Demi Allah dan Waktu yang Berjalan

Diba Tesi Zalziyati
Chapter #14

Percaya

Aku berlari menaiki tangga lalu mengunci diri di dalam kamar, terdengar suara ketukan pintu, aku bergeming. Pasti Mama. 

“Ody lagi tidur!!” teriakku. Lalu membenamkan diri di antara bantal dan selimut. Entah apa yang kurasa, seakan ada pintu lain tentang diri Mama dan diriku terungkap. Ada beribu rasa yang takdapat kudefinisikan dengan baik. Hanya bisa memeramkan mata dengan paksa dan menghalau kegundahan hati yang tiba-tiba merangsek. 

Selama ini, aku besar dengan meyakini, bahwa aku dibiarkan besar seperti rumput liar. Hidup semauku tanpa ada yang membimbing. Pada saat masuk kelas 1 SMP, bahkan aku masih belum memahami apa itu pendidikan seksual. Aku duduk di kursi dengan mengangkang, memperlihatkan daerah bawah pinggang meski tertutup hot pants. Namun, aku menyadari, beberapa teman-teman berbisik di belakang sambil cekikikan. 

"Dasar Ody, perempuan duduknya kok ya kaya begitu." 

Aku belajar sopan santun, norma sosial bukan dari Mama dan Papa, tapi dari bisikan orang-orang yang berbicara di belakang dan mengkritisi. Sampai-sampai aku berpikir, apakah semua orang tua seperti Mama dan Papa. Tapi kalau aku melihat teman-temanku yang paling tahu sopan santun, tahu mana yang harus dilakukan seseorang di lingkungan, aku tahu orang tuaku berbeda. Mereka mengabaikanku.

Tidak semua sikapku yang dikritisi aku perbaiki, terkadang dengan sengaja aku melakukannya lagi dan lagi hanya untuk memuaskan diri, membuat orang lain semakin jengkel tentunya. 

“Sejak kapan kamu mulai mengenakan jilbab?” tanyaku kepada Mirna yang sedang memasangkan peniti ke kerudung segi empatnya di depan cermin, sedang aku sedang duduk di atas ranjang tingkat di kamar kami. Satu kamar biasanya terdiri atas enam orang, atau ada tiga kasur bertingkat. Panti asuhan sendiri terdiri atas empat puluh anak. Ada dua puluh lima perempuan, dan lima belas laki-laki. Ada yang tidak memiliki orang tua sedari kecil, ada juga yang dibawa ke panti setelah orang tuanya meninggal, ada juga yang diterlantarkan oleh orang tuanya sehingga diambil alih dinas sosial dan disalurkan ke panti asuhan. Sedangkan Mirna sudah dititipkan di panti semenjak bayi. Wajar kalau ia tidak kenal orang tuanya sama sekali. Wajar kalau ia sangat marah kepadaku.

“Hmmm … Sudah dibiasakan semenjak kecil, sih. Hanya boleh dilepas kalau kegerahan, pokoknya enggak dipaksakan gitu. Sedari kecil Ibu sudah bilang, kalau nanti pas haid pertama, artinya sudah mulai memakai jilbab, dan enggak boleh pakai terus lepas, pakai terus, kecuali kalau ada di kamar mandi, lagi mandi, di kamar lagi tidur dan tidak ada laki-laki yang bukan mahram di sana.” 

“Kenapa pas aku datang ke sini enggak disuruh pakai jilbab, ya?” Aku memutar bola mata, memandangi langit-langit kamar yang terbuat dari gipsum. 

“Katanya, mendidik itu enggak boleh mendadak, kalau kakak baru datang, lalu langsung disuruh pakai jilbab, yang ada kakak lari dan kembali ke jalanan lagi. Kakak dibuat nyaman dulu, lalu diajari adab dalam Islam perlahan demi perlahan.” 

“Sok tahu kamu!” Aku menggigit apel yang sedari tadi hanya kumainkan seperti bola. 

“Tahu, dong! Aku ini kan mata-mata di rumah ini.” Mirna telah selesai memakai jilbabnya lalu berdiri. 

“Dasar tukang nguping!” Aku memeluk bahunya lalu berjalan bersama. Saat itu adalah saat sebelum aku dan Mirna bertengkar, sebelum untuk kedua kalinya aku memberikan uang tabunganku kepada Tante Dinda. 

Setelah berada di panti, aku merasa menjadi orang yang paling tidak tahu apa-apa, meski sebelumnya aku pun merasakan demikian. Bedanya, dulu Mama sering kali mengejekku. 

Lihat selengkapnya