Malam itu hujan deras tengah mengguyur Desa Gendisari, sebuah Desa di balik bukit tanah merah. Yang keberadaannya begitu jauh dari keramaian sebuah Kota.
Di sana tinggal sepasang suami isteri bernama Bu Sri dan Pa Bajro suaminya. Kedua sepasang suami isteri ini, tinggal di sebuah gang Cirateun, Rt 01 Rw 04 dengan rumah berukuran 16X16 M semi permanen.
Keduanya telah tinggal selama empat puluh tahun, dan telah dikaruniai seorang putri bernama Sri Nadia Putri. Purinya Nadia merupakan putri semata wayang dari kedua sepasang suami isteri itu, yang kini putrinya telah berusia enam belas tahun.
Selama empat puluh tahun, keduanya tinggal di Desa Gendisari. Baru lima bulan terakhir ini, Desa Gendisari dihebohkan dengan banyaknya para gadis Desa yang hilang.
Malam itu ! bu Sri ibunya Nadia, tidak seperti biasanya ia dilanda suatu khawatir luar biasa kepada putri semata wayangnya itu. Padahal bu Sri mengetahui hujan deras di malam itu, sebenarnya telah mengantarkan putrinya Nadia ketempat peraduan. Yakni sebuah kamar tidur yang berhias kerlipan lampu-lampu kecil berwarna-warni, dengan lampu utama yang sengaja Nadia telah matikan.
Akan tetapi bu Sri merasa resah bercampur khawatir terhadap keberadaan putri semata wayangnya itu. Sehingga dirinya memaksakan untuk menyempatkan diri mengintip di balik pintu putrinya.
Dari balik pintu itu, bu Sri dengan jelas melihat putrinya Nadia tengah berbaring menutupi tubuh rampingnya dengan sehelai selimut penangkal dinginnya suasana malam itu.
Bu Sri pun menyadari Nadia tidur dengan bantal guling yang tengah diapit oleh kedua pahanya, seraya kedua tangan yang tak mau lepas melingkar memeluk erat pada bantal guling miliknya.
Melihat itu, bu Sri berucap ;
“Anak gadis bunda udah tidur ternyata.” Gumam bu Sri menepis yang tengah menepis kekhawatiran yang menguasai dirinya sedari tadi.
Tanpa sadar mengamati putri semata wayangnya yang tengah tertidur, justru membuat kedua mata bu Sri mulai terlihat berkaca-kaca. Terlintas kenangan-kenangan sewaktu masih putrinya kecil, mulai memenuhi isi kepala bu Sri.
Bu Sri masih tidak mempercayai akan kenyataan ini, bahwa anak gadisnya telah tumbuh menjadi seorang remaja berparas cantik.
"Aduh, sekarang kamu sudah besar ya nak," Ucap bu Sri mengagumi putrinya Nadia yang kini sudah tumbuh menjadi seorang remaja.
“Kamu mimpi apa nak ?” Dengan senyum manis terpasang dari ibu satu orang anak ini.
“Pasti kamu lagi mimpi pacaran yaa ?!” Terka bu Sri tersipu malu meski dalam dasar hatinya terselip sedikit kekhawatiran.
Bu Sri yang malam itu merasa lega menyaksikan putrinya telah tidur pulas, ia pun kembali menarik daun pintu “Kreeket,cetrek.” Dan pintu kamar gadinya itu pun kembali tertutup rapat.
Namun belum juga bu Sri melepaskan genggaman tangan pada daun pintu dan kendak berbalik menuju tempat tidurnya. Bu Sri dibuat terkejut oleh sentuhan dari belakang yang secara tiba-tiba melingkar memeluk pinggang bu Sri, "Aaaahhhhhhhhh..." Teriak bu Sri terkejut.
“Iiiih, Papah...” Gerutu bu Sri bernada sedikit manja.
“Putri kita udah tidur bunda ?” Tanya suaminya pak Barjo berbisik pada daun telinga isterinya.
“Eh, udah pah...!” Sahut bu Sri seraya menikmati sentuhan suaminya yang mendekap erat tubuhnya dari belakang itu.
“Mana papah mau liat.” Pinta pak Barjo memastikan.
“Jangan pah nanti kebangun kasian.” Timpal bu Sri bernada sedikit melarang.
Pak Barjo yang penasaran, tidak menggubris isterinya lantas memaksa menekan daun pintu gadisnya “Kreeeket.” Pintu kamar Nadia pun perlahan terbuka kembali.
“Pah udah pah,” Bisik bu Sri. menahan rasa penasaran suaminya pak Barjo. Setelah pintu kamar itu terbuka gadisnya Nadia masih dalam posisi yang sama, “Oh, iya...udah tidur ternyata ya bun...” ucap suaminya pak Barjo sedikit berbisik, yang disertai sebuah raut wajah sumringah penuh arti.
Melihat wajah suaminya yang sumringah penuh arti itu, mendadak kekhawatiran yang dirasakan bu Sri seakan sirna, "Iiiihhh, apa sih pah jelek banget mukanya" Ungkap bu Sri seraya mencoba melepaskan dekapan dari pak Barjo.
“Hmmmm, bisa dong malam ini ?!” Lanjut pak Barjo menggoda.
Bu Sri mencoba menerka meski tahu jawaban sebenarnya, “apaan sih ?!” Ucap bu Sri berwajah polos berpura-pura tidak mengerti.
Tak tahan dengan tangan nakal pak Barjo yang masih terasa melingkar. Bu Sri pun mengibaskannya seakan bu Sri sedang bersikap sok jual mahal ! Lantas beranjak berjalan menuju kamar dari keduanya.
“Eh, si bunda malah pergi.” Bisik suaminya Pak Barjo yang bergegas menutup kembali pintu kamar gadisnya. lalu mengikuti bu Sri isterinya dari belakang menuju keranjang penyatuan dari keduanya. “Asik dapat jatah malam ini...” Gumam pak Barjo tertawa ringan.
Namun di saat kedua suami isteri ini tengah berlalu meninggalkan kamar tidur gadisnya. Seseorang secara diam-diam melalui sebuah jendela ruang tamu, telah berhasil masuk ke rumah bu Sri dan pak Barjo tanpa keduanya sadari.
Bisingnya suara hujan di luar, bercampur angin kencang yang mampu menerbangkan jemuran pakain, merontokan dedauan, dan petir yang terus menyambar berkali-kali untuk mengincar bangunan-bangunan tinggi atau bahkan pohon yang tinggi seperti pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar Desa Gendisari.
Hal itu lah yang membuat bu Sri dan pak Barjo luput pendengarannya dari kedatangan seseorang yang menyelinap masuk ke rumah keduanya itu. Tanpa sebelumnya ada sebuah undangan yang mengharuskan orang tersebut untuk datang.