Terkadang hal yang paling kita hindari, justru yang paling cepat sampai kepada kita.
~Melody~
Alam, sudah menjadi semacam rumah kedua. Terusir dari rumah megah, justru bukanlah sebuah kesialan. Rumah keduaku justru lebih megah, dengan langit dihiasi lampu kerlap-kerlip bernama bintang. Aku sadari, orang yang tinggal di alam lebih kaya dari mamaku.
Bagi orang banyak, hidup bergelimang harta mungkin adalah syarat hidup bahagia. Mereka tidak benar-benar paham, harta dan tahta didapatkan dari mengorbankan salah satu hal paling berharga. Dalam hal ini, Mama mengorbankan aku. Jadi menurutku, Mama sangat tidak tahu malu, memintaku berbuat sesuai apa keinginannya setelah mengorbankan masa kecilku, mengorbankan perasaanku yang membutuhkan kehangatannya. Ini bukan karena aku anak yang tidak dewasa dan ingin selalu dimengerti, ya. Kurang mengerti apa lagi aku sama Mama. Sedari kecil aku diminta memahami Mama, pulang malam bahkan tidak pulang, mengikuti semua keinginannya seperti sekolah, jadi anak baik, memakan masakannya, dan lain-lain. Wajar, kan? Setelah aku besar dan tahu apa yang harus aku lakukan, bisa membiayai diri sendiri, aku ingin mandiri, melakukan apa yang ingin aku lakukan?
Termasuk tidur di bawah langit. Nyamuk, udara dingin rasanya masih lebih hangat dari pada berada dalam rumah. Aku terdiam, mendaratkan tubuhku, dan duduk bersila di atas ubin dingin trotoar. Menaruh mukaku di atas lengan sambil memandangi orang yang berlalu lalang. Ada yang jalan terburu, ada yang santai, ada juga yang berlari. Ada yang mengenakan sepatu bermerek, pantofel mengilap, sneakers hingga sendal jepit. Bahkan ada pula yang tidak memakai alas kaki. Kaki-kaki kecil yang tak mengenakan sendal jepit itu berlari setiap kali lampu lalu lintas berwarna merah. Ada yang mengamen, meminta-minta bahkan berjualan. Beberapa ada yang kukenal atau tidak.
Ya, sebenarnya aku tidak tinggal di alam-alam banget. Aku tinggal di kostan, berusaha hidup mandiri seperti yang diharapkan orang tuaku, meski masih sesuai dengan gayaku.
Saat hendak bangkit, tanpa sengaja, mataku bertautan dengan sepasang mata yang kukenal. Apakah dia jodohku? Tentu orang yang putus asa seperti aku seharusnya tidak boleh berpikiran seperti ini. Namun, yang namanya rasa tidak pernah berbohong. Dia lagi, ini yang kesekian kalinya kami bertemu. Mau tak mau membuat hatiku ikut bergetar.
Lelaki itu lagi, mengapa dia lagi?
Ia tersenyum sambil terus melanjutkan langkahnya. Tanpa sadar aku berjalan mengikutinya. Ia sudah bagaikan magnet bagiku. Menarikku, membuatku terpesona dengan semua perilakunya.
Aku berjalan, terus berjalan melewati jalanan yang digenangi air, lalu berhenti.
Ia berbalik. "Kamu?" ia terkejut, menyadari ada aku yang mengikuti.
"Kamu mengikuti aku?" Aku hanya terdiam sambil memandanginya.
"Di mana rumahmu? Di sekitar sini?" Ia bertanya sambil memandangiku dari atas hingga bawah.