Jika seekor belibis mampu berubah menjadi Angling Dharma, maka aku seorang pria biasa bisa berubah menjadi pangeran. Bagaimana tidak? Wanita yang kutemui di lorong JPO Halte Senayan, tepat berada di atas jalan raya ternyata adalah seorang putri. Benar kata Pak Hartono, aku tidak harus sayembara untuk mendapatkan seorang putri. Bukan karena hartanya, tapi memang dia menyatakan sesuatu yang tidak aku sangka, bahkan sulit kuterima.
Soraya, dia berjalan anggun menuruni tangga dengan tubuh yang tegak, tidak ada polesan muka, tidak ada solekan gincu, tidak ada arang hitam di setiap bulu matanya. Tapi, cantiknya luar biasa! Aku dapat melihat wujudnya yang baru, jauh teramat dari yang kulihat sebelumnya.
Tidak dengan blazer, dia mengenakan dress hijau polos dengan rumpai yang bergelombang, sederhana sekali, tapi tak kukira justru hal yang sederhana yang membuatnya semakin cantik, rambutnya kini sudah kering, sudah disisir, menyilang dada dan punggungnya. Dagunya tajam dan padat, matanya bagai kerang yang berisi dua mutiara hitam, bibirnya tak beda dari anggrek yang kulihat di taman depan, hidungnya memesona bagai sekuntum bunga seroja, sedangkan kedua kakinya tertanam pada sepasang highhells putih —hampir kulitmu menyaingi warna sepatu itu, Soraya.
Dan kini ia berjalan ke arahku dan Pak Hartono, dia melambai sebuah senyum, lalu duduk di sampingku —di sampingku yang lain ada Pak Hartono yang mencicipi satu persatu kue yang dibawa Mbok Sunijem.
"Ini jaketmu!" Dia menyodorkan jaket kulitku. "Terima kasih sudah menjadi orang yang baik. Lelaki sepertimu ... adalah dambaan setiap wanita."
Aku tersenyum renyah. "Sama-sama." Kali ini aku mengambil jaket itu. "Hhhh ... kau sebenarnya siapa Soraya? Kau lari kehujanan, naik bus! Sedang memiliki garasi dengan mobil-mobil mahal, kau memiliki rumah bak istana negeri dongeng, kau memiliki rupa bagai putri raja, aku heran ...?"
"Hanya sebuah keberuntungan bagiku lahir dari keluarga Papa, dia investor pertambangan batu bara dan emas."
"Mamahmu?"
"Mamah di Senayan, dia jarang pulang setelah mendirikan bisnis start-up."
Aku mengangguk, Pak Hartono masih sibuk mencicipi kue-kue yang beragam; ada bolu cokelat, bolu pandan, kue pelangi, kue lapis, dan beberapa bika ambon yang berwarna kuning dengan bau khas seperti pisang, aku suka yang satu itu.
"Kau tinggal sendiri?" tanyaku lagi. Dia hanya mengangguk. "Kasihan ..." desahku.
"Enggak apa-apa, aku senang Mamah dan Papa bisa melakukan apa yang mereka suka. Lagi pula ada Mbok Sun, Mbak Ovi, dan Mbak Sinta yang menemaniku."
Pak Hartono menyambar dengan mulut yang memintal kue. "Iyo! Harus begitu, syukuri apa pun keadaan orang tuamu, mereka melakukan itu untukmu, toh?" Sekarang Pak Hartono menelan bulat kue di mulutnya, tanpa air, hebat! "Kalau yo dibilang orang tua cuma mentingin uang, mungkin Pak Hartono ndak bakalan pulang subuh, berangkat subuh. Kangenlah karo wong cilik, karo bojo, ya gimana, ya ...? Namanya juga takut ndak tercukupi."
Soraya kali ini tersenyum, aku memperhatikan wajahnya.
"Bapakmu, ibumu, bukan merasa endak cukup, tapi mereka mengumpulkan sebaaanyak-banyaknya, supaya kalau udah tua ndak susahkan kamu," sambung Pak Hartono. "Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. Orang tua akan lebih khawatir jika anaknya nanti tidak memperdulikannya lagi, mereka akan jompo, akan sakit-sakitan, sedangkan kalian memiliki keluarga sendiri. Tapi satu pesan Bapak, jangan biarkan orang yang membesarkan kalian sengsara kedua kalinya, maut datang tiba-tiba, dan jangan sampai menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan membalas orang yang terbaik dalam hidupmu," tandas Pak Hartono dengan nada yang begitu kelam.
