Tiga tahun setelah kepergian Soraya, aku ditempatkan Tuhan pada ruang yang sepi. Sebenarnya dunia tetap sama, hanya aku saja yang terkurung, lebih tepatnya terjebak dalam kesendirian. Dan entah kenapa aku memilih bungkam ketika Hanin menggodaku untuk memulai cinta baru dengannya. Dia bukan tipe penggoda, dia temanku yang baik, dan sebagai teman, dia tidak mau melihatku terpenjara seperti ini.
"Tidak semua luka harus kau kenang, Sam." Hanin tidak pernah berhenti memintaku melupakannya dengan cara seperti itu.
"Sebenarnya kau bisa bilang langsung kepadaku, tidak usah menggunakan cara yang filosofis, aku tidak suka itu," komentarku dengan nada kesal.
Kulihat alis Hanin memanjat keheranan. "Kau lupa tentang konsep kejadian, Sam?" tanyanya. "Kau harus menggunakan daya pikirmu untuk menelaah setiap kejadian. Gunakan kerangka berpikir agar setiap kenangan menempatkan mereka sendiri, bukan menempatkan dirimu pada ruang yang menyiksamu."
"Tidak ... kau saja melakukan itu. Aku tidak mau."
"Kau yang kehilangan, Sam!"
Aku mengetuk meja kafe ini dengan batang telunjukku. "Han, kau mesti tahu, ya! Melupakan orang yang telah menghabiskan setiap detik denganku itu tidak mudah, bias sendu tidak pernah bergurau, Han! Kau jangan membuat lelucon di tengah kesedihan, dong."
Hanin berdiri condong lalu memukul meja dengan telapak tangannya, ia menatapku tajam dengan hitam yang berubah nyala, bibirnya kini bergerak. "Lelucon?!" Dia menghela napas, lalu melanjutkan. "Demi seorang Sambara aku rela meninggalkan tunanganku, dia bahkan lebih intens menemaniku dibandingkan Soraya yang telah hilang, lalu Sambara mengatakan aku membuat lelucon?"
"Kau kira aku komedian?!!" bentaknya dengan pukulan meja yang lebih keras.
Hanin Alindra, seharusnya dia tidak membawaku kepada dua hal yang sulit; melepaskan kapal duka yang tertambat dan menerima jangkar baru dari kapal yang akan melabuh. Entahlah, aku bahkan tidak mengerti mengapa pertemanan terkadang bisa sejauh ini.
Wanita yang memiliki tinggi badan 172 cm dengan lebar pinggang yang tak seberapa ini masih mencondongkan tubuhnya, aku saksama melihatnya geram, tatapan nanar itu benar-benar terfokus terhadapku, dua lingkar hitamnya enggan minggat menjerat mataku, benar-benar tidak nyaman diperhatikan seperti dalam keadaan bersalah.
"Bisa kau duduk dulu?" Kini aku meminta dengan nada kalah.
Hanin mengangguk halus dengan mata yang terpejam. Aku langsung melihat perubahan wajahnya, kali ini lebih seperti Hanin Alindra yang kukenal, dua tembereng mata berletak simetris, satu hidung melengkung dengan fondasi kokoh yang tidak akan roboh, serta dua bibir merah dengan daging yang tebal.
"Maafkan aku jika menyakitimu, jujur saja, Han. Aku tidak bisa melupakan Soraya," sambungku.
"Soraya tidak akan bahagia jika melihatmu seperti ini, Sam. Soraya bukan orang yang jahil membuatmu terluka, jika dia punya kesempatan untuk berkata sebelum ...."
"Jangan bahas itu, Han." potongku lalu menunduk.
Mendengar kisah kematiannya bukan seperti mendengar dongeng yang membuatku terhibur lalu lelap mengenyam mimpi, mendengar itu seperti merasakan sebuah sembilu yang merobek hati dengan cara yang pelan nan kejam. Seandainya Hanin tahu bahwa kematian seseorang adalah penyesalan, maka dia akan mengerti bagaimana perasaan seorang lelaki yang tidak mampu menuruti keinginannya yang satu itu.
