarganya tewas.

“Shena...”

Shena spontan menjerit kala sebuah tangan tiba-tiba memegang kakinya. Ternyata itu adalah Niko yang tengah menghadapi akhir hayatnya. “Shen, ini semua.. sa-lah.. lo..” sedetik kemudian Niko mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

“Enggak! Gue gak mungkin—“

“Ini salah lo, Shena...”

“NGGAK!!”

.........

Shena terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Air matanya yang masih mengucur menunjukkan bahwa mimpi itu terasa sangat nyata. Belum lagi keringat yang membasahi dirinya. Shena langsung melihat tangannya, namun tak ada sedikit darah pun di tangan itu. Kemudian ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, barang-barang terlihat berada di tempatnya, tidak seperti dalam mimpinya. Bahkan tak ada pisau atau pecahan beling dan cuaca di luar sangat baik.

Dengan perasaan lega, Shena menyandarkan dirinya di kepala kasur. Ia mengatur napasnya yang masih naik turun tak beraturan. Kemudian setelah dirasa tenang, Shena mengambil beberapa butir obat yang diresepkan Dokter Stefani—psikiater yang selama ini menangani depresinya. Setelah paniknya mereda, Shena turun dari ranjang untuk melihat suasana. Ia dorong jendela untuk terbuka selebar mungkin hingga angin sejuk menerpa wajahnya. Pagi itu langit masih dipeluk oleh mendung. Tangisnya terus menetes, tak peduli jika pagi ini adalah waktu untuk para penghuni bumi memulai aktivitas. Ia menghela napas berat. Baginya, malam bukan waktu yang pas untuk istirahat seperti yang dirasakan orang-orang. Justru ia takut jika harus menghadapi mimpi buruk setiap harinya. Terkadang ia berpikir, rasanya buang-buang waktu dan uang untuk konsultasi kepada dokter Stefani jika hasilnya tetap sama.

Sebelum benar-benar keluar kamar, Shena mengecek tanggal dan hari di ponselnya sebagai pengingat bahwa dua hari lagi ia harus kontrol rutin ke psikiater. “Masih tanggal 12 April.” Gumamnya.

Lihat selengkapnya