Soraya dan aku mangut-mangut, tiba-tiba saja Pak Hartono menasihati kami, dan itu menjadikan kami bertiga sebagai teman, Soraya dan aku menyimpan nomornya, sejak hari itu kami selalu di antar Pak Hartono ke mana pun, dia tidak mematok harga, hanya kami saja yang perlu memperhitung bensin dan jasanya.
***
September 2019
Warung Babeh Iwan
Kucil fokus terhadap gim mobile legends. Yongki, Jamal, Farel, dan Cakra saling mengatur strategi perang mereka di gim PUBG. Mereka semua temanku, ada satu wanita di lingkaran pertemanan kami: Kaila Sherly Sifabella, kami memanggil kata pertamanya. Kelima temanku yang lain juga memiliki nama kepanjangan. Yongki memiliki kepanjangan Yongki Lintang Arifin, Jamal memiliki dua nama belakang Amzari Haidar, Farel menyambat dua kata Ismoyono dan Lazuardi, sedangkan Cakra diikuti nama ayah dan ibunya Savian Altezza, dan yang terakhir Kucil, dia memiliki satu nama kepanjangan yaitu Abimanyu Seka. Aku sendiri hanya Sambara, lahir dari Bapak bernama Sunaryo dan Ibuku gadis Sunda, namanya Dewi Niti Sari. Aku tidak tahu kenapa aku ada di Jakarta, itu baru kusadari setelah umurku 5 tahun.
Belakang ini, aku menjadi seperti seorang yang habis diculik Wewe Gombel, kadang-kadang suka melamun. Ya bagaimana tidak? Belum habis pikiranku terhadap pertemuan dua hari lalu. Soraya selalu ikut bersamaku di dalam kepalaku, sampai di warung Babeh Iwan; di sudut pertigaan gang, dia juga ikut.
Kaila yang sedari tadi berdiri menghadap kami, kini duduk di samping Cakra, dia adalah pacarnya. "Lo kenapa, Sam? Belakang ini lo kayak kesambet setan, deh. Putus asa, ya?" tanya Kaila.
Aku menolehnya seraya membasahi bibirku dulu. "Enggak," gelengku. "Cuma ya kepikiran dia aja."
"Siapa? Oooh, lo jangan-jangan naksir Gita, yaaa?" goda Kaila.
Hey ... aku tidak mungkin naksir Gita, dia kan sudah memiliki suami, ya walau pun ditinggal pergi suaminya ke Sumatera tanpa kabar. Kaila memang suka menebak asal-asalan, wanita yang suka jins skinny dengan model riped; berupa robekan benang putih dan satu bolong di lutut; dua di paha ini tidak pernah menebak dengan benar, terkecuali ketika menebak skor pertandingan tim Persija.
"Namanya Soraya, rumahnya gede banget!"
"Lo embat, lah! Lagian kejombloan lo tuh berkarat, Sam!"
Aku menolehnya dengan sengatan. "Sembarang kamu kalau ngomong! Gini-gini juga aku bisa ketemu wanita kayak dia."
Dia seperti yang aku katakan, seorang putri! Oh, iya! Sebenarnya aku pernah nembak Kaila, tapi dia menolakku, alasannya karena ingin berteman saja. Tapi dengan Cakra? Hmmm ... Lelaki bertampang dingin itu sebenarnya baby face, memiliki sudut runcing di hidungnya, bola mata cokelat dengan akar kornea yang terlihat menyebar, serta bibir merah yang menggoda, entahlah, kenapa bibirnya begitu merah seperti memakai lip bim?
"Kayak Isabella? Gadis halu lo di Cordova itu?"
"Apaan sih kamu? Dia itu tidak bisa dibandingkan dengan tokoh-tokoh novel siapa pun, di belahan negeri apa pun, dia memiliki karakternya sendiri. Aku suka cara dia berbicara dengan sopan, to the point, dan bertanya banyak hal."
"Alah, Sam ... Cewek tuh di mana-mana sama, enggak ada yang beda! Bawel, nyerocos kayak tabung gas bocor, lo mah belum tau aja gimana punya pacar, beuh! Bribet, dah!" Kini Cakra menyambar dengan muka yang fokus ke layar ponselnya.
"Oooooh jadi aku bawel???" Kaila terpancing. Kali ini dia berdiri dengan tangan di panggang.
Cakra menatapnya. "Kamu bawelnya manis, bawel aja aku suka kok!"
