Aku memperhatikan boots-ku yang penuh lumpur kering. Lalu tersenyum, membuka pintu jati berukir yang lebar sisi kanannya saja sudah dua meter. Bila dikali dua dengan daun pintu satu lagi berjumlah empat meter. Rumah papaku memang sudah bagai istana. Lantai marmer berwarna khaki dengan motif abstrak yang mengilap, lampu kristal, furnitur ratusan juta. Aku sangat puas sekali, bisa memasuki rumah itu dengan sepatu boots-ku. Kugesek-gesek sepatuku sehingga pecahan lumpur kering mengotori lantai yang mengilat.
Mbak Saripah asisten rumah tangga Papa hanya terkesiap memandangiku dari bawah sampai atas. Mungkin sebelumnya ia mau marah, sedang membersihkan lantai, tiba-tiba ada lumpur yang mengotori.
"Neng ... Neng Ody ..." imbuhnya terbata.
Aku menyimpan telunjuk di bibir. Lalu, tertawa terbahak melihat wajahnya yang tak dapat kudefinisikan.
"Ody?" suara bas Papa menghentikan tawaku. Aku memandangi pria yang hampir tiga bulan tidak kutemui itu. Ia sedang berdiri di atas anak tangga kesekian dari tangga berbentuk ularnya. Kusimpan ransel seberat sepuluh kilo di kakiku. Lalu membentangkan tangan, siapa tahu lelaki gagah dengan rambut yang mulai beruban itu mau memelukku. Tidak ada salahnya mencoba adegan di film-film. Siapa tahu bisa merajut kemesraan ayah dan anak yang sudah padam puluhan purnama. Namun, seperti yang sudah kuduga. Alih-alih memelukku, Papa lebih suka menggenggam sikutku, lalu menyeretku memasuki ruangan kerjanya. Mendudukkanku di sofanya. Ia mengambil sekaleng minuman dingin dari mini bar, dan menaruhnya di atas meja.
"Dari mana saja kamu?"
"Kamu enggak jadi kuliah?"
"Kenapa dandananmu sembrono begini?"
"Naik gunung lagi? Sama siapa?"
"Di sana sama siapa?"
"Naik gunung sendiri? Mama tahu?"
Bukannya duduk, ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir di depanku sambil mengenakan kimono tidurnya, padahal ini sudah pukul 10 pagi.
Aku tertawa terbahak-bahak. "Papa ... Papa, minum dulu gih! Nanya kok enggak pake titik koma." Aku mengangsurkan minuman kaleng yang tadi disediakannya untukku.
"Ody ..." imbuhnya lebih tenang dari sebelumnya. "Kamu tidak sekolah? Sebentar lagi kan kelulusan, kamu tidak mau kuliah? Mau jadi apa kamu nanti? Sampai kapan mau hidup luntang-lantung seperti ini? Tidak ada masa depan!"
Kenapa baru peduli dengan masa depanku sekarang? Bukan dulu ketika aku membutuhkan.
Aku menatap Papa nanar. "Tenang aja, Pa. Ody bisa hidup sendiri kok. Tanpa uang Papa dan Mama juga, Ody masih bisa makan, bisa menikmati hidup. Hahahahah." Aku menjawab dengan enteng sambil terbahak memegangi perut. Memang apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Aku bisa kerja serabutan untuk hanya mendapatkan sepiring nasi. Jadi buruh cuci di tenda pinggir jalan yang ramai pada saat weekend, atau membantu pak tani dan peternak bila mau naik gunung. Mereka tidak memberikanku uang, tetapi biasanya memberikanku bekal hingga bisa sampai puncak.
"Kamu enggak takut ada orang yang melukaimu? Memperkosa, atau apa?"
Aku mengernyitkan dahi.
"Oke, Ody. Kamu memang atlet taekwondo. Tapi kan tetap akan ada orang yang lebih hebat dan lebih kuat dari kamu."