Sering kali kita mengejar sesuatu yang tak pasti hanya karena kita menganggap sesuatu itu berharga. Akan tetapi, ketika sudah di genggaman, sesuatu itu hanyalah semu belaka.
~Melody~
Sekolah sudah berjalan beberapa hari. Tebak, kemajuan apa yang sudah kudapatkan? Nihil.
Tidak apa-apa bagiku, tetapi tentunya tidak bagi Mama. Seorang perempuan dengan banyak ambisi. Melihat putrinya menjadi pecundang tentu membuatnya seperti orang kebakaran jenggot. Meski ia tak memiliki jenggot. Ups.
Dia terburu-buru menaiki tangga. Aku tahu, karena aku bisa mendengar langkah kakinya yang tidak seperti biasa. Biasanya Mama berjalan pelan, tetapi mantap. Kali ini tidak, terdengar langkah kakinya kecil-kecil, suara ujung sendal rumahnya yang sesekali memukul karpet lantai lorong antara tangga dan kamarku terdengar. Aku bisa merasakan kegundahan dari sana. Mama ketika marah, energinya bisa menjadi luar biasa.
Sepertinya Pak Mike kepala sekolah atau Bu Nirina sudah menghubunginya. Aku segera menyembunyikan diri di balik bed cover berwarna … ah entahlah warna apa ini!? Aku tak pernah memperhatikan ada apa saja barang dan warnanya di kamarku. Untuk apa terlalu peduli padu-padan, mix and match seperti Mama atau gadis-gadis lain di luaran sana. Ketika akan keluar, Mama akan mengenakan blouse yang senada warnanya dengan bawahannya, belum lagi dengan aksesorisnya, semua harus senada. Bahkan ketika di rumah dan akan tidur, pakaian Mama haruslah bertema. Baginya, seorang perempuan harus memiliki harga diri, dan harga diri pastinya berasal dari pakaian yang dikenakan.
Jangan tanya aku, apa pun baju yang dikenakan, itu adalah pilihanku. Tak peduli meski orang-orang ada yang berbisik bahwa aku adalah terrorist fashion, istilah apalagi itu? Meski sedikit membuatku mengerutkan kening, aku merasa itu keren. Menjadi sesuatu yang berkonotasi negatif menurutku sangat keren. Oleh karena itu aku jarang mengenakan seragam ke sekolah, aku mengenakan berbagai pakaian yang menurut orang sangat tidak cocok dipakai ke sekolah. Misalnya aku pernah mengenakan sarung alih-alih rok, pernah juga mengenakan sandal jepit, bahkan sepatu booots hingga lutut.
Mama menyingkap selimutku kasar, berdiri di samping ranjang sambil membelalakkan mata. Aku sampai khawatir, takutnya uratnya lepas dan mata itu bisa menggelinding kapan saja. Apalagi kedua tangannya bukan memegangi mata, melainkan berkacak pinggang yang merupakan pose andalannya.