"Bawel-bawel, turenth gue hancur, tuh! Ni emang kalau maen sama bocah tuh gini, waaar aja war, turenth enggak ada yang jaga!" Kucil turut masuk dalam perdebatan.
Farel menyergah. "Cak! Cakra ... revive-revive! Gila, helm gue hancur."
"Yong lo bantu Farel!" balas Cakra, aku memperhatikan jari mereka yang semrawut.
"Terus kenapa tadi? Kok kayak ngeluh gitu." Kaila ketus, wajahnya sudah cemberut.
"Cak! Cakr—" ulang Farel.
Cakra memotongnya. "Bentar!" kemudian ia melepas tangan kanan dari ponsel itu, lalu menyentuh pipi Kaila. "Kaila Sherly Sifabella, kau adalah satunya wanita dengan suara merdu—"
"Bohong!" Kaila tambah ketus.
"Dih?! Beneran deh, coba kamu nyanyi!"
"Nyanyi?" gamang Kaila, Cakra mengangguk.
Kaila segera menarik napas, menatap dalam Cakra lalu mengeluarkan suaranya:
Hati tenang mendengar ...
Suara indah menyapa ...
Geloranya hati ini tak kusangka ...
Rasa ini tak tertahan ...
Hati ini selalu untukmu ...
"Sam, kok cempreng, ya?" goda Cakra. Ia bertanya kepadaku.
Kaila langsung ngambek. "Iiiiih, tuuuh kan, kamu mah nyebelin!"
"Enggak bercanda, Kok, kamu mah ...."
"Goblok!" sela Kucil di tengah gercapan romantika Cakra dan Kaila. "Masa tank maunya mulu di belakang, sih! Liat tuh em-em malah di depan, bego semua!"
Kami berlima langsung mengarah tatapan ke Kucil, tak lama ia sadar. "Lo semua liatin gue kenapa?" tanyanya dengan bingung.
***
"Cinta itu aneh ya, Sam. Dia datang dengan bahagia, terus pergi dengan luka. Gue jadi mikir kalau cinta itu cuma sebuah parasit, dan hati kita itu inangnya." Kaila membuka suara ketika kami duduk jongkok di dekat tiang listrik. Sementara kelima temanku masih setia di depan warung Babeh Iwan yang sudah tutup. "Dan lebih aneh lagi, meski udah tiga kali merasakan sakit, tapi gue enggak kapok dan malah sama Cakra."
"Bagus lah, artinya kamu percaya menitipkan perasaan kamu ke Cakra. Lebih baik dengan yang lebih kenal, Kaila. Kamu sudah tahu dia kayak gimana, sikapnya kayak apa, jadi enggak harus beradaptasi, ya memang ada penyesuaian sedikit."
"Lo sendiri?"
"Aku baru kenal sama dia, oh ya, kalau wanita nembak duluan itu gimana menurutmu? Aku sih ragu, masa iya ada cewek cantik dan kaya nembak aku cuma karena aku pinjemin jaket."
"Pinjemin jaket?" Kaila mengernyit.
"Iya." anggukku. "Jadi aku minjemin dia jaket karena Senayan hujan, terus aku anterin sampai rumahnya. Sepanjang perjalanan dia tuh udah mulai ngasih kode-kode gitu lah ... ya aku cuma ngehindar, takutnya ...."
"Harapan palsu? Hahahaha." sekarang Kaila terbahak, sampai tangannya mengibas, satu matanya menutup tirai dan satunya lagi menyipit.
"Ragu aja," kataku. "Aku takut dipermainkan, coba kamu tengok wanita lain yang serupa, mereka yang hanya punya wajah cantik dan follower saja sudah acuh terhadapku. Apalagi dia dengan segalanya?"
"Yuna yang lo maksud?" tebak Kalia. Aku menggeleng, lalu mencuat nama-nama lain. "Diva? Marcelin? Andriani?." aku terus menggeleng. "Kaila?"
Aku mengangguk cepat.
"Sialan! Itu nama gue!" cemoohnya. "Lo masih cinta sama gue?" Kali ini nada Kaila lebih keras.
Cakra langsung menoleh, ia menyambar. "Apa?! Wah elo?" tunjuknya kepadaku.
"Bukan!" tukas Kaila. "Cakra Savian Altezza, kamu itu salah denger, orang kami lagi bahas novel, kok!" dalihnya yang membuatku sakit perut. "Novel apa, Sam?"
"Novel ...." Sebentar, aku harus mencari judul yang bagus, ah! "Cika Dita Cinta!!"
"Dih?! Novel apaan?" Cakra menyeringai.