Hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya adalah menonton kebahagiaan yang mustahil ia dapatkan. Sudah sejak 10 menit yang lalu Shena berdiri dengan mata tertuju pada meja nomor 9 yang diduduki oleh 3 orang; sepasang suami istri dan gadis kecil yang Shena perkirakan berusia 12 tahun. Tangannya terus memainkan serbet tanpa beranjak sedikitpun dari tempatnya. Hatinya mendadak remuk tak beraturan, tersayat-sayat kala mengingat bahwa kehidupannya begitu tragis. Rasanya perih sekali menjalani kehidupan yang lika-likunya dipenuhi duri tajam. Apalagi ketika ia tak bisa bertindak apapun untuk menyelamatkan diri sendiri. Hatinya terlalu lemah untuk sekedar memberontak dan keluar mencari jalan aman.
Keluarga kecil itu terus cekikikan sambil santap makanan yang sudah dipesan. Sesekali sang ayah mengusap lembut nan penuh kasih sayang anak gadisnya disusul sang ibu yang mencubit gemas pipi anaknya. Shena merunduk, ia sudah tak tahan bila berlama-lama memandang momen yang tak pernah ia dapatkan. Ia berbalik, menghela napas dalam sebelum akhirnya ia melanjutkan pekerjaannya sebagai waitress. Menggunakan apron berwarna coklat dengan logo tepat di tengah saku besar apron, Shena meneteng serbet untuk membersihkan meja kosong di sela waktunya. Kemudian ia mengambil beberapa gelas kopi dan piring untuk diantar ke karyawan bagian dapur.
“Gak ngedate, Shen? Malam minggu nih.” Goda seorang gadis berambut ikal yang diikat di balik bar. Namanya Syakira, rekan kerja Shena sejak 1 tahun terakhir. Syakira terbilang karyawan baru daripada Shena yang sudah bekerja 3 tahun yang lalu.
Shena yang baru saja kembali dari dapur menoleh pada Syakira yang bekerja sebagai barista kopi. “Gue gak ada waktu buat cinta-cintaan.” Balasnya, kemudian melenggang.
“Jangan kelamaan jomblo, ntar lo jadi perawan tua!” seru Syakira setengah berteriak. Mendengar itu Shena tersenyum kecil, lalu ia melanjutkan pekerjaannya yang kini ia membawa pesanan makanan menuju meja nomor 13.
........
Jam 11 malam seharusnya bagi seorang siswa SMA adalah waktunya istirahat. Tapi tidak untuk Shena yang baru saja keluar dari tempat ia bekerja. Jalanan mulai sepi pengendara, hanya menyisakan beberapa lalu lalang kendaraan saja. Pedagang kaki lima pun telah menutup kedai mereka dan bersiap pulang. Di jalanan hanya ada beberapa anak muda yang sengaja menghabiskan waktu mereka untuk berbincang sampai tengah malam. Shena melangkah dengan malas menuju pelataran parkir khusus karyawan. Jujur ia tak ingin pulang. Jika bisa ia ingin berlama-lama di sini tanpa harus kembali ke nerakanya. Namun apa daya, mau tak mau Shena harus pulang ke rumah.
Melalui jalanan lenggang hanya membutuhkan waktu 20 menit dari biasanya. Shena sedikit bernapas lega karena malam hari ia tak perlu susah payah berada di antara kemacetan yang membuat jengkel. Baru saja ia menginjakkan kaki di halaman rumah kala motornya belum sempat ia standarkan, sayup-sayup Shena mendengar suara pertengkaran dari dalam rumah. Ia juga melihat mobil Xpander hitam terparkir di depannya menandakan bahwa ayahnya—setelah sekian lama—baru pulang ke rumah.
Shena merunduk, menghela napas lelah hingga terdengar pasrah. Gadis itu benar-benar jengah terhadap ketegangan yang menggoyahkan pertahanan. Ia sebenarnya bisa saja pergi saat itu juga. Namun sudah disinggung di atas, bahwa hatinya terlalu lemah untuk menjadi pemberontak. Shena yang begitu menyayangi keluarganya turun dari motor dan masuk ke dalam rumah untuk melakukan apa yang selalu ia lakukan, melerai pertengkaran. Meski konsekuensinya ia akan terpukul dan terserang panik, Shena tak peduli. Yang terpenting pertengkaran usai dan tak ada yang terluka terlalu parah.
