Mukaku mungkin saat ini sedang sembab, mata terasa bengkak, kadang-kadang cairannya masih keluar sedikit-sedikit. Entah apa yang kurasakan, mungkin aku marah karena Mirna marah-marah, seakan tidak memahamiku. Dia tidak mengalami hidup dengan orang tua egois yang sama sekali tidak peduli kalau anaknya ini ada. Orang tua yang mengabaikan dan sesekali merendahkan dengan kata dan perilaku mereka. Namun, di satu sisi, aku merasa … jahat. Di saat anak-anak lain merindukan orang tuanya, menginginkan kehadiran mereka, bahkan berkhayal untuk segera diadopsi oleh keluarga kecil yang mau menerima mereka apa adanya. Bukan hanya dijadikan pancingan seperti Manda, lalu dibuang setelah akhirnya mendapatkan anak yang mereka dambakan. Aku malah menyia-nyiakan sesuatu yang mereka impikan. Memang, hidup setiap orang berbeda, semua sepertinya memiliki ujiannya masing-masing. Akan tetapi, seharusnya aku bisa bersyukur ….
Tiba-tiba aku terdiam, menutup mulut dengan tangan. Kenapa aku sekarang bisa sebijak ini? Apakah hasil dari permintaanku kepada Allah sudah mulai dikabulkan? Bagaimana tidak? Aku bangun tengah malam bersama beberapa anak panti, Tante Dinda, dan Andri untuk salat tahajud, salat lima waktu pun aman meski surat yang kugunakan itu-itu saja, Tiga Qul! aku tertawa, apakah mungkin sebulan, dua bulan, atau beberapa bulan ke depan aku bisa sesaleh dan seanggun pacar Andri?
Terlihat abang bakso memperhatikan dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Segera ia kembali memasukkan bawang dan seledri ke dalam mangkok. Mungkin dia hanya bingung, tepat beberapa menit ke belakang aku sedang menangis sambil berteriak, kini sedang tertawa terbahak-bahak. Segera aku berdiri ketimbang membuat abang bakso polos yang tidak cerewet ini semakin bingung dan bisa-bisa stres. Bisa jadi juga nanti akan merusak citra rumah panti kami karena nantinya orang menganggap rumah itu berisi orang gila, bukan orang anak-anak yatim piatu yang terlantar sekaligus belajar agama. Tidak adil bagi anak-anak yang sudah berusaha menampilkan dirinya yang terbaik. Kuberikan uang lebih untuknya, lalu melambai dan tersenyum.
Dari kejauhan, sebelum menyeberang jalan kulihat ada mobil yang jenis, warna, dan nomor platnya kukenal memasuki halaman rumah panti asuhan. Aku melihat Mama dan Tante Michel–sahabat sekaligus asisten pribadi Mama–keluar dari mobil, dan bersegera masuk ke dalam. Segera kuberlari, aku tahu Mama seperti apa, lidahnya lebih tajam dari pedang, aku takut Tante Dinda disakiti. Kulihat tidak ada sepatu Mama di depan rumah, hanya sepatu Tante Michel, seperti biasa Mama tidak mau membuka sepatunya padahal jelas-jelas di depan pintu tertera pemberitahuan “HARAP SEPATU DILEPAS” dengan tulisan yang tebal dan besar. Aku menggeleng. Katanya orang berpendidikan, tetapi tulisan sebesar itu saja tidak terlihat. Memang, sepatu Mama selalu bersih, karena jalannya hanya dari rumah, ke mobil, kantor, mobil, lalu rumah lagi. Seandainya harus pergi dinas, aku yakin tidak pernah masuk kawasan berlumpur atau becek.
Aku segera masuk ke dalam, membuka pintu kaca khas rumah Belanda tempo dulu. Di dalam kulihat anak-anak lain sedang merapatkan telinganya ke dinding ruang kerja Tante yang terbuat dari kayu. Suaranya jelas terdengar.
“Dinda apa kabar?” Mama menyapa Tante Dinda.
Tante Dinda yang tadinya sedang duduk sambil mengecek pembukuan berdiri, dengan matanya yang dibelalakkan.
“Prima!?” tanyanya seakan tak percaya.
Ralat, sebenarnya aku yang tak percaya! Mereka saling mengenal? OMG! Ups, salah. Ya Allah. Mereka temenan? Apakah mungkin sebenarnya aku dan Andri sedari kecil sudah dijodohkan? Plis ya Allah semoga khayalanku ini benar. Aku melompat-lompat kegirangan. Manda dan anak-anak lainnya memandangi aku seolah tak percaya yang dilihat mata mereka. Aku terdiam, dan kembali ikut menyipitkan mata. Tante Dinda melihat ke arah kami, ia lalu menutup pintu. Acara usai, rupanya kami tak boleh mencuri dengar. Memang ada aturannya di rumah ini, salah satunya ya itu, tidak boleh mencuri dengar, tidak sopan!
Aku akhirnya menunggu di luar sambil bermain karet bersama anak-anak. Sebenarnya aku tidak suka permainan anak kecil seperti itu, tetapi karena mereka mengejek aku tidak bisa melawan mereka, akhirnya aku ikutan. Aku menang telak! Salah siapa menantang aku?
“Ody!” tiba-tiba Tante Dinda memanggil aku.