Dhiajeng Kaluna, gadis Jawa dengan rambut sehitam malam dan mata sebening embun pagi, tengah berdiri di tepi danau yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa serta aroma melati yang semerbak, mengelus lembut pipinya. Ia tengah larut dalam khayalan, membayangkan kisah cinta yang indah seperti dalam novel-novel roman kesukaannya.
Semua temanku sudah sibuk dengan kehidupan mereka dan pasangan masing-masing tapi aku masih sibuk dengan mengurus diri sendiri dan orang tuaku. Kapan aku bisa memiliki pasanganku sendiri tanpa harus terbebani dengan kemauan orang tua, batin Luna mulai bergejolak.
Tiba-tiba, suara dedaunan bergeser memecah kesunyian. Sosok tinggi besar dengan rambut lurus dan rahang tegas khas Batak dan kulit putih bersih menampakkan diri. Lelaki itu tersenyum ramah, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang berkilau.
"Permisi, Kak. Bolehkah saya duduk di sini?" tanyanya dengan logat Batak yang terdengar begitu khas.
Luna mengangguk, hatinya berdebar kencang. "Tentu saja," jawabnya lembut namun begitu ia melihat wajah itu, ia terdiam. Celdric tak pernah menyapa sama sekali, mereka bergereja ditempat yang sama namun kedekatan mereka hanya sebatas tegur sapa sesama jemaat saja.
Lelaki itu terkenal di gereja, Celdric Sihombing, anak seorang pendeta di gereja tersebut. Namun ia terkenal bukan karena jabatan ayahnya melainkan ia begitu ramah terhadap semua orang. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Luna, si kanebo kering. Mereka pun terlibat dalam percakapan yang mengalir begitu saja, seakan telah mengenal satu sama lain sejak lama.
"Sudah panjang lebar kita ngobrol tapi saya belum tahu nama kakak?" tanya Celdric dengan gaya canda khasnya. Perawakan lelaki Batak di hadapan Luna berbeda dengan pemuda Batak lainnya yang Luna kenal.
Luna terdiam sesaat, senyum Celdric bagaikan mentari pagi yang menghangatkan jiwa membuat bibir tipis itu tak dapat berkata-kata sesaat.
"Kakak?"
Suara itu memecahkan lamunan Luna, "panggil saja saya, Luna." Jawaban terburu-buru itu disambut Celdric dengan anggukkan setuju. Senyum simpul merekah diantara keduanya. Mereka hanya melempar senyum satu sama lain, tanpa kata terucap.
Hari berganti begitu cepat dan tak terasa senja sudah mengubah warna cakrawala, mereka berpisah begitu saja namun Luna berharap pertemuan itu tak menjadi akhir kalau boleh menjadi awal pertemuan selanjutnya. Luna membalikkan badannya berharap Celdric juga membalikkan badan dan melambaikan tangan ke arahnya namun harapan itu sirna karena Celdric terus melangkahkan kakinya menjauhi Luna.
Luna membalikkan badannya seraya menghela napas panjang nan berat, seharusnya aku tak berharap banyak kepada laki-laki yang baru aku ngobrol tak sampai satu hari itu.
***