Bandung Kota ….
Banyak orang memuji kota kelahiran juga kota tempat aku dibesarkan ini. Meski bagiku Bandung ya hanya begini saja. Hanya sebuah kota tempat orang-orang melangsungkan hidup. Ada yang bekerja keras tak kenal henti seperti Mama. Bandung terkenal sebagai kota kuliner, sangat cocok dengan profesi Mama. Seorang koki lulusan akademi pariwisata paling terkenal di kota ini. Berhasil merangkak dari nol untuk membesarkan bisnisnya. Franchise-nya menjamur di mana-mana bahkan sampai keluar kota. Bukan hanya satu jenis, tetapi beberapa. Makanan dari konsep kaki lima hingga bintang lima dilakoni. Ia begitu gigih. Kerja, kerja, kerja.
Papa katanya merasa terabaikan dengan segala kesibukan Mama. Di usiaku yang kesepuluh Papa ketahuan selingkuh. Mama marah karena Papa menusuknya dari belakang padahal selama ini Mama yang memberikan modal dalam pencarian jati dirinya. Musisi nyentrik dengan segudang ide.
Pertengkaran mereka membuatku terguncang. Mereka akhirnya berpisah, katanya demi aku. Ah, mereka sok tahu, bagaimana mereka bisa memutuskan bahwa hal terbaik untukku adalah perpisahan mereka.
Aku semasa kecil, mengenakan baju putri yang sering menjadi kecemburuan orang-orang, berambut yang tersisir rapi, sepatu dengan sol yang kuat dan nyaman, tas bermerek, alat tulis lucu-lucu yang membuat mata teman-temanku membulat takjub ketika melihatnya. Aku yang katanya memiliki hidup sempurna. Akan tetapi, benarkah hidupku sempurna? Tidak. Aku selalu pulang dalam keadaan rumah sepi. Sejujurnya kami hanya memolesnya biar terlihat cantik dari luar.
Saat itu, hanya seorang wanita berusia kepala tiga yang menyambutku. Menghiburku, membacakan cerita, menyisiri, menyuapi, bahkan memandikan. Bagiku yang kesepian, kehadirannya cukup menjadi angin segar. Dia adalah sumber kasih sayang yang tak kudapatkan dari kedua orang tua. Hari-hariku tak bisa lepas darinya. Pagi mencarinya, sepulang sekolah mencarinya, bahkan malam harus ditemani tidur olehnya.
Akan tetapi, suatu hari aku harus menerima kepergiannya.
Mbak Risma tersenyum, memanggilku dengan mengayunkan tangan kanannya. "Ody!" Seorang perempuan muda dengan pakaian yang sama dengannya mendekati. Pakaian setelan atas-bawah yang biasa digunakan baby sitter, berwarna biru langit.
"Ini Mbak Nana. Mulai besok, Mbak Nana akan menemani Neng Ody," jelasnya tersenyum.
Aku meraih tangan Mbak Risma, "Asyik! Rumah tambah ramai." Aku melompat. Seketika kulihat matanya berkaca-kaca. Ia menggeleng.
"Maaf, Ody. Mbak Risma enggak bisa nemenin Ody lagi. Minggu depan, Mbak mau nikah."
Aku hanya memandanginya dengan mata yang membulat dan berair. Kata orang-orang menikah itu kebahagiaan, tetapi aku tidak yakin. Mama dan Papaku tidak bahagia menikah. Mama selalu bertengkar dengan Papa. Bahkan untuk hal sepele seperti handuk basah yang ditaruh di atas ranjang, keset yang terlipat, barang yang disimpan sembarangan. Mama memang paling cerewet bila menyangkut kebersihan dan kerapian. Ia sangat pekerja keras, baik di rumah atau di tempat kerja. Entah apa makanannya.
Setelah mereka bercerai, Mama lebih bahagia. Tidak sering mengomel. Papa ternyata menjadi lebih sukses dalam kariernya. Lagu ciptaannya beberapa kali masuk dalam sepuluh tangga lagu teratas, ia menjadi milyuner dalam waktu singkat.
"Mbak Risma mau nikah? Hati-hati, ya," ungkapku prihatin.