“Nih buat lo.” Fera menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Shena kala Shena menulis di kursi belakang rumahnya. Hari ini Fera pulang dengan cepat tak seperti biasanya.
“Kita udah sepakat, Kak. Simpen aja.” Tolak Shena secara halus.
Fera mendengus jengkel. “Gue cuman pengen bantu lo. Lo belum bayar SPP bulan kemarin sama sekarang, kan? Apa salahnya seorang kakak bantu adiknya?”
“Gue bisa cari sendiri.” Shena menatap ke arah lain, rasanya sakit ketika lama-lama melihat Fera memakai dress mini itu. “Kita udah sepakat dulu, kalau gue gak akan nerima sepeser pun uang dari lo.”
Fera bersedekap tangan, ia kecewa dengan penolakan Shena. “Gue berperan sebagai kakak yang baik, Shen, walaupun kebanyakan buruknya ke lo. Walaupun gue kayak setan, tapi gue juga manusia yang punya sisi baiknya. Di saat nyokap bokap gak mampu bayar, gue berusaha untuk memenuhi kebutuhan adek-adek gue. Dan sekarang lo nolak cuman karena uang ini haram? Dari hasil gue kerja malam?”
Shena menatap ke arah lain, acuh dengan perkataan Fera. “Gue cuman pengen lo berhenti kerja gitu, Kak. Bukan soal uang itu haram atau enggaknya. Gue gak mau lo terus-terusan kerja gak bener. Apa lo gak kasihan sama papa dan mama?” kini ia menatap datar wajah kakaknya itu.
Mendengar itu Fera tersenyum kecut. “Peduli apa mereka sama gue, Shen? Gue kan anak haram. Jadi gue bisa berbuat sesuka gue dong?”
“Ka—”
“Terserah kalau lo gak mau! Peduli apa lo sama gue, hah? Lo gak berhak ngatur-ngatur hidup gue! Lo gak punya hak, Shen! Mau gue kerja gimanapun, itu urusan gue! Kalau lo gak mau nerima, yaudah, gak perlu suruh gue berhenti dari pekerjaan ini!”
Shena menundukkan kepalanya, saat itu juga satu tetes air matanya lolos dan mendarat di buku catatan yang terbuka. Shena menggenggam erat pulpennya untuk menyalurkan rasa sakit di dadanya. Pengap rasanya menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Penderitaan yang Fera rasakan juga tak mampu disembunyikan gadis itu. Ia tahu, Fera berusaha untuk menghalau keadaan. Fera sedang berusaha menutupi rasa sakitnya. Meski jalannya salah, Fera berusaha untuk baik-baik saja dengan sikap arogan dan keras kepalanya. Fera berusaha peduli pada Shena, namun Shena menolak bukan karena tak menerima perhatian Fera. Ia hanya ingin Fera berhenti dan berubah. Masih ada jalan baik yang bisa Fera tempuh tanpa merusak tubuhnya dan masa depannya.
Masih dengan tangis yang terdengar pelan, Shena merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Dengan mata yang rabun karena terhalang oleh air mata, Shena mengetikkan sesuatu kepada Monica yang entah ada dimana sejak pagi.
Shena : Ma, jangan pulang kemaleman. Shena khawatir.
.............
Di hari HUT SMA ini adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa. Sebab KBM diliburkan diganti dengan berbagai kegiatan menyenangkan seharian penuh. Seperti pergelaran tari tradisional yang biasa ditempatkan di awal acara. Kemudian pementasan drama dari ekstrakulikuler teater sastra. Dilanjutkan dengan ekstrakulikuler musik dengan berbagai penampilan solo maupun duet, paling serunya adalah pihak sekolah dibantu OSIS mengundang grup band untuk memeriahkan acara. Dan kegiatan-kegiatan lain yang membuat siswa antusias mengikuti sampai akhir. Tak lupa stand-stand disediakan untuk eskul yang ingin berpartisipasi, juga setiap kelas yang ingin menjajakan dagangannya. Acara itu dibuat sekreatif dan semeriah mungkin agar kelak menjadi bahan cerita bahwa HUT yang ke 25 ini menjadi HUT paling meriah.
Shena Meira, si seniman misterius ini menjadi salah satu siswi yang memeriahkan acara. Dengan gaya khasnya—jaket levis denim dengan celana jeans robek bagian lutut, serta gitar hitam bergambar tengkorak dan tempelan stiker lain—membuat sorak-sorakan penonton saling bersahutan. Seakan Shena adalah bintang paling ditunggu kehadirannya.
Shena tersenyum di atas panggung, kemudian ia duduk di kursi yang disediakan panitia. Sebelum memulai pertunjukkannya, Shena menyapu lautan siswa-siswi yang menunggunya untuk membawakan sebuah puisi menyayat hati. Ya, selain bernyanyi, Shena acapkali membawakan puisi-puisi yang mampu mengobrak-abrik emosi pendengarnya. Puisi yang sebenarnya adalah kisah hidupnya yang tak diketahui oleh kebanyakan orang. Puisi yang mewakili isi hatinya, media untuk mengungkapkan rasa sakitnya selama ini.
Ma, pa, seandainya kalian lihat. Seandainya kalian punya senyuman yang sama seperti mereka kala menyaksikan Shena duduk di atas panggung ini, mungkin Shena akan menjadi manusia paling bahagia di muka bumi.
Shena memainkan senar gitar seirama dengan puisi pilu yang ia bawa. Matanya memejam, mencoba meresapi setiap kata yang ia hafal di luar kepala. Ia merefleksi diri mencoba menjadi bagian dari puisi yang ia bawa. Mengundang seluruh penonton untuk terlibat di dalamnya, mempermainkan emosi mereka untuk ikut dalam pilu yang menyakitkan.
Detik demi detik pertama Shena masih memainkan senarnya, membuat semua orang bertanya-tanya perihal puisi apa yang akan dibawakannya. Hingga satu kata keluar dari mulutnya, masih dengan mata terpejam, Shena dapat merasakan desakkan di dadanya. Ia hancur lebur, seirama dengan puisi penuh luka dan retakannya. Puisi bertema kehidupan penuh duri ia suguhkan di hari bahagia ini. Bukankah setiap bahagia selalu ada luka setelahnya? Shena mencoba melengkapi emosi dunia yang seharusnya ada. Supaya semesta menjadi seimbang dan setiap manusia tidak terlalu larut dalam bahagia hingga lupa dengan kenyataan pahit hidupnya.
Di antara ratusan siswa-siswi yang menonton, Albi dengan beberapa temannya menerobos ke bagian tengah barisan. Dari napasnya yang ngos-ngosan menunjukkan bahwa Albi terburu-buru datang kemari untuk menonton pertunjukkan Shena. Tanpa ia sadari senyum terulas ketika melihat Shena dengan lihainya memainkan melodi gitar yang menurutnya sulit itu. Selain cantik dan menurutnya berbeda dari gadis lain, Shena memiliki magnet kuat dari kelebihannya. Albi tak menampik bahwa ia menyukai gadis itu, bukan berarti ia jatuh hati. Akankah Shena jadi korban PHP Albi selanjutnya? Hanya Albi dan Tuhan yang tahu.
Suara karsa pada senyap-senyap rasa
Menelusup masuk ke dalam kepala
Meramaikan suasana sunyi
Mengukir pening tak terkira sampai terasa sakit sekali
Aku terpekur pada takdir yang begitu gila