Demi Allah dan Waktu yang Berjalan

Diba Tesi Zalziyati
Chapter #4

Kalau Boleh

Aku menyukai taekwondo semenjak mengenakan seragam putih biru. Aku teringat dulu salah seorang senior yang mengajak. Ia mengatakan aku memiliki bakat, ia melihatnya ketika di pekan olahraga, aku bermain tarik tambang bersama teman-temanku. Kami menang, karena aku tak pernah beranjak dari tempat berdiri, tidak terseret sama sekali, dan bahkan menyeret orang-orang dengan gerakan sempurna. 

"Meski belum pernah bela diri, tetapi kamu sudah bisa kuda-kuda. Belajarlah bela diri, agar energimu yang berlebih itu bisa disalurkan," ucapnya. Aku ikut saja, sebagai siswa yang tidak punya tujuan. 

Jujur, memang benar hidupku tak ada tujuan. Aku bangun pagi, mandi, makan, sekolah, pulang, makan, tidur, dan seperti itu seterusnya. Membosankan. Taekwondo kemudian mewarnai hari-hariku. 

Aku mengenakan dobok–seragam taekwondo–berwarna putih dengan bentuk kimono, juga celana panjang lebar dan ikat pinggang berwarna putih. 

"Chariot!!" Aba-aba dari sabeum kami menggema. Kami berdiri tegak, kemudian memasang kuda-kuda di atas lantai yang terbuat dari ubin. 

Aku menyukai olahraga ini karena semua energi negatif-ku bisa ikut pergi bersama dengan teriakan, tendangan, dan pukulan. Yang pasti, aku tidak merasa kebosanan dalam hidup. Teman-teman dari klub ini pun tidak ada yang rewel, mereka tidak ingin tahu mengenali perasaan atau urusanku. Mereka sportif. Aku bisa ikut kegiatan-kegiatan mereka tanpa harus dipaksa untuk curhat seperti perkumpulan lainnya dengan alih-alih demi kekompakan. 

Bukannya aku tak suka hubungan pertemanan yang mendalam. Akan tetapi, aku pun tidak tahu begitu malas menceritakan segala perasaan yang tertimbun dalam hati. Mungkin karena isinya hanyalah hal yang absurd? 

Pastinya, aku tak suka kegiatan-kegiatan penuh introspeksi, dan lainnya. Aku ingin menjalani hidup apa adanya, tanpa harus memikirkan motif di balik sesuatu. Aku ingin langkahku ringan, malah, aku bahkan tak ingin terlihat. Kalau bisa. Apalagi bila di depan Mama. 

“Kamu habis ngapain semalam?! Kenapa masih tidur jam segini?” Perempuan dengan baju terusan berwarna hitam itu berkacak pinggang di samping ranjang. Aku yang masih tidur sambil telungkup membuka mata, memandangnya secara terbalik, kepalanya di bawah, dan kakinya di atas. Segera kutarik selimut. 

“Bangun! Anak gadis jam segini baru bangun? Ayo cepat mandi! Kamu Gak sekolah?! Mama sudah lobby kepala sekolah kamu supaya kamu bisa lanjut sekolah, kamu malah tidur!” Mama menarik tubuhku, sehingga sekarang terduduk di pinggir ranjang, dengan malas kubuka mata, kulihat wajah Mama yang sudah full make-up. Kulirik jam duduk di atas nakas, masih pukul 06.30. Aku terbangun lebih cepat lima jam. Lalu menguap, bosan. 

Mama membongkar lemariku, mengeluarkan seragam dari sana. “Ayo cepat!” Ia menyimpannya di atas sofa kamar, lalu kembali berkacak pinggang. Tubuhnya masih langsing seperti ketika masih gadis dulu. Aku pernah melihatnya di album foto. Ibuku yang cantik dengan rambut panjang diikat buntut kuda. Berfoto menggunakan uwagi, pakaian putih lengan panjang yang digunakan untuk berlatih aikido dengan latar sebuah aula sasana olahraga. 

Ya, meski aku tak suka ibuku, tetapi ternyata aku mengambil jalan yang sama dengannya. Ia juga pernah ikut beberapa perlombaan, meski belum pernah mengikuti kejuaraan. Ya, masih lebih baik dariku. Aku malah hanya beberapa kali bertanding, lalu tidak pernah diberikan kesempatan lagi karena pada satu pertandingan, aku terlalu emosi. Sabeum, pelatihku mengatakan akan memberikan kesempatan kedua padaku apabila aku sudah bisa mengendalikan diri. Nyatanya aku tak pernah bisa. Atau mungkin aku tak pernah mencoba. Aku mengundurkan diri begitu saja.

Lihat selengkapnya