September, 2019
Senayan
Hari ini aku duduk menunggu di sofa merah, menghadap sebuah meja kerja besar dengan lampu kecil yang menunduk, tiga baris map besar bertuliskan Bantex, satu monitor putih berlogo Apple, satu laptop Asus hitam di samping keyboard, satu telepon, dan tiga album foto keluarga Soraya.
Seorang wanita membuka pintu kaca itu. "Tunggu yah!" ucapnya dengan nada risau. "Mamah masih meeting."
Aku mengangguk, tak lupa dengan selenting senyum agar dia tenang. Soraya berjalan ke arahku dengan rasa yang tidak tenang. Seharusnya aku yang begitu, kan aku yang menunggu Mamahnya.
"Kau tidak perlu begitu, menunggu membuatku senang tahu!"
"Apanya?" Soraya mengerutkan dahi. "Menunggu membuatku gusar!" Kini ia ketus sekali, tebal betul setiap kata yang terjamah telingaku. "Kau dan Mamah tidak ada bedanya!"
Aku tersenyum ke arahnya. Kusentuh rambut dengan helaian menutup daun telinga, kukait berpuluh itu pada batang yang menopangnya. "Jangan biarkan waktu berjalan lebih cepat dari yang seharusnya, biarkan kita melihat setiap peristiwa yang akan lewat seperti di dalam kaca mobil. Mereka agak bergerak semu dan seolah kita diam di dalamnya." kini aku menghela napas, entah apa yang terjadi pada diriku yang sebenarnya. Aku melihat Soraya terpejam dengan bibirnya yang bergetar. Dan entah, siapa nama iblis yang kini menggerakkan kepalaku maju? Bibir kami hampir berdekatan. Dan ....
Ekh ekhemmmm ...!
Seorang berdehem, memecah kami dan berhamburan, bahkan hingga membuat kami kelayapan, Soraya berpura-pura merapikan rambut, aku mencari-cari barang apa yang aku sibukkan. Dan orang itu tersenyum melihat tingkah kami yang gugup.
"Maaf, Mamah meeting dengan klien penting, jadi enggak bisa cancel gitu aja." Penjelasan orang itu membuatku membeku dan siap-siap jika harus angkat kaki, dia adalah Mamahnya, wanita tinggi dengan blazer cokelat berbalut cream —tentu saja itu membuat wajahnya sedemikian manis, dan bibit seperti inilah yang layak menghasilkan seorang putri seperti Soraya. "Papamu sudah Mamah hubungi, tapi lagi di Singapur katanya."
Kami masih diam, entah, kini aku bahkan tak berani menatap Soraya, menatap Mamahnya, menatap meja itu. Hhhhhhh ... seandainya aku tidak sekonyol itu tadi.
"Kenapa kalian berdua menunduk?" tanya Mamahnya lagi.
Kudengar Soraya menjawabnya gagap. "Anu .. Mah ... Soraya ...."
Kali ini aku harus berani sebagai seorang lelaki, ya! Aku menatap Mamahnya dengan matang. Huft! "Tante jadi ..."
"Tidak sengaja?" Mamahnya mengangkat alis, aku terdiam lagi dan menunduk. "Mana mungkin laki-laki tidak sengaja mencium wanita." Kali ini Mamahnya berjalan ke meja kerjanya, ia duduk di kursi hitam. "Sambara, kamu layak menciumnya, Mamah tidak keberatan."
Apa?! Kupingku tidak tuli, kan?
"Kamu memang belum memiliki Soraya, tapi Soraya sudah memilikimu. Hatinya, bibirnya, matanya, setiap waktu bercerita tentangmu. Mana mungkin Mamah melarangnya, lagi pula ... selama ini Soraya hidup sendiri. Dan kamu, berhasil memberikan kesan luar biasa di saat dia kabur dari kantor ini."
"Mamah jangan ceritakan itu!" protes Soraya. Mamahnya menanggapi dengan senyuman.
"Soraya tidak mau Mamah tinggalkan sendiri di rumah, tapi Mamah harus membangun bisnis ini. Jadi dia marah ceritanya. Syukurlah, ada kamu yang menolong dia," sambung Mamahnya.
"Mah tolong jangan ceritakan yang satu itu!" tuntut Soraya lagi.
"Cerita apa, Soraya?" tanyaku.
Soraya menggeleng. "Bukan apa-apa."
"Mamah tahu ini dari Soraya, kamu tidak mau menerima Soraya karena berasal dari keluarga berada, ya?" Mamahnya melenguh, lalu melanjutkan lagi. "Soraya tidak dibesarkan dengan itu, Sambara. Dia besar atas keinginannya sendiri. Jadi, Mamah harap Sambara tidak mengkhawatirkan apa pun. Mamah dan Papanya selalu mendukung apa pun keputusan Soraya."
"Iya, Tante," kataku gamang. Tapi ya begitulah, aku seperti mendengar sebuah wejangan. Aku seperti merasa ada yang mendukung, menyokong dan menguatkan. Tapi tidak serta merta meluluhkan keraguanku.
"Kamu boleh panggil saya Mamah, jangan pernah anggap kamu orang asing, kamu adalah bagian hidup Soraya."
Entah, mengapa tiba-tiba Mamah menitikkan air mata, ia langsung menahannya lalu terdiam. Sementara Soraya, ia semakin menunduk. Ada apa dengan semua ini?
Sebenarnya aku ingin bertanya, tetapi sungkan untuk seorangku yang baru mengenal Mamahnya untuk bertanya soal itu. Sehingga kami melupakan semuanya.
***
Dan entah, Mamah kini mengajak kami berdua ke sebuah steak house. Letaknya tak cukup jauh dari kantor Mamah, hanya perlu menyintasi JPO yang sama, kuperhatikan ... sekilas berseberangan dengan persimpangan Jalan Senopati, juga berdekatan dengan Plaza Senayan. Kami juga tidak perlu naik ke lantai berikutnya, karena restoran itu berada di lantai paling bawah Ratu Plaza. Yaaa ... Ratu Plaza untuk keluarga bangsawan ini.
Ketika pertama kali masuk, selembar buku menu di podium itu akan menyambutmu, dan setelah melewati ambang pintu, aku mencium betul bau daging panggang yang menyeruak masuk ke hidungku. Bau manis, bau juicy, bau gurih, semuanya masuk begitu aku ada di dalamnya. Sekarang lihat! Berjejer kursi-kursi dan beberapa memiliki meja bundar. Mamah memilih meja kotak yang terpojok, dimana itu memiliki kesan yang private.
Dan oh! Setiap kursi ternyata memiliki napkin hitam yang digulung, hmmmm ... kayaknya hari ini aku akan berlagak seperti kaum bangsawan. Sepertinya begitu, karena sekilas nuansa steak house ini mirip sekali dengan gaya di rumah Soraya. Warna-warna hitam, beberapa bohlam gantung yang remang, satu pot blosom besar, serta kaca-kaca jendela lebar.
Mamah memesan sebuah set menu, terdiri dari appeteizer berupa 3 Crispy Fried Mushroom, main courses berupa satu Grilled Salmon untuknya dan dua Outback Special untukku dan Soraya, terakhir Mamah memesan lemon tea, kami juga mendapatkan desert berupa Chocolate Thunder from Down Under —entahlah, seram sekali namanya.
"Sejak kecil, Soraya menyukai steak daging, makanya dia pilih itu untuk kamu." Mamah memulai perbincangan. "Dan tak lupa, cokelat!"
"Iya, Tante."
"Eh?" Mamahnya menarik muka.