Baru saja menyentuh kenop pintu, tangan Shena sudah gemetar setengah mati. Matanya memanas, namun Shena berusaha menahan air matanya untuk tidak menerobos keluar. Gadis itu bahkan berulang kali mengatur napas agar tenang. Ia sangat takut, kejadian ini mengingatkannya pada sederet pertengkaran yang membuatnya begitu trauma. Lalu beberapa saat kemudian terdengar jerit memilukan dari ibunya yang disahuti oleh ayahnya. Dengan degup jantung yang tak beraturan, Shena mendorong pintu mengabaikan kepanikan yang sudah memuncak dalam dirinya.
Shena melotot kaget begitu sampai di tempat mereka bertengkar. Kala sebilah pisau ditodongkan tepat di dada Monica oleh Pram. Tanpa berpikir dua kali, Shena langsung mendorong Pram sampai terjerembab ke dinding. Lantas dipeluknya sang ibunda, disembunyikan di balik tubuhnya kala ia menghadap Pram dengan tatapan penuh permohonan.
“Pa, sudah, Shena mohon.” Lirihnya dengan suara tercekat. Di kala panik seperti ini disertai rasa takut yang menguasai, jangankan suara, tenaganya saja hampir terkikis habis.
Mata merah, hembusan napas berbau alkohol, menjadi bukti bahwa Pram pulang dalam keadaan mabuk. Parahnya ia mencaci maki bahkan hendak menikam Monica dengan pisau. Shena dapat merasakan gemetarnya tangan Monica, ketakutan itu menular padanya. Namun Shena berusaha menghalau dan membujuk ayahnya untuk berhenti.
“Awas kamu! Sudah berapa kali saya bilang jangan pernah ikut campur urusan orangtua! Bahkan saudara kamu gak pernah ikut andil lagi!” semprot Pram. Ia mencoba menjauhkan Shena, tapi pertahanan gadis itu kuat dan kian memegang Monica agar tetap berada dalam perlindungannya.
“Shena gak mau papa atau mama terluka. Bisa kan semua masalah diselesaikan dengan baik-baik tanpa adanya kekerasan?” lolos sudah, Shena tak mampu membendung air matanya. Dadanya seakan ditimpa sebuah godam besar yang membuat pertahanannya runtuh. Shena tak mampu mengontrol ketakutan dan kepanikan dalam dirinya.
“Apa perselingkuhan bisa dibicarakan baik-baik, hah?!” Pram semakin meninggikan intonasi bicaranya. Membuat Shena dan Monica terhenyak kaget.
Monica tak tinggal diam, ia menyahuti perkataan Pram dengan berkilah bahwa ia tak melakukannya. “Bukannya kamu yang tukang selingkuh, Pram?! Kamu pulang karena kamu kehabisan uang, kan?!”
Shena memejamkan mata, mengumpat kenapa ibunya mesti memancing kembali emosi Pram dengan argumen itu?
Pram kembali menjauhkan Shena dengan mata melotot tajam tertuju pada Monica. Lagi dan lagi Shena mempertahankan posisinya sekuat tenaga dengan melawan tenaga Pram yang jauh lebih kuat darinya. Ia hanya ingin melindungi ibunya dan membuat Pram menyerah agar tidak melakukan kekerasan lebih jauh meski pisau itu masih berada di genggamannya. Dan kini pisau itu teracung pada tubuh Shena.
“Bilang apa kamu barusan, hah?!” Pram menatap jengkel Shena yang masih saja menghalangi. “Awas kamu! Atau saya tusuk!”
Mendengar itu sebenarnya sudah sukses membuat dirinya hancur. Seorang ayah yang selalu ia sayangi berani berkata seperti itu tanpa tedeng aling-aling. Meski dikuasai oleh pengaruh minuman beralkohol, tapi tetap saja perkataan itu menusuk hatinya.
“Shena gak mau, Shena gak mau papa nyakitin mama.” Rintihnya dengan air mata yang tak berhenti.
“Kamu jangan jadi anak durhaka yang membangkang sama orangtua! Awas!” kini Shena tak mampu mengeluarkan tenaga extra lagi untuk mempertahankan posisi. Ia terhempas dan kepalanya mengenai ujung meja. Yang kemudian membuat kepalanya mengeluarkan darah segar disusul rasa pening yang luar biasa.
Monica menjerit ketika rambutnya dijengut oleh Pram sampai Monica menengadah. Pram terus saja meneriakan kata-kata kasar yang tak enak didengar. Dengan sisa tenaganya, Shena berjalan tergopoh dan menjauhkan Pram dari Monica dengan kata permohonan. Namun Pram kalap, emosi telah menguasai dirinya, rasa cemburu karena Monica terpergok bersama lelaki lain di luar rumah membuat amarahnya terbakar. Padahal bila ditelisik Monica hanya berbincang sewajarnya tanpa melakukan apapun di luar batas. Hingga tanpa Pram sadari pisau yang ia genggam mengenai tangan Shena kala Shena berusaha menarik tangan Pram yang lagi-lagi menodongkan pisau ke Monica. Monica dan Pram terkesiap, begitu juga Shena yang langsung menatap tangannya yang mengeluarkan banyak darah. Sedetik kemudian gadis itu jatuh tak sadarkan diri di lantai.