***
September 2019
Lorong Halte Senayan
Ketika aku baru mengenal wanita yang menjadi pionir cinta dalam hatiku.
Aku kenal dengan Soraya ketika hujan deras bulan September di Halte Senayan, wanita yang berlari menghindari titik-titik kecil yang jatuh dari langit itu segera aku hentikan langkahnya ketika hendak melewatiku.
"Kenapa tidak menunggu reda? Satpam kantormu menggodamu, ya?" Aku sedikit menggodanya.
Dia menatapku, nyaris! Aku sampai terperosok masuk ke dalam lubang hitam itu, rasanya seperti terhipnotis oleh binar nyala matanya. Sesaat aku sadari dia menggigil kedinginan, kedua rahangnya bergetar —mengencangkan urat leher untuk menahan tusukan hawa dari angin yang menghempas.
Aku membuka jaket kulit warna cokelat yang aku kenakan, dia menatap jaket itu seolah benar-benar ingin menggunakannya. "Pakai jaketku ..." tawarku sambil tersenyum kepadanya. "Tidak ada yang akan menawarkanmu hal yang sama, jadi jangan sia-siakan kesempatan ini."
Dia membagi senyumnya, meski senyum yang terkoyak oleh hembusan angin yang datang dengan bergelombang. "Kamu baik, namamu siapa?" tanyanya.
"Aku Sambara."
"Sambara ...?" Dia bergumam seperti berpikir. "Aku Soraya, nama kita hampir sama, ya? Awalnya S dan ujungnya A." Lihat! Dia tidak pelit senyum.
"Kau tahu apa artinya Soraya?" sambungnya lagi dengan pertanyaan.
Aku mengernyit. "Apa?"
"Soraya itu artinya putri yang cantik dan kaya." kali ini dia tertawa dengan lenguhan.
"Amiiin!" tukasku.
Soraya mewakili apa yang sebenarnya, dia adalah putri Serindu dalam kenyataan, dia adalah dewi cantik jelita, dia adalah gadis kaya dalam arti segalanya.
Seakan tidak tega membiarkan dia sendiri, maka aku menemani perjalanan Soraya ke rumahnya, kami naik TJ koridor 1 yang akan tiba 6 menit sekali. Dia memilih tempat duduk dekat denganku, tentu itu adalah hal yang menyenangkan, dan kami duduk paling belakang, biasanya lansia atau orang-orang prioritas tidak akan sampai ke sini.
"Tidak pakai handset?" tanyaku. Biasanya orang lain akan mendengarkan spotify ketika dalam perjalanan, menumpang bus ini memang membuat suntuk, bus setiap kali berhenti di setiap halte, tapi kalau penuh, petugas akan mengatakan:
"Di belakang masih ada, ini sudah penuh."
Maka adalah keberuntungan jika mendapatkan kursi paling belakang, seperti raja dalam bus ini, petugas pun tidak akan mengganggu, kalau mereka terpaksa, pura-pura tidur saja, mereka tidak berani membangunkanmu.
Soraya duduk di pojok, aku di sampingnya. Dia mendekap tas merah hati dengan erat, lalu memasukkan tangannya sehingga lebih merasa aman. Kemudian lehernya memutar kepadaku. "Tidak," lirihnya lalu langsung bungkam.
"Biasanya orang lain akan mendengarkan musik, menonton video atau membaca ebook."
"Aku lebih suka mendengarkanmu bicara," Kini dia tersenyum, bulu matanya mengibar pelan, dan kepalanya lurus dengan perlahan.
Aku menaikkan dagu, menatap atap hitam bus ini, lalu merasakan sebuah gejolak. Segera aku menarik napas panjang, menelan ludah, lalu menahan setiap isapan aroma khas TJ yang tak mau kubuang. Huft!
Soraya menatapku lagi, aku melihatnya dari sudut mataku. "Kenapa?"
Aku menggeleng cepat.