DELUSI

Kharisma A.
Chapter #2

#2 Halo, dengan Hansini?

Semesta tidak melulu mempersoalkan wanita. Tidak pula selalu menjabarkan pengertian cinta. Tapi, sempat aku bertanya, kapankah massaku tiba? Kapankah aku mempermasalahkan cinta, memperdebatkan perihal wanita.

Muskaan. 21.59.

Malam semakin tinggi. Kantor tempat Muskaan bekerja sudah hampir sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih melanjutkan aktivitasnya. Pak Bo yang biasanya bertugas menerima laporan dari pemohon di lantai satu sekarang sedang sibuk menggoreng nasi di dapur umum. Anna yang biasanya mengurus penugasan karyawan sekarang malah sibuk menonton televisi sambil berbincang-bincang dengan kekasihnya via telepon. Rudi, anak magang yang biasanya selalu teraniaya itu, kini tengah menghabiskan waktunya bermimpi di atas sofa kantor yang baru saja dibeli oleh atasan pagi tadi. Sementara di sebelah Muskaan, seorang wanita yang masih termenung memandangi jendela dan mengintip keadaan di luar adalah wanita yang sangat Muskaan kenali. Laiba adalah seorang wanita berusia 30 tahun, seusia dengan Muskaan. Laiba adalah teman sekaligus rekan kerja Muskaan. Mereka sering ditempatkan pada satu penugasan yang sama. Bahkan mereka dulu pernah satu SMA dan satu Universitas walau dengan jurusan yang berbeda.

“Lai?” Muskaan memulai perbincangan.

“Heemmm?” Laiba menjawab.

“Kamu kenapa? Belum mau pulang?”

“Nggak ah Mus. Kayaknya aku mau bermalam di kantor aja, lagian Anna juga lembur malam ini, aku ada temennya. Pak Bo, Rudi dan divisi tiga juga akan rapat TKP entar malam. Malas kalau mau bolak balik, mending disini aja.”

“Mau makan dulu nggak. Makan yuk? Entar kalau udah selesai makan aku antar lagi ke kantor.”

“Malas Mus. Aku lagi nungguin nasi gorengnya Pak Bo aja.” Laiba tersenyum tipis.

“Yakin?”

“Iya. Eh, kamu kenapa belum pulang?” Muskaan diam sejenak dan berkata dengan hati-hati.

“Hansini, Lai.” pungkasnya.

“Kamu masih ngurusin tuh kasus?”

“Iya. Malah semakin dalam. Aku penasaran sama tuh anak, Lai.”

“Jangan bilang kamu suka sama tuh bocah?”

“Ngarang.” Muskaan memalingkan wajahnya.

“Lah terus, kenapa kamu mikirin dia sampai capek kayak gini?”

“Lusa aku mau nemuin dia.” Laiba terdiam, tak menyambut pernyataan Muskaan. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Muskaan mendongak ke atas, menatap langit-langit kantor yang sedikit temaram oleh lampu yang sebagian diredupkan. Sementara Laiba kembali menatap jendela, menarik napas cukup dalam dan memejamkan mata sekejap.

Lihat selengkapnya