............
“Mama!” jerit Shena dengan napas tersenggal kala ia terbangun dari tidurnya.
Monica yang sedari tadi menunggu Shena sadar langsung menghambur dalam pelukan. Wanita yang usianya kini menginjak kepala empat itu menangis di bahu Shena. Meracaukan kata maaf yang memancing Shena untuk ikut menangis.
“Maafin mama, nak. Maaf. Gara-gara mama, kamu berakhir di sini lagi.” Rintih Monica tanpa melepas pelukan.
Ya, rumah sakit adalah tempat yang paling sering Shena kunjungi untuk menyembuhkan luka-luka yang ia dapatkan dari pertengkaran orangtuanya. Tempat yang sangat Shena benci itu selalu menjadi tempat pertama yang ia lihat kala ia sadar dari tidurnya. Entah sudah berapa banyak luka yang Shena dapatkan, dan entah berapa banyak rasa sakit di batin yang perlahan menguras habis akal sehatnya. Shena hampir gila oleh keadaan jika saja ia tidak berusaha bertahan dan mencari jalan keluar.
“Sakit, ma.” Desis Shena kala pelukan Monica begitu erat hingga menekan tangannya yang terluka.
Monica segera melerai pelukan dan mengusap wajah anaknya dengan sendu. “Kenapa kamu selalu berusaha melindungi kami? Padahal kami berdua menyakiti kamu, nak.” Suara parau Monica lagi-lagi menyayat hati Shena. Shena lebih baik mendengarnya marah-marah atau tidak bicara sama sekali daripada mendengar suara itu.
“Shena gak mau mama dan papa saling melukai. Setiap masalah bisa kalian bicarakan baik-baik, kan, ma?”
Monica tertunduk menangis, ia merasa menjadi orangtua yang gagal untuk melindungi anaknya. Ego telah menguasai diri dan akal sehatnya, sehingga ia lupa bahwa anak-anaknya telah menjadi korban dari emosinya dan Pram.
Shena meraih tangan kusut itu untuk ia genggam, “Shena cuman mau mama sama papa berdamai seperti dulu, pada masa yang mungkin hampir Shena lupakan. Shena gak mau kalian terus bertengkar.” Monica memilih menarik Shena dalam pelukan alih-alih memberi harapan kepada Shena yang belum tentu bisa ia wujudkan.
“Jangan khawatir, nak. Papa sudah pergi, kita hanya bisa berharap semoga papa gak pernah kembali lagi.” Ujarnya yang lantas membuat tangis Shena pecah. Ia tak mengharapkan jawaban ini, tapi ia tak bisa melakukan apapun lagi.
.........
Hidup kita sudah diatur Tuhan. Namun manusia sangat suka sekali mengandaikan hal yang tidak ia punya, alih-alih bersyukur dengan sesuatu yang dimilikinya. Untuk bagian mensyukuri, apa kehidupan kejam yang Shena alami patut ia syukuri? Kehidupan yang membuatnya mati berdiri, apa patut ia syukuri?
Kedua mata itu kembali terbuka setelah beberapa jam istirahat untuk memulihkan daya tahan tubuhnya. Shena masih di rumah sakit dan ruangan yang sama. Ia belum diperbolehkan pulang karena kondisinya belum memulih. Entah sudah berapa lama ia terpejam, yang pasti Monica sudah tak lagi di sampingnya. Saat menyusuri ruangan dengan matanya, Shena menemukan Niko yang asik memainkan ponselnya tanpa menyadari bahwa Shena memerhatikan dengan raut keheranan. Kenapa dia ada di sini?
“Ko, mama mana?” suaranya seperti hampir habis. Mungkin karena sebelumnya ia menangis.
Niko masih berkutat pada ponselnya, ia pun menjawab sekenanya. “Keluar beli makan.”
“Kok lo di sini? Ngapain?”
“Jagain lo lah. Terus gue ngapain di sini kalau gak jagain lo?”
Ada haru dalam hati Shena begitu mendengar jawaban Niko. Momen yang sangat langka ia dapatkan dari saudaranya. “Makasih.” Singkatnya, tak seperti hatinya yang berbunga. Sesederhana itu kebahagiaan Shena, sebab gadis itu jarang sekali mendapatkannya.