Paginya, bu Sri yang sudah siuman dari pingsan tadi malam. Nampak lesu, tatapan matanya pun kosong, jangankan untuk berdiri, mengusap genangan air mata yang mengalir dan membasahi pipinya pun bu Sri tak kuasa. Terpaksa air mata itu diseka oleh seorang ibu yang berusaha menenangkan bu Sri.
"Bu Sri yang sabar ya..." ucap seorang ibu yang sedari tadi telah menemani bu Sri.
Kini rumah bu Sri dan pak Barjo yang terletak di ujung desa Gendisari, penuh sesak oleh masyarakat, yang penasaran atas kematian Nadia yang tidak wajar itu. Banyak masyarakat tidak menyangka peristiwa pilu ini harus dialami oleh bu Sri dan pak Barjo. Masyarakat di desa Gendisari mengetahui bu Sri dan pak Barjo merupakan keluarga yang baik dan harmonis.
"Kasian ya bu Sri dan pak Barjo, padahal kan keduanya tidak pernah ada masalah apa pun" celetuk salah seorang warga yang menyaksikan proses evakuasi Nadia.
"Iyaa, ya mungkin kita aja yang gak tau," timpal seorang warga yang lain.
Tapi Mahpud tetangga bu Sri dan pak Barjo mengenal baik keluarga tersebut sebagai sepasang suami isteri yang memiliki kepribadian sopan, ramah, peduli pada sesama yang tercermin dalam kepribadian anak gadisnya Nadia yang rajin, sopan, murah senyum, meski sedikit pendiam. Tapi takdir berkata lain, anak gadisnya Nadia harus mendahului kedua orang tuanya dalam kondisi tidak wajar.
"Memang tidak ada yang bisa melawan suatu takdir," timpal Mapud.
"Iya, pak Mapud" sahut seorang warga tersebut yang mengiyakan.
Bu Sri yang hanyut dalam kesedihan mendalam, hanya dapat terus menangis seakan dirinya tengah menolak apa yang telah ditakdirkan. Hingga ia, bu Sri mencoba menguatkan dan berusaha mengangkat tubuhnya, menapakkan telapak kakinya ke lantai, untuk kembali melihat kenyataan yang harus bu Sri hadapi.
"Aku ingin melihat gadisku Nadia," ucap bu Sri lirih.
Mendengar itu seorang ibu yang menyertainya untuk menenangkan, turut membantu memapah langkahnya, mengantarkan bu Sri menemui gadis semata wayangnya untuk terakhir kalinya sebelum pada akhirnya dikebumikan.
Seketika setalah bu Sri keluar dari kamar menuju kamar gadisnya, di ruang tengah penuh sesak oleh masyarakat yang turut berbela sungkawa sekaligus menyaksikan dari dekat prosesi evakuasi Nadia. Hal ini nyatanya menyulitkan bu Sri menuju kamar gadisnya Nadia. Beruntungnya sebagian masyarakat memahami apa yang bu Sri inginkan. Lantas memberikan jalan untuk bu Sri melangkah.
"Beri jalan bu Sri mau melihat Nadia anaknya," pinta seorang warga yang memahami apa yang bu Sri inginkan.
Langkah bu Sri yang lemas dan tidak seperti biasa itu, mendadak harus tertahan oleh garis polisi yang telah terpasang.
"Maaf ibu, ini lagi ada proses penyidikkan" tegas petugas kepolisian.
Bu Sri yang enggan berdebat nampak terus memaksa untuk melewati garis polisi tersebut, petugas kepolisian yang memahami situasi pilu yang tengah dialami korban sedikit memberikan pengertian.