Albi Dwirendra, sosok pemuda memiliki medan magnet kuat di bagian wajah dan tubuhnya yang profosional. Kelebihan itu acapkali ia gunakan untuk menggoda perempuan. Meski bisa dibilang buaya darat, Albi tetaplah anak SMA yang rajin dan giat dalam belajar. Setiap malam ia habiskan penuh dengan mengerjakan tugas, mengisi soal, baca buku, dan lainnya. Pagi menuju sore, ia gunakan untuk sekolah sambil mencari kecengan baru. Salah satunya kini adalah Shena Meira. Gadis yang langsung terdengar sampai ke telinganya saat dirinya baru saja menginjakkan kaki di sekolah Ibu Kota.
Albi tidak punya gombalan untuk ia lontarkan. Albi tak punya rayuan maut yang ia gunakan sebagai senjata. Albi hanya memiliki pesona dalam sikapnya yang membuat perempuan manapun terjerat. Perhatian, tatapan, cara berbicara, selera humor, seringkali membuat nyaman siapapun, termasuk keluarganya. Namun, tak satupun yang membuat Albi benar-benar jatuh hati. Bukan mempermainkan, mungkin, pemuda itu hanya menjalin persahabatan. Meski tak sedikit perempuan terbawa perasaan, bahkan ada beberapa yang menuntut kepastian. Bisa dibilang Albi adalah salah satu laki-laki menyebalkan karena dengan semudah itu menarik ulur hati perempuan. Tapi sungguh, Albi tak pernah berniat seperti itu, ia hanya ingin berteman!
Albi terlahir dengan keberuntungan yang membuat siapapun iri padanya. Bagaimana tidak? Ia terlahir dari keluarga yang berada. Secara lugas, Albi terlahir dari pasangan dokter yang memiliki rumah sakit besar di Ibu Kota. Keluarganya yang begitu harmonis, penuh ketentraman, aman, dan damai menjadi point plus di keluarga Albi. Lalu kenapa Albi pindahan dari sekolah yang ada di Jakarta bila ia dan keluarganya asli Jakarta? Begini ceritanya; sejak menginjak jenjang SMP, orang tua Albi memasukkan Albi ke pesantren keluarganya. Hingga menginjak SMA kelas XII, Albi diberikan izin untuk sekolah di Jakarta, yang kelak ia berencana untuk berkuliah di Universitas Indonesia melanjutkan profesi kedua orangtuanya.
Namun meski hidup dengan bahagia, setiap manusia pasti punya masalah masing-masing yang diberikan oleh Tuhan sesuai kemampuannya. Sebab, mustahil ada manusia yang hidup tanpa masalah. Selain untuk melanjutkan pendidikannya, keputusan Albi untuk berada di samping keluarganya, termasuk mamanya—Fanny, karena mamanya menderita kanker otak stadium tiga. Kabar menyedihkan itu baru Albi dengar dari Algifari, sang adik, yang keceplosan kala berbicara dengan Albi melalui telepon. Awalnya Albi marah, merasa dibohongi dengan suatu hal besar yang disembunyikan keluarganya. Namun, dari waktu ke waktu Albi mulai memahami bahwa keluarganya tak ingin Albi khawatir.
Sejak saat itu pula tekad Albi semakin kuat alih-alih terpuruk. Ia ingin membanggakan kedua orang tuanya, terutama Fanny, bahwa ia akan menyelesaikan pendidikan dengan cepat. Meski hal itu mustahil, tapi rasa takut Albi akan kehilangan Fanny membuatnya begitu ambisius. Hebatnya pemuda itu tak pernah menunjukkan kesedihannya kepada siapapun, termasuk papanya—Fattur, dan Algifari. Justru Albi lah yang selalu membuat suasana di rumah mencair saat Fattur dan Algifari terpuruk dengan kenyataan yang menyakitkan. Diam-diam ia mengeluarkan perihnya dengan menangis di kamar mandi seharian sampai ia kembali memaksakan diri untuk tetap tegar. Dibalik sikapnya yang tengil dan ceria, ada penderitaan yang ia kungkung sendirian.
“Pokoknya mama harus sembuh. Albi gak mau nanti ketika Albi mengucapkan sumpah tugas, mama gak ada. Mama harus sembuh.” Ucap Albi sembari mengusap lembut pipi Fanny yang tengah terbaring di atas kasur. Kabarnya Fanny akan menjalani operasi pengangkatan sel di otaknya untuk kesekian kali. Albi tak dapat membayangkan betapa sakit yang dirasakan Fanny akhir-akhir ini.
Fanny tak bisa menahan air matanya, butiran bening itu menetes begitu saja melalui sudut matanya. Makin ia genggam erat tangan Albi yang sudah sedari tadi menggenggamnya. “Doakan yang terbaik. Mama juga gak akan pernah lelah untuk mendoakan yang terbaik buat Albi.”
Dadanya terasa ditekan. Sesak dirasa bersamaan. Namun, Albi mengulas senyum sambil menahan getaran emosinya yang hampir meledak. Ia tak punya keberanian untuk menangis sekencang-kencangnya di depan Fanny. Ia ingin terlihat kuat, agar mama-nya itu juga kuat. “Albi sayang mama.”
Algifari datang, mendekap Fanny dan Albi. “Gifar juga sayang mama.” Sementara Fattur tetap berdiri di belakang sambil menutup mulutnya yang gemetar menahan tangis kala melihat istrinya terkapar lemas. Seandainya ia bisa bernegoisasi dengan Tuhan, ia ingin meminta penyakit itu diberikan untuknya saja, tidak kepada Fanny.
“Mama juga sayang sama kalian.” Balas Fanny dengan suara parau. Ia tersenyum dengan derai air mata yang tak mampu ia bendung.
Kemudian, Fanny dipindahkan dari ruangan menggunakan brankar. Brankar itu didorong oleh beberapa perawat yang sudah siap dengan seragam operasinya. Albi, Algifari, dan Fattur hanya bisa menunggu dengan sejuta harapan untuk kesembuhan Fanny.
Berbeda dengan kehidupan Albi, hidup Shena lebih dramatis. Ia tumbuh di keluarga yang tak baik-baik saja. Hanya terhitung jari momen indah yang ia rasakan. Beberapa kali Shena berusaha mengakhiri hidup, namun Tuhan selalu punya cara untuk membuatnya bertahan. Entah itu ketidakmampuannya untuk benar-benar menghilangkan nyawa atau bayangan ibunya yang memohon padanya. Hingga akhirnya Shena menyerah dan tetap melanjutkan hidup apa adanya. Shena adalah tipikal orang yang tak pernah terang-terangan mengungkapkan emosinya. Ia terbiasa memendam dan meredakan seorang diri tanpa siapapun mengetahuinya. Seperti kejadian pertengkaran antara orang tua, atau antara saudara dan orang tuanya, selepas melerai dan mendapat luka fisik, gadis itu memilih mengurung diri di kamar dan menangis tanpa suara. Setelahnya ia kembali baik-baik saja. Tentu dengan bantuan obat yang Dokter Stefani berikan.
Semua kehancuran ini berawal ketika Monica ditemukan tengah berbincang berdua dengan rekan sekantornya di sebuah kafe. Merasa dikhianati, Pram mengamuk dan menghancurkan apa pun yang ada di dekatnya. Padahal Monica susah payah menjelaskan bahwa ini hanya kesalahpahaman dan mereka saat itu tengah membahas soal pekerjaan. Tak ada hubungan lain antara ia dan rekan kerjanya yang bahkan usianya pun 10 tahun lebih muda dari Monica. Monica diseret paksa untuk pulang ke rumah setelah Pram menghabisi rekan kerja istrinya itu. Shena, Niko, dan Fera, tentu terkejut dengan kehadiran orang tuanya yang tengah beradu mulut. Niko memilih bersembunyi di kamarnya, Fera berusaha melerai dan menenangkan, sementara Shena hanya diam dengan jantung yang berdegup begitu kencang.
Pertengkaran itu adalah pertengkaran paling parah dalam hidup Shena dan saudara-saudaranya. Pram begitu kalap dan menyiksa Monica, tak peduli sang istri sudah tak berdaya untuk melawan. Fera kewalahan, begitu juga Shena yang ikut melerai. Keadaan rumah sangatlah kacau. Cacian, bahasa-bahasa yang tak pantas didengar, pukulan demi pukulan, menjadi momen paling mengerikan di keluarga Shena. Shena menangis, memohon, meraung kepada orang tuanya untuk menghentikan pertengkaran itu.
Fera memilih mundur ketika ia terkena pukulan di kepala oleh Pram. Monica berteriak histeris dan menyalahkan Pram yang kesetanan. “PRAM, CUKUP!! DIA ANAK KITA!!”
“DIA ANAK HARAM YANG LAHIR DARI RAHIMMU!” Pram mengulas senyum kecut, nada bicaranya merendah namun perkataannya sungguh menyayat, “jangan-jangan Fera bukan anakku, tapi hasil perbuatanmu dengan lelaki lain.”
PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipi Pram. Mendengar perkataan itu, Fera benar-benar lenyap dari rumah ini entah berlari ke mana. Yang pasti Shena tahu bahwa kata-kata itu menyakiti Fera. Ia menerima bahwa dirinya memang anak diluar nikah, namun ia tak menerima jika ayahnya sendiri berkata demikian. Lantas keadaan rumah menjadi sangat kacau. Kini hanya Shena yang bertahan untuk membalikan keadaan. Ia tak ingin kedua orang tuanya saling menyakiti.
Pram dengan kasar mengungkit kejadian lalu. Menjadikan senjata untuk melawan elakan dari Monica. Mereka benar-benar tak mau mengalah, pertengkaran terus-menerus berlanjut. Shena yang mendengar itu berusaha untuk menulikan telinganya dan mencegah Pram memukul Monica. Meski beberapa kali ia harus terpukul dan terjatuh hingga mengeluarkan memar dan darah segar. Shena tak peduli. Sampai pada puncaknya, Shena digeret oleh Pram yang sudah seperti orang kesetanan. Pram menyakiti Shena karena menganggap Shena berani mencampuri urusan mereka. Shena mendapatkan luka bakar dari air panas yang disiram oleh Pram sebagai hukumannya dan peringatan kepada Monica agar wanita itu jera, meski caranya sangat salah. Kejadian itu tak akan pernah ia lupakan sama sekali. Hari yang membuatnya hancur berkeping-keping. Hari dimana ia kehilangan Pram sebagai cinta pertama dan sosok ayah untuknya.
Akan tetapi, Shena terkadang kasihan dengan kedua orang tuanya. Meski Pram dan Monica sering bertengkar, tapi Shena tahu ada alasan di balik itu semua. Shena pernah menemukan ayahnya menangis seorang diri di halaman belakang rumah, tepatnya di saung santai. Sembari meneguk alkohol, tetesan air mata itu tak bisa membohongi Shena. Serta ekspresi wajahnya yang membuat Shena yakin bahwa ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Kemudian, ia juga pernah menemukan ibunya menangis sesenggukan di kamar yang tangisnya terdengar sangat memilukan. Waktu itu menunjukkan tengah malam yang sunyi sehingga tangisnya dapat membangunkan Shena dari tidurnya. Shena paham betul, walau mereka tak pernah menceritakan alasan mereka menangis, pasti ada rasa bersalah yang mereka alami. Karena bagaimanapun mereka tetap orang tua yang merasa gagal mendidik dan merawat anak-anaknya. Karena bagaimanapun mereka manusia yang memiliki hati dan perasaan. Meski terkadang Shena menyalahkan mereka mengenai keadaan, tak secara lugas, namun batin yang tak pernah sampai terdengar oleh kedua orang tuanya.