Aku melirik Mirna yang ikut masuk ke dalam musala. Dia memberikan kode agar aku segera mengenakan mukena. Dengan canggung aku memakai alat salat berwarna putih dengan renda-renda yang wangi itu. Panti asuhan ini memang bersih, Tante Dinda dan beberapa relawan mengelola dengan sebaik-baiknya. Alat salat dan seprai harus dicuci setiap dua pekan sekali, karpet musala, tikar salat, peci-peci anak laki-laki harus dicuci maksimal dua bulan sekali, lebih baik sebulan sekali. Setiap harus menggunakan kamar mandi, pemakai harus menyikat kamar mandi, tidak boleh ada sisa rambut atau sampah di sana. Ada juga SOP pembersihan yang harus diisi listnya oleh sesisi rumah apabila sudah selesai, sehingga apabila ada hasil yang tidak memuaskan akan ketahuan penyebabnya apa atau siapa. Tante Dinda tidak ingin seseorang mengandalkan satu sama lain, “Rumah kita, tangggung jawab kita.”
"Anak-anak ini, nanti akan menjadi anak mandiri dengan bekerja ketika mencapai usianya. Jadi panti ini akan mengajari bagaimana mereka harus bertindak di masyarakat sebagai seorang yang tahu aturan, tahu proses. Jadi nanti ketika bekerja mereka tidak bingung, dan menebak-nebak."
Bahkan ketika anak sudah mencapai usia 15 tahun, Tante akan merekomendasikan program magang untuk mereka. Para anak akan bekerja di sekitar, ya di warung, penjual bakso malang di seberang panti, di mini market. Bekerja apa saja agar anak nanti siap ketika peluncuran dimulai.
"Tante, kenapa aku belum disuruh magang? Usiaku 16 tahun."
"Kamu kerjakan pembiasaan di rumah ini dulu, ya." Tante lalu mengelus bahuku.
Kecanggungan tidak juga berhenti, apalagi setelah kepalaku lolos dari lubang mukena. Di depan, Andri memperhatikanku dengan mata cokelatnya. Sebenarnya ini adalah hal yang sangat aku nantikan, diperhatikan Andri. Namun, bukan seperti ini juga. Memangnya aku anak berusia tujuh tahun yang diajari salat? Malu sekali.
Aku bertanya-tanya. Apakah dulu aku sempat diajari salat oleh orang tuaku? Rasa-rasanya aku belum pernah melihat mereka salat sekalipun, kecuali salat Ied. Itu kan terjadi setahun sekali, sudah lama sekali pula. Pada saat Kakek dan Nenek masih ada. Mbok Yum? Jangan ditanya. Dia adalah seorang perempuan yang menganggap bahwa ibadah tidak menentukan level kekayaan.
"Mamanya sama Papanya Neng Ody, enggak pernah salat, kaya aja terus. Lah, temen saya di kampung, salat rajin enggak pernah lewat, sunah, tahajud, puasa Senen Kemis, sampai sekarang masih miskin terus, tuh!!"
Mbok Yum lebih suka menumpuk harta kekayaannya di bank dan bawah kasur.
"Kamu hafal surat Al-Fatihah?" Pertanyaan Andri memutus lamunanku.
"Al-Al." Aku berusaha mengeja apa yang baru saja dikatakan Andri, tetapi gagal, karena kata itu belum pernah kudengar sebelumnya.
"Bismillaahirrahmanirrahim, Alhamdu lillahi rabbil'alamin, Ar rahmanir rahim, Maliki yaumid